kedamaian-islam-kristen

Kedamaian Dunia adalah Kedamaian Agama

Hans Kung, seperti yang dikutip Dr. Komaruddin Hidayat dalam buku ini, pernah mengatakan, “Tiada co-eksistensi manusia tanpa ada etika bersama antarnegara. Tidak ada perdamaian antar bangsa-bangsa tanpa adanya kedamaian antaragama. Dan tidak ada kedamaian antaragama tanpa adanya dialog antaragama.” Inilah semangat yang menjiwai seluruh buku ini.

Buku ini berangkat dari keprihatinan Bambang Nooersena pada situasi dialog agama di Indonesia, khususnya Kristen-Islam, yang dinilainya sedang mengalami kebuntuan teologis. Kebuntuan teologis ini, menurut Bambang Nooersena (selanjutnya BN), terjadi karena adanya tabrakan terminologis yang digunakan oleh kedua agama. Tabrakan terminologis maksudnya pemakaian istilah-istilah teologis yang sama, namun dengan maksud yang berbeda. Hal ini menyebabkan sering terjadi salah kaprah antar kedua umat beragama.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, BN mengajukan sebuah alternatif pendekatan, yaitu pendekatan budaya. Ini berangkat dari keyakinannya bahwa konflik antar agama tidak pernah telanjang sebagai konflik teologis saja. Konflik itu lebih dominan dilatarbelakangi oleh pertentangan dua budaya (hlm. 3). BN menghindari pendekatan teologis Kristen, yang umumnya sudah terpengaruh oleh budaya Barat (westernisasi) selama ribuan tahun. Dalam usahanya berdialog, BN mencoba “mundur” jauh pada konteks kekristenan yang paling awal, yaitu Kekristenan Syiria Antiokhia. BN meyakini bahwa kebudayaan Kekristenan Syiria, yang masih menjaga tradisi kekristenan awal, adalah yang paling dekat dengan tradisi Islam sekarang ini.

BN adalah pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) yang berfokus pada kajian Kristen Syria. Beliau ada pegiat dialog antar umat beragama, khususnya Kristen-Islam. Dia menggunakan pusat kajian studi ini sebagai perantara dialognya dengan umat beragama yang lain.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama tentang makalah, artikel, dan berbagai karya lepas BN. Bagian kedua berisi wawancaranya dengan media massa di Indonesia. Sementara bagian terakhir berisi tulisan dari Prof. Dr. K. H. Said Aqiel Siradj, MA, seorang mitra muslim BN, yang memperkuat gagasan-gagasan BN dari perspektif pemikiran Islam.

Buku ini menawarkan cara pandang yang baru dalam khasanah dialog antar umat beragama. Salah satu pembedanya dengan buku-buku bertema serupa adalah pendekatan budaya yang digunakannya. BN membicarakan doktrin-doktrin sensitif dalam dialog antar umat beragama, dengan melacak jauh ke sejarah dan kebudayaan sebagai konteks yang membidani kelahiran doktrin itu. Pendekatan ini, menurut saya pribadi, setidaknya berhasil memberi pijakan bersama yang baru untuk meminimalisasi konflik teologis antara Kristen dan Islam.

Kemampuan BN dalam menguasai bahasa-bahasa Semitic, seperti Arab, Aram, dan Ibrani, semakin memudahkan kita dalam memahami secara baru ajaran-ajaran Kitab Suci Kristen dan Islam, yang sejatinya berangkat dari tradisi yang hampir sama. Dengan pendekatan ini, BN berhasil menunjukkan fakta-fakta lingusitik, dalam Kitab Suci, yang bisa memperkokoh persaudaraan antara Kristen dan Islam. Bukan hanya memperkuat tali persaudaraan, menurut saya, BN juga berhasil meletakkan dasar-dasar teologis untuk usaha kontekstualisasi agama di Indonesia.

Jika melihat situasi kehidupan beragama di Indonesia sekarang, yang marak dengan gerakan fundamentalisme agama, apa yang ditawarkan BN dalam buku ini, sangatlah relevan. Relevan karena dalam buku ini BN selalu menyerukan usaha perdamaian antar umat beragama. Semangat toleransi ditonjolkan. Namun, semangat toleransi yang ditawarkannya bukanlah murahan. Buku ini menganjurkan untuk tetap menjaga identitas khas setiap agama dalam usahanya membangun toleransi. Mottonya, “Toleran, tanpa kehilangan jati diri.”

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan