orang-orang-yang-mendapat-beasiswa-ke-luar-negeri

Kartini dan Para Pemburu Beasiswa

Tersebutlah seorang dara manis dari tanah jawa yang sangat cerdas, berani dan masih punya hubungan kekerabatan dengan sang raja. Sorot matanya bening, suaranya fasih ketika berbicara dalam bahasa Belanda dan mempunyai cita-cita yang sangat tinggi.

Ia masih berumur belasan ketika bermimpi ingin melanjutkan studi keguruan dan ilmu keperawatan di negeri Belanda. Ia ingin membantu para kawulanya yang sering memiliki masalah kesehatan dan masih terjerat dalam lingkaran kebodohan. Ia ingin mengabdikan hidupnya dalam ranah sosial kemanusiaan.

Nama tokoh yang saya maksud adalah Raden Ajeng Kartini atau seperti ungkapan Pramoedya Ananta Toer, tokoh kita ini lebih suka dipanggil dengan nama “Kartini” saja tanpa embel-embel Raden Ajeng atau Ndoro Ayu.

Siapa sangka jika Kartini juga bermimpi melanjutkan studi ke luar negeri dengan jalan beasiswa. Tentang hal ini, kita bisa cross chek dalam buku berjudul Surat-Surat Kartini; Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya terbitan Djambatan atau buku berjudul Emansipasi garapan Kartini yang diterbitkan oleh Jalasutra. 

Kartini yang bercita-cita menggejar pendidikan tinggi di luar negeri dengan jalan beasiswa ini, memiliki kisah panjang dan sangat memilukan, lebih memilukan dari kisah-kisah yang pernah ada tentang perburuan beasiswa. Bayangkan saja, dalam surat-surat pribadinya, kita bisa merasakan betapa kerasnya Kartini dicengkeram oleh diskriminasi gender dan feodalisme. Mimpinya ditolak, bukan saja oleh masyarakat tapi juga oleh keluarganya sendiri.

Oleh mbakyu-mbakyu dan mayoritas kakangmasnya, Kartini dianggap melanggar adat dan liar. Kartini dianggap ingin merebut kedudukan sosial laki-laki. Kartini dianggap memberontak dan ingin keluar dari kerja domestik seperti merawat anak dan melayani suami. Kartini dianggap menyalahi kodrat sebagai wanita. Namun Kartini tidak bergeming. Kartini tetap melanjutkan mimpi-mimpinya.

Untunglah Kartini memiliki seorang ayah dan seorang kakak yang baik. Oleh ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, karini diperkenalkan pada bacaan-bacaan eropa seperti koran De Lockomotif.

Ayahnya yang progresif itu, berlangganan beberapa surat kabar dan mendorong Kartini untuk membacanya seriap hari. Sedangkan oleh kakak tercintanya, Raden Sastrokartono, Kartini dititipi perpustakaan pribadinya yang berisi buku-buku berkualitas yang ditulis dalam bahasa Belanda. Hasilnya, Kartini tumbuh menjadi semakin maju, teguh dan pantang menyerah.

Dalam upaya merealisasikan mimpinya, banyak usaha yang telah Kartini lakukan. Ia pernah menulis di surat kabar dengan nama samaran tiga saudara. Ia juga sering berkorespondensi dengan orang-orang eropa dari negeri asal mereka. Bahkan, Kartini juga berupaya untuk menjalin korespondensi dengan pejabat tertinggi di negeri ini. Kartini berupaya menulis surat permohonan beasiswa pada Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Namun, yang tersulit dalam upayanya belajar di luar negeri justru hadir dari dalam rumahnya sendiri. Kartini agak kepayahan dalam mendapatkan izin dari ayahnya. Ayah Kartini, masih terlihat bimbang dalam memberi ijin Kartini untuk melanjutkan studi di luar negeri.

Bukan karena ayah Kartini berubah menjadi kolot. Namun, Ia masih mempertimbangkan pendapat masyarakat dan para bupati di tanah jawa ketika mengijinkan anak perempuanya pergi keluar negeri untuk melanjutkan studi. Walaupun akhirnya ayah Kartini berani memberikan ijin pada puteri kesayangannya.

Namun, cerita Kartini dan perburuan beasiswanya di luar negeri bukanlah cerita indah yang berakhir bahagia seperti cerita-cerita dalam produksi Disney. Cerita Kartini dan beasiswanya adalah cerita tragedi yang bernuansa ironi.

Setelah ayah Kartini memberikan ijin, dan menjelang keberhasilan Kartini memperoleh beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda, Kartini dilamar seorang bupati. Kartini dinikahkan dan batal berangkat ke luar negeri. Inilah tragedi besar yang melingkupi hidup Kartini. Keinginannya kandas oleh kerasnya tradisi dan pendapat-pendapat yang memagarinya dalam bermimpi.

Pewaris Mimpi

            Saya percaya, mimpi seseorang tidak akan pernah mati selama mimpi itu memiliki pewaris. Mimpi itu akan tetap hadir dan bertahan hingga seseorang mampu merealisasikannya.

Begitu pula dengan mimpi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di luar negeri. Mimpi itu adalah mimpi warisan yang terajut dalam balutan sejarah nasional kebangsaan. Mimpi itu adalah mimpi yang telah ada dari generasi pra kemerdekaan Indonesia. Mimpi itu lahir saat Raden Saleh, Raden Sosrokartono, Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir, mendapatkan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Namun sayangnya, hanya sedikit dari para pemburu beasiswa yang sadar bahwa mimpinya merupakan babak lanjutan dari mimpi-mimpi leluhur mereka. Teman-teman saya yang memburu beasiswa, yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) atau kampus-kampus lain di Indonesia, seolah gagap sejarah dan gagal memahami alur masa (waktu).

Mereka terlalu sibuk memake-up diri, hingga lupa pada identitas cita-cita mereka. Mereka, -memimjam istilah Ali Syariati, telah lupa bahwa merekalah pewaris mimpi dan pewaris sejarah dari bangsanya.

Maka, salah satu tugas terpenting kita ketika ingin mendapat beasiswa dan melanjutkan studi di luar negeri adalah belajar memahami kembali arti historis dari mimpi-mimpi kita. Apakah mimpi kita terhubung dengan mimpi para pendahulu kita? Atau jangan-jangan mimpi kita hanyalah wujud egoisme pribadi yang ingin memanfaatkan fasilitas negara dan jalan-jalan di luar negeri saja? Entahlahlah. Hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya.

 

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan