cinta-tidak-pakai-logika

Kala Cinta Menyapa Logika

Realistis. Jatuh cinta itu harus realistis. Sebab manusia hidup di dunia nyata yang memang serba realistis. Jika ada yang bilang cinta tidak ada logika, aku hanya bisa tertawa.
Sebagian mengatakan cinta tidaklah bisa realistis, sebab cinta hanya sebagai sebuah fantasi belaka. Jatuh cinta hanyalah fiksi. Sedangkan sebagian lain mencoba menghubungkan cinta dengan ilmu pengetahuan yang membuat cinta tidak hanya terdengar indah tapi juga bisa dijelaskan. Darah mengalir lebih kencang, hormon dopamin berlimpah, pipi memerah, perasaan euphoria, dan kupu – kupu seolah beterbangan di perut, begitu katanya ciri – ciri orang yang sedang jatuh cinta.

Aku adalah perempuan realistis. Semua unsur hidupku sesuai dengan realita, mulai dari urusan sekolah, pekerjaan, teman, dan bahkan urusan asmara.

Aku pergi ke sekolah yang sesuai dengan kemampuan otakku.
Bekerja di sebuah perusahaan yang memberi gaji sesuai yang kumau.
Berteman dengan orang – orang pilihan.
Dan tentu saja jatuh cinta pada seorang yang sesuai jangkauan.

Dalam realitaku, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam konteks mencintai. Yang pertama unsur keindahan, kedua unsur kesempurnaan, dan ketiga unsur kesetaraan. Jika tiga hal ini tidak dipenuhi maka tidaklah bisa disebut mencintai, aku menyebutnya berfantasi.

Suatu hari cinta mendatangiku secara realita. Semua bermula ketika seorang pria bernama Pandu datang. Saat itu aku sedang bekerja, menjadi seorang karyawan di sebuah bank swasta. Ia dengan jelas dan tegas menyatakan cinta padaku setelah beberapa kali kami bertemu.

“Aku cinta sama kamu, Rena. Sudikah kamu menjadi kekasihku?”begitu katanya.

Tentu saja aku menerimanya, sebab secara logika Pandu memenuhi tiga unsur dalam konteks mencintai. Ia tampan sebagai unsur keindahan, mapan sebagai unsur kesempurnaan, serta kami punya pendidikan dan mental yang sama.

Dalam realitaku, cinta haruslah setara. Haruslah sama. Jika tidak, maka hanya ada di cerita Cinderella.

Sayangnya aku tidak mencintai Pandu sebagaimana mestinya. Darahku tidak mengalir lebih kencang, hormon dopaminku diproduksi secara wajar, perasaanku tidak terlalu euphoria, dan kupu – kupu sama sekali tidak muncul apalagi terbang di perutku.

Ada yang salah denganku. Aku seharusnya mencintainya. Ini tidak benar. Logikanya aku harus mencintainya. Aku merasa kesal, sebab baru kali ini logikaku tidak berjalan.

“Bagaimana rasanya jatuh cinta?”tanyaku pada Pandu suatu ketika.
“Maksudmu saat aku jatuh cinta denganmu?”
Aku mengangguk. Memangnya berapa kali Pandu sudah jatuh cinta?

“Rasanya menyenangkan tapi juga sakit.”
“Sakit?”
“Iya, saat kamu jatuh cinta semua perasaan berkumpul menjadi satu. Bahagia, senang, sedih, dan juga sakit. Aku begitu sakit ketika melihat kamu untuk pertama kalinya. Rasanya sakit sekali memikirkan kamu tidak akan menjadi milikku saat itu. Aku merasa tidak percaya diri, takut kamu menolakku, tapi juga bahagia membayangkan kamu menjadi pasanganku.”

Aku sama sekali tidak merasakan apa yang dirasakan oleh Pandu. Hanya saja begitu berat untukku mengatakan sejujurnya. Aku harus mempertahankan logikaku. Logikaku dalam mencintai.

Suatu hari Pandu ingin menikahiku. Ia tidak ingin berlama – lama menjadi kekasih dan sudah saatnya kami mengikat sebuah janji. Aku merasa ragu. Aku harus mengatakan yang sebenarnya.

“Ini kubawakan bunga,” kata Pandu menyerahkan sebuket bunga mawar ke tanganku.
“Kenapa?”tanyaku.
“Bukankah wajar seorang pria memberikan bunga untuk wanita yang dicintai?”
“Apa kamu mencintaiku?”
“Tentu saja, Rena.”
“Kamu tidak ingin mencintai orang lain?”
“Bagaimana mungkin aku mencintai orang lain kalau orang sepertimulah yang ingin kucintai?”
“Apa bedanya aku dengan wanita lain?”
“Karena kamu Rena dan mereka bukan.”
“Secara logika aku ini biasa saja, sama seperti wanita yang lain, tidak ada yang istimewa dari dalam diriku.”
“Cinta tidak mengenal logika, Rena.”
“Aku tidak bisa menerima sesuatu kalau tidak ada logika.”
“Apa maksudmu? Sebentar lagi kita akan menikah.”
“Aku tidak bilang akan menikah denganmu.”

Pandu begitu kaget mendengar jawabanku. Matanya terbelalak dan tanpa sadar membiarkan mulutnya terbuka. Ia seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Apa selama ini kamu mencintaiku?”katanya pelan.
“Secara logika aku mencintai kamu.”jawabku.
“Apa yang kamu bicarakan, Rena?”
“Kamu tahu mencintai itu ada kriterianya, kriteria keindahan, kesempurnaan, dan kesetaraan. Kamu punya semua kriterianya, secara logika aku mencintai kamu.”
“Kalau tidak secara logika?”

Aku tidak menjawab. Kupikir Pandu tahu jawabannya. Ia terlihat frustasi.

“Jadi selama ini kamu tidak mencintaiku.”
“Aku tidak tahu. Aku harusnya mencintai kamu. Kamu tampan, kamu sukses, kamu sempurna. Hanya saja, aku sama sekali tidak merasakan apa yang kamu rasakan.”

Aku melihat mata Pandu mulai berkaca – kaca. Ia seperti baru saja mendengar kabar yang sangat buruk. Ia terlihat sangat sedih. Ini pertama kalinya aku melihat Pandu memasang wajah sesedih ini. Aku juga merasa sedih, sebab gara – gara logikaku aku membuat orang lain sedih. Aku tidak bermaksud begini.
Tapi kesedihanku lebih karena logikaku dalam mencintai tidak-lah benar.

“Kalau begitu biarkan aku membuatmu mencintai aku meskipun itu tidak ada logika,” katanya setelah beberapa menit kami terdiam.
“Kamu tidak ingin menyerah saja?”
‘Tidak. Aku tidak akan menyerah.”

Tapi nyatanya Pandu menyerah. Setelah beberapa bulan meyakinkanku dengan mencintaiku secara tulus, ia berada di batas toleransinya. Cinta bisa karena biasa yang ia katakan sudah menjadi bumerang. Sudah saatnya ia menyerah.

“Kamu tahu Rena, ini bukan masalah logikamu atau ketidaklogisanku. Ini semua karena kamu tidaklah mencintaiku. Kamu akan mengerti suatu saat nanti jika kamu bertemu orang yang tepat.”

Itulah kata terakhir yang kudengar dari Pandu. Beberapa bulan kemudian kudengar ia sudah mempunyai seorang istri. Aku merasa senang.

Setelah kepergian Pandu, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Bangun pagi seperti biasa, menjadi karyawan biasa, di sebuah bank swasta yang juga biasa. Kadang kudengar orang sering berbisik – bisik ketika aku melewati mereka.

“Kok bisa ya dia ninggalin Pandu, padahal kan Pandu ganteng, baik, kaya lagi.”
“He eh, kalau aku jadi Rena sih nggak bakalan kuputusin si Pandu itu.”
“Iya nggak masuk akal banget.”

Begitu kata orang – orang. Bahkan orang lain juga punya logika yang sama denganku. Aku seharusnya tidak meninggalkan Pandu, secara logika aku harus terus bersamanya. Lihat saja, gara – gara meninggalkan Pandu aku dianggap tidak punya logika begini.

Untung saja ini tidak begitu menggangguku. Yang tahu masalah asmaraku hanya aku. Tidak perlu memusingkan gunjingan orang lain.

Aku bekerja seperti biasa dan tentu saja aku masih mempertahankan logikaku mencintai. Keindahan, kesempurnaan, dan kesetaraan.

Seseorang mengetuk mejaku sambil mengatakan “Permisi”. Ia membuyarkan lamunanku agar tidak semakin jauh.

“Selamat Siang, ada yang bisa saya bantu?”kataku sambil mencermati seseorang yang baru saja menghampiri mejaku.

Aku melihat seorang laki – laki dengan tinggi badan rata – rata berdiri dengan kikuk di depanku. Wajahnya terlihat pucat, terlihat gugup, dan ia terus saja membetulkan kacamata yang melorot di hidungnya. Umurnya mungkin lebih tua daripada aku.
Aku mempersilahkannya duduk.
“Saya ingin mengajukan pinjaman, apa Anda bisa membantu saya?”

Lelaki bernama Adi itu ternyata baru saja mengalami musibah sehingga usahanya gagal. Ia kemari untuk meminta talangan modal. Aku menjelaskan prosedur dan persyaratannya. Ia memperhatikan penjelasanku dengan cermat.

“Terima kasih.”katanya sambil menyalamiku dan memberikanku senyuman untuk pertama kalinya semenjak ia datang.

Dalam detik itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Darahku mengalir lebih kencang, hormon dopaminku seolah berlumeran, pipiku memerah, perasaan euphoria, dan kupu – kupu seolah beterbangan di perutku.
Aku merasa bahagia melihat senyuman lelaki itu, aku ingin memiliknya. Dadaku diselimuti rasa bahagia sekaligus takut.
“Bagaimana kalau ia sudah punya kekasih atau istri? Umurnya sudah cukup tua untuk menikah.
Aku merasa sakit membayangkannya bersanding dengan wanita lain.
Apa – apaan ini, aku bahkan baru pertama kali menemuinya?
Aku melihat formulir yang baru ia isi, aku melihat ia menandai kolom ‘belum menikah’.
Aku lega.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan Adi selama beberapa waktu. Aku teringat wajahnya yang biasa – biasa saja, tidak setampan wajah Pandu. Aku teringat dengan usahanya yang bangkrut, tidak sesukses bisnis Pandu. Ia jauh sekali dari kriteriaku dalam mencintai.
Tapi mengapa aku begitu ingin memilikinya? Mengapa aku ingin ia selalu ada untukku? Aku merasa sakit. Aku mual. Apakah ini berarti logikaku terbantahkan?
Aku tidak bisa jika tidak sesuai dengan logika. Aku ingin bertemu dengannya.

Suatu siang, Adi datang lagi ke tempatku bekerja. Ia terlihat sama gugupnya dengan pertama kali ia datang. Ia menyapaku dengan tersenyum dan menundukkan kepalanya.
Kepalaku terasa kacau begitu melihat wajahnya lagi, unsur kesetaraan, kesempurnaan, dan kesetaraan dalam mencintai seolah terlupa. Aku menginginkan lelaki ini sekarang juga.

“Tunggu, apa Anda bisa makan siang dengan saya?”tanyaku sebelum ia pergi semakin jauh.

Ia terlihat sedikit terkejut, bingung, dan ada sedikit gurat bahagia di matanya.

“Tentu jika Anda tidak keberatan.”katanya.

Dadaku sesak, rasanya ingin meledak. Aku tidak tahu perasaaan dan emosi semacam ini ada. Untuk sesaat aku berdamai dengan logika.

 

sumber gambar

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan