disorientasi-politik-kaum-muda

Kaum Muda dan Disorientasi Politik

            Tak dapat dimungkiri bahwa panggung politik negara Indonesia saat ini tengah berada di ambang kehancuran. Berbagai macam kejahatan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan dan elite politik saat ini semakin menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Masyarakat kini hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan hanya karena perilaku bejat para pejabat politik yang haus akan kekuasaan. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat politik ini semakin mengafirmasi pandangan umum masyarakat yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Dengan kata lain, politik memiliki dimensi violatif.

            Politik berdimensi violatif berarti politik rentan kekerasan, manipulasi, intrik-intrik, strategi kotor, ketidakadilan sistematis, kerancuan dan kekacauan. Violasi politis ini kerap dimaknai secara blunt sebagai bagian dari aktivitas politik. Pada dasarnya, dimensi violatif politik itu nyata. Sayangnya, kita kerap tidak menyadarinya. Tidak ada politik yang tetap sepanjang segala masa. Karena itu, setiap tujuan politik yang digariskan memiliki karakter imajinatif (Riyanto, 2014: 73). Bonum commune itu imajinatif, tidak ada representasi mutlak tentang seperti apa dan bagaimana kesejahteraan itu dibangun.

            Dimensi violatif politik itu sesungguhnya sudah ada dalam diri manusia sejak pertama kali  manusia jatuh dalam dosa. Ketika manusia jatuh dalam dosa, ia bukan saja melanggar perintah Allah. Tetapi, manusia adalah manusia yang tampil dengan segala arogansinya untuk menguasai. Dalam kasus Adam, arogansinya tampak dalam emblem keinginannya untuk menyamai Allah. Kain, anak Adam, membunuh Abel saudara kandungnya sendiri. Begitulah dimensi violatif politik menjadi milik societas manusia.   

            Dalam proses lahirnya konsep politik dan perkembangannya hingga saat ini, dimensi violatif politik itu sebenarnya telah hadir dalam kehidupan manusia sejak zaman para filsuf klasik Yunani kuno berkarya. Mereka hadir dan menghasilkan karya dalam bentuk pikiran-pikiran filosofis yang bertujuan untuk menentang kebijakan-kebijakan dari para pemimpin otoriter pada masa itu. Akan tetapi, pikiran-pikiran mereka itu ditolak dan mengancam kenyamanan hidup mereka. Bahkan banyak dari mereka yang menjadi korban dari kekejaman politik pada masa itu. Salah satunya adalah Sokrates.

            Sokrates adalah seorang filsuf terkenal di Yunani yang mati dengan cara tragis. Ia adalah korban kekejaman politik para penguasa Yunani yang lebih mengekspresikan tirany ketimbang justice. Ia dihukum mati atas tuduhan konspiratif-politis kebalikannya: menghasut kaum muda Atena untuk memberontak terhadap para penguasa.

            Jika di Yunani kita mengenal Sokrates, di Indonesia kita mengenal kasus Munir yang juga mati karena kekejaman politik pada masa orde baru. Munir adalah salah satu sosok pahlawan Indonesia. Ia berjuang untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang mendominasi kehidupan sehari-hari. Munir membuat siapa pun, termasuk jenderal sekalipun, pokoknya mereka yang menghiasi negeri ini dengan setumpuk pelanggaran HAM tidak bisa tidur nyenyak. Tidak ada yang dikecualikan oleh Munir. Siapa bersalah harus diajukan ke pengadilan. Keadilan harus ditegakkan. Munirlah yang mengklaim bahwa sejak pemerintahan orde baru terdapat lebih dari 16.000 orang hilang. Mereka dihilangkan oleh rezim atau yang di sekitar lingkarannya. Karena keberaniannya untuk menentang penguasa yang berlaku tidak adil terhadap rakyatnya, Munir pun akhirnya mati dengan cara yang sangat menyedihkan. Dia diracuni di pesawat Garuda Indonesia menuju Belanda.

            Sokrates dan Munir adalah korban dari kekejaman politik pada masa mereka masing-masing. Bukan tidak mungkin bahwa masih ada Sokrates dan Munir lainnya yang menjadi korban kekejaman politik saat ini. Begitu banyak orang khususnya di negara Indonesia tercinta ini yang menjadi korban kekejaman politik. Hal itu terjadi karena prilaku barbar dari para pejabat politik itu sendiri. Mereka bertopeng di balik kekuasaan yang mereka miliki untuk menindas masyarakat ‘akar rumput’. Perilaku seperti ini tentunya menimbulkan kekecewaan dalam diri masyarakat. Lebih dari itu, prilaku buruk para pejabat politik itu juga akan menciptakan disorientasi dalam diri kaum muda yang merupakan generasi penerus tongkat estavet kepemimpinan di negara ini. Dengan kata lain, kaum muda kehilangan arah dalam berpolitik. Mereka tidak tahu siapa yang harus dijadikan ‘kompas’ dalam mendalami kehidupan berpolitik sebab kompas-kompas politik itu telah rusak.

            Disorientasi politik yang dialami oleh kaum muda juga berdampak lanjut pada tindakan atau aktivitas politik mereka. Terkadang, mereka justru terjebak dalam perilaku busuk dari para petinggi politik itu. Seringkali kita melihat kaum muda yang terlibat dalam kampanye dan demonstrasi politik untuk mendukung elite politik tertentu yang telah menyuap mereka dengan uang. Mereka begitu mudah terpengaruh dengan uang. Uang telah membutakan mata hati mereka. Bahkan karena uang mereka rela mengorbankan waktu kuliah mereka untuk terlibat dalam demonstrasi politik.

            Realitas ini tentunya sungguh memprihatinkan. Kaum muda yang diandalkan sebagai generasi penerus bangsa justru terjebak dalam kebusukan politik yang dilakonkan oleh para elite politik. Namun, dalam hal ini, apakah kaum muda pantas untuk dipersalahkan?

              Kita tidak bisa mempersalahkan kaum muda. Yang patut untuk dipersalahkan adalah para pejabat dan elite politik itu sendiri. Mereka telah memberikan contoh yang buruk terhadap kaum muda dalam berpolitik. Mereka yang seharusnya menjadi panutan dan kompas bagi kaum muda dalam berpolitik justru terjebak dalam berbagai kejahatan politik. Mereka telah mencoreng hakikat politik yang pada dasarnya baik dan menjustifikasi slogan klasik di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa politik itu buruk.

            Berbagai macam kejahatan politik yang telah dilakukan oleh para elite politik saat ini tentunya mengancam kehidupan masyarakat khususnya kaum muda. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin politik menanggalkan segala prilaku politiknya yang buruk. Para pemimpin politik harus menjadi tokoh panutan dan memberikan teladan yang baik bagi kaum muda dalam berpolitik. Menjadi contoh dan teladan dalam berpolitik berarti menjauhkan diri dari segala macam tindakan yang mengancam kesejahteraan hidup masyarakat seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai jenis tindakan buruk lainnya. Dengan begitu, kaum muda tidak akan kehilangan orientasi dalam berpolitik.

            Selain menjadi contoh dan teladan bagi kaum muda, para pemimpin politik juga perlu untuk memberikan pendidikan politik kepada kaum muda. Pendidikan politik dapat membuat kaum muda memiliki pemahaman yang jelas dan benar tentang politik. Tentang pendidikan politik ini, Aristoteles pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling berpengaruh dalam mencapai hidup yang baik dalam sebuah negara.

Ada tiga faktor dalam pendidikan yaitu nature, habit, intelek. Penekanan atas habit mengikuti pandangan Aristoteles tentang perkembangan moral. Dalam hal ini, Aristoteles menekankan pentingnya pembiasaan agar orang memiliki prinsip-prinsip etis atau kebajikan (Keladu, 2010:221). Menurutnya, hanya dengan pembiasaan orang akan sungguh-sungguh menjadi bajik dan memilih tindakan-tindakan yang benar untuk alasan-alasan yang tepat pula. Orang harus dibiasakan lewat pendidikan dan latihan yang terus menerus untuk memahami dengan tepat apa yang baik dan apa yang buruk.

            Kaum muda pun harus dibiasakan untuk menerima pendidikan politik. Pemerintah dan juga para pemimpin politik perlu turun langsung ke berbagai lembaga pendidikan untuk memberikan sosialisasi tentang pendidikan politik. Dengan begitu, mereka tidak akan kehilangan orientasi politiknya dan tidak mudah terjerumus dalam berbagai macam kasus atau kejahatan politik yang mengancam kesejahteraan hidup bersama. 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan