Kaum Muda Menulis: Buat Apa?

Oleh Elvan De Porres

Masa muda adalah masa emas bagi pembentukan jati diri. Lebih daripada itu, masa ini merupakan pemantapan penemuan diri menuju masa depan. Menjalani masa muda tanpa kesadaran ini hanya menjadikan hidup nirmakna. Sebab, generasi muda adalah penerus bangsa, masa depan negeri. Oleh karenanya, ia mesti senantiasa mengembangkan dan mewujudkan diri dengan pelbagai bentuk ekspresi positif.

Berbicara tentang kaum muda menulis barangkali merupakan pengkhususan dari jargon pembentukan/penemuan diri tersebut. Ketika menulis dilihat sekadar sebagai profesi (pekerjaan), banyak anak muda tentu mulai melakukan pemilahan. Pemilahan dalam arti merasa tak mampu melakukannya (barangkali karena belum pernah mencoba) ataupun mungkin melihatnya sebagai aktivitas minimprofit. Namun, yang ingin ditegaskan di sini ialah, menulis tampil sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Kaum muda menulis sebagai hal yang tak terlepaspisahkan dari pengembangan dan pewujudan dirinya. Sebab, menurut Pramodya Anantatoer, penulis sekaligus sastrawan yang sangat mengapresiasi setiap gerakan kaum muda, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Rumah Kaca, hlm. 352). Terlihat bahwa rangkaian ide dan kreativitas yang tertuang dalam tulisan memberikan kenangan bermakna bagi kehidupan (masyarakat). Di situ, aspek pengetahuan dan pencerahan tertangkupkan. Setiap ragam tulisan menjadi penegasan esensi keberadaan manusia itu sendiri.

Satu hal yang patut diapresiasi ialah banyaknya kehadiran penulis muda Indonesia saat ini. Mereka menulis pada berbagai media entah pada taraf lokal ataupun nasional. Mereka menyasar dunia para pembaca, menampilkan tulisannya dengan ciri khas masing-masing. Apabila menyelisik sejarah kepenulisan Indonesia, adapun sosok-sosok penulis fenomenal yang gilang-gemilang pada masa muda mereka, dan karyanya dikenang hingga kini. Sebut saja penyair Chairil Anwar ataupun aktivis “kiri” Soe Hok Gie. Puisi-puisi Chairil tak jarang menjadi referensi pada berbagai buku pelajaran dan diskusi-diskusi sastra. Sosoknya sendiri pun tak luput selalu menjadi tilikan pembahasan para cendekiawan dan sastrawan masa kini. Sementara Gie, buku Catatan Seorang Demonstran (1993) merupakan kumpulan catatan harian yang menunjukkan begitu nasionalis, realis, kritis, dan keras pemikirannya, terutama ketika berhadapan dengan penguasa. Baik Chairil maupun Gie mencapai puncak kejayaan hidup pada masa mudanya, meskipun juga harus pergi meninggalkan dunia pada etalase momen yang sama. Chairil dan Gie sama-sama mati muda. Dalam skala internasional, Karl Marx yang mashyur dengan karyanya Manifesto Komunis (1848) menemukan panggilan hidupnya pada usia 26 tahun sebagai seorang penentang hegemoni kapitalisme. Uniknya lagi, jilid II dan III buku Marx, –Das Kapital yang diteruskan oleh sahabatnya Friedrich Engels justru terbit setelah beliau meninggal. Hebatnya lagi, ide-ide Marx itu justru hidup, berkembang, dan dipersoalkan jauh setelah Marx tiada. Hal ini ingin menunjukkan bahwa setiap kreativitas karya dalam bentuk tulisan selalu punya daya pikatnya tersendiri dan tak lekang oleh waktu. Kaum muda perlu mencerna hal demikian.

Pengkultusan Ide

Namun, perihal kaum muda menulis merujuk pada beberapa hal yang pantas dimaknai. Sejatinya dalam menulis, ide-ide dan pemikiran kita terkultuskan dan terpatri apik pada medium yang kita sebut tulisan itu. Dengan begitu, ide tidak mati begitu saja ketika dicetuskan. Ia tidak hanya keluar dalam tajuk komentar-komentar lepas, tetapi merunut dalam karya tulis. Menulis sebagai pengkultusan ide memberikan nuansa kenangan tersendiri. Artinya, kita bisa melihat lagi hal yang sudah dituliskan itu. Setidaknya terdapat pengarsipan akan kualitas diri. Ini merupakan ikon respek serentak apresiasi terhadap pribadi.

Pengkultusan ide juga membantu kaum muda untuk senantiasa berpikir kritis. Kritis terhadap realitas hidupnya, pengalaman pribadi, realitas sosial, kehidupan masyarakat, dan juga tata situasi bangsa dan negara. Dengan demikian, menulis menampilkan rasa peka akan “aku yang menjalani kehidupan” dan hal-hal di luar ke-aku-an itu.

Menulis Berarti “Berbagi”

Menulis selain sebagai pengkultusan ide juga menyodorkan makna “berbagi”. Buah pikir ataupun refleksi kita bisa dibagikan kepada sesama. Ketika ada yang membacanya, mereka bisa memahami poin yang disampaikan, melihat alur berpikir kita yang sekiranya berguna. Makna “berbagi” ini dapat pula menimbulkan perbincangan dan diskusi lanjutan dari pihak lain. Di situlah terletak kadar makna tulisan kita. Sebab, sebuah tulisan menjadi semakin berarti ketika ia punya efek bagi pembacanya. Orang bijak bahkan mengatakan menulis itu cerminan diri. Jadi, ketika menulis, kita seyogianya “berbagi” dan menunjukkan karakter diri kita kepada orang lain.

Media Pembelajaran

Para penulis hebat yang karya-karyanya banyak dibaca dan didiskusikan barang tentu selalu dikenang setiap saat dan tak hilang ditelan waktu. Namun, terdapat satu hal yang mesti disadari oleh kaum muda. Bahwa, menulis pertama-tama bukan karena mencari prestise, atau supaya diri kita diingat oleh banyak orang. Apabila menulis hanya dilihat sebagai medium pencarian nama, identitas beserta kekhasan diri kita akan mudah luntur. Kita keluar dari hakikat kepribadian kita.

Oleh sebab itu, menulis mestilah dijadikan sebagai media pembelajaran untuk senantiasa bergerak maju. Sebagai kaum muda yang senantiasa berproses mewujudkan diri, hal tersebut penting adanya. Menulis sembari belajar dari para penulis senior demi pembentukan gaya tulisan kita. Kaum muda belajar untuk senantiasa mengembangkan diri, belajar apabila tulisan kita dikritik dan diberi saran/masukan konstruktif. Kita belajar untuk menghasilkan karya-karya yang lebih bermutu dari sebelumnya.

Menulis untuk Perubahan

Berikutnya, gerakan perubahan pada hakikatnya merupakan suatu marwah mulia dari aktivitas menulis itu sendiri. Tentu ini merupakan harapan bagi segenap penulis. Suatu karya tulis tidak hanya dibaca begitu saja tetapi mampu menggerakkan pembaca untuk berbuat sesuatu. Ada begitu banyak karya tulis yang punya daya pengaruh kuat dan memberikan kemaslahatan bagi banyak orang. Pada tataran ini, aspek imbauan, ajakan, sugesti beserta informasi dapat ditemukan di dalamnya.

Menulis untuk gerakan perubahan jangan dilihat terlalu kompleks. Pertama-tama, kita menulis untuk kesegaran/kepuasan batin sendiri. Kedua, kita memberikan kesegaran batin juga pencerahan bagi orang lain, sehingga mereka tergerakkan untuk berbuat sesuatu. Di dalamnya, ada motivasi dan inspirasi yang berdaya guna bagi perubahan termaksud; bagi diri sendiri, orang lain, lingkungan/masyarakat, dan bangsa. Perubahan kecil di dalam diri akan berefek terhadap lingkungan sekitar, dan perlahan-lahan pasti membawa kebergunaan luas untuk masyarakat. Lebih jauh, kesadaran kolektif pun terbentuk sehingga memberikan perubahan bagi bangsa dan negara.

Kaum muda menulis untuk perubahan sungguh penting adanya. Kaum muda mestinya tidak melihat kegiatan menulis sebagai hal yang memberatkan dan tidak memiliki efek positif. Menulis adalah bagian dari hidup kita. Menulis juga membaca membantu kecerdasan manusia untuk senantiasa berpikir kritis, terbuka, dan visioner. Sebab, menurut Arman Dhani, salah satu penulis muda produktif saat ini yang menerbitkan karya Dari Twitwar ke Twitwar (2015), menulis itu merupakan usaha untuk menjadi abadi. Tentu kita boleh berdiskusi lebih lanjut soal ini. Tapi, saya kira Dhani benar. Sebab, kata yang keluar dari mulut akan pergi dan terbang bebas bersama angin. Tapi, kata yang tinggal dalam tulisan tidak lari ke mana-mana.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan