karya-seni-cerpen-anton

Karya Seni yang Telanjang

Berita Buku – Ketika Anton Chekov menulis cerpennya tentang dua patung perempuan telanjang yang dihadiahkah oleh seorang gadis dan ibunya kepada seorang dokter atas perawatannya, apa yang kemudian hinggap di kepala si dokter adalah sebuah rasa bersalah.

Dikisahkan suatu hari datanglah ke tempat praktek seorang dokter seorang gadis muda membawa sebuah bingkisan atas bantuan (pengobatan) yang diberikan dokter Koshelkov kepada gadis muda itu dan ibunya. Ternyata, setelah dibuka isinya berupa sebuah tempat lilin yang bagian atasnya berdiri dua buah patung wanita telanjang. Kedua patung itu dibentuk dengan pose menantang yang sangat merangsang, hingga dokter yang melihatnya merasa jengah. Hanya karena patung itu dalam keadaan telanjang, si dokter pun kebingungan mencari tempat untuk meletakannya nanti. Dokter itu merasa jikalau dia memajangnya di atas meja maka kotorlah seluruh isi ruangan itu. Tetapi Sasha, nama sang gadis muda, meyakinkan dokter untuk lebih melihatnya dari kaca mata seni dan menyadari betapa estetisnya tempat lilin itu.

Karena tidak punya jalan keluar lagi, si dokter sengaja menghadiahkan patung itu kepada salah satu temannya yang menjadi pengacara. Hal yang sama terjadi ketika si pengacara melihat kedua patung telanjang di atas tempat lilin. Dia merasa sangat tidak layak memajang tempat lilin tersebut di dalam ruangannya sebab dia tidak enak hati dengan ibunya dan para klien yang akan datang ke situ. Dan persis sebagaimana Sasha berkata kepadanya tentang bagaimana baiknya melihat kedua patung telanjang dari kaca mata seninya saja, dokter itu meyakinkan temannya untuk menyimpan tempat lilin naas tersebut untuk dirinya sendiri. Dari tangan pengacara, tempat lilin terus berpindah tangan kepada seorang aktor badut yang bahkan sebagai seniman pun merasa kalau patung bernilai seni namun telanjang di atas tempat lilin tersebut bisa mengacaukan kehidupan normalnya. Maka atas saran seseorang, si aktor badut akhirnya menjual tempat lilin kepada seorang kolektor seni. Nyonya Smirnov namanya. Nyonya Smirnov adalah ibunya Sasha, yang sangat gembira membeli karya seni tersebut dan mengirim lagi kepada si dokter melalui Sasha anaknya. Sasha datang dengan berseri-seri menemui dokter, dan tahu apa katanya?

“Dokter!” ia memulai, nafasnya terengah-engah, “Saya sangat gembira! Dokter tak akan percaya betapa dokter beruntungnya kami kebetulan menemukan tempat lilin pasangan milik dokter… Ibu gemetar terharu menemukannya. Saya satu-satunya anak ibu, yang nyawanya telah diselamatkan oleh dokter.(cerpen Anton Chekov judul dalam bahasa Inggris A Work of Art yang ditulisnya tahun 1886).

Sebagaimana orang mengenal Chekov, cerita ini dikisahkan dengan penuh satir dan dengan cara main-main. Apa yang main-main di sini? Ya, konflik yang diketengahkan Chekov adalah hal yang sepele, sesuatu yang ‘main-main’ saja untuk sebuah karya sastra serius. Tetapi Chekov adalah Chekov, seorang yang jenius dan benar-benar jenius (setidaknya untuk dunia sastra). Dia tahu cara mengkritik yang santun sebagai seorang penulis, dan apa yang dia kritik adalah sesuatu yang besar; hal-hal yang menyentuh dasar kemanusiaan. Bisa berupa kemuliaan nilai moral, bisa sebaliknya; kemunafikan.

Karya seni yang telanjang merupakan sebuah benturan antara yang estetik dengan yang etis. Ketika karya seni dianggap melanggar batas norma hal itu pun ditolak, betapa pun seninya hal itu diciptakan. Dokter dan teman-temannya yang bergiliran mengagumi lalu mencampakan tempat lilin itu diperlihatkan oleh penulis sebagai orang-orang yang berhadapan dengan pilihan moral yang sulit. Dalam hal inilah masalah dalam dunia estetika muncul, yang mana sebuah karya seni tidak bisa lagi dimunculkan begitu saja ke tengah masyarakat. Di sana ada sensor untuk kepentingan moral. Orang merasa berwajib untuk menegakkan moralitasnya sehingga sesuatu yang lahir dari ranah seni tidak boleh berdiri sendiri, mesti diteliti dulu dari kaca mata moral agar dinyatakan layak atau tidak. Tetapi justru di sinilah konsep moralitas menunjukan boroknya ketika cara penegakan nilai moral lebih seperti sebuah kemunafikan.

“…tapi coba tolong kau tempatkan dirimu sebagai aku –pikirkanlah anak-anakku yang berseliweran itu, pikirkanlah para perempuan terhormat itu…kata dokter itu kepada Sasha. “Alasannya jelas banyak… Pikirkanlah ibuku yang sebentar lagi akan masuk ke sini, pikirkan juga klien-klienku… Dan bagaimana pula aku bisa melihat muka-muka merah padam pembantu-pembantuku?” kata pengacara itu kepada dokter yang membawa tempat lilin tersebut untuknya. “…pikirkanlah aktris-aktris yang berdatangan mengunjungiku nanti! Ini kan bukan potret yang bisa disimpan di dalam laci!” kata aktor panggung kepada pengacara tentang karya seni itu. Jika cerita terus berlanjut, barangkali akan kita temui orang-orang lain dengan alasan-alasan lain untuk menghindarkan diri mereka dari barang seni tersebut. Tetapi cukup dari ketiga orang di atas sudah sangat jelas terlihat bahwa alasan moral yang mereka berikan hanya untuk mencegah diri mereka dari penilaian buruk orang lain. Jika saja barang seni itu berupa potret telanjang yang bisa disembunyikan dengan mudah, maka si aktor panggung tentu akan menyimpannya. Lalu dikemudian hari kalau tidak ada orang yang memperhatikan dia boleh menikmati ketelanjangan itu seorang diri. Seolah-olah memperhatikan karya seni yang telanjang seorang diri tidaklah sebuah dosa, dan baru akan menjadi dosa bila orang lain tahu kalau kita mempunya barang seni telanjang tersebut. Itulah yang saya sebut sebagai munafik, dimana nilai moral ditentukan berdasarkan apa yang dilihat dan bukan sebaliknya atas apa yang ada di dalamnya (hati).

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan