ilustrasi-novel-surga-sungsang

Keganjilan ‘ Dunia Kutipan ’ Triyanto Triwikromo

Oleh Budiawan Dwi Santoso

Membaca Surga Sungsang (2014) dari Triyanto Triwikromo adalah membaca keganjilan dunia kutipan yang puitis. “Sebagaimana kata Julia Kristeva, pembaca hidup dalam dunia kutipan bukan?” ungkap Triyanto dalam novelnya. Dan, mengenai buku cerita ini, pembaca kembali disodori dunia ganjil, seperti narator yang mengutarakan “Syekh Muso juga pernah ditelan semacam naga, semacam kerbau laut, atau hiu raksasa, dan tak mati meskipun telah berada di perut hewan itu sehari semalam.” Apakah pernyataan narator ini masuk akal bagi dunia pembaca? Atau jangan-jangan, kisah surealistis dalam surga sungsang ini malah ‘lebih realistis’ dalam menggambarkan kehidupan ketimbang tayangan-tayangan atau kehidupan sehari-hari pembaca. Maka boleh dibilang, membaca novel ini, semacam menilik ulang pada kehidupan kita sekitar.

Sedikit lebih jauh, saya tertarik untuk menilik cara Triyanto bermain-main dengan narasi pada buku Surga Sungsangi ini. Ketika pembaca menggeluti narasi cerita, pembaca seperti dihadapkan pada gerak narasi “yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat, kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Atau bisa juga dalam irama gerak yang kadang “melompat, berlari, melompat lagi, dan berlari lagi.” Bisa jadi pula, dalam membaca novel ini, pembaca dihadapkan pada gerak narasi “mirip penari keraton.”

Dalam cerita Serangan Ababil, pembaca dihadapkan pada seting waktu: Oktober 1965. Dimana dalam sejarah kita, ini ada peristiwa gerakan 30 S/PKI yang sampai sekarang, realitasnya masih samar-samar; dipertanyakan. Hanya saja, dalam cerita ini, kita berhadapan dengan kisah Siti serta Azwar, -ayah Siti yang dituduh sebagai bagian dari “para pemuja iblis”. Penuduh itu, para serdadu; lelaki beringas berjubah putih, yang menganggap diri paling suci.

Padahal, pembaca saat mengetahui bahwa di saat Siti mengaji dan mempercakapkan dengan Azwar tentang perbedaan burung-burung bangau di tanjung dari burung-burung ababil yang menghajar tentara gajah; pembaca merasa ada kesalahpahaman yang dialami oleh masyarakat pembantai maupun yang dibantai (hal. 26). Di sinilah, pembaca merasa Triyanto berusaha membuat jembatan bagi pembaca. Jembatan untuk menelusuri sejarah, kultur, sosial, dan agama. Jembatan yang telah lama patah dalam kehidupan para pembaca, entah itu dipatahkan sendiri atau dipatahkan orang lain. Triyanto membuat lorong-lorong cerita internal dan eksternal.

Selain itu, Triyanto menghadirkan cerita dengan seting waktu berlapis-lapis. Saat ia menulis cerita Burai Api dan Wali kesebelas, pembaca merasa hadir dalam masa kenabian, walisongo, masa pascarevolusi, sampai masa sekarang, yang ditandai dengan penamaan-penamaan tokoh, sekaligus kisahnya, salah satu contoh tokoh bernama Syekh Muso.

Lalu, pada Sepasang Pengendus Kematian, pembaca merasa disadarkan pada masa pertengahan Orde Baru (era 80-an), saat ramai-ramainya ada ‘petrus’ (penembakan misterius), yang sering diidentikkan oleh publik sebagai gerakan/perintah dari pemimpin rezim Orba. Untuk permasalahan ini pun,pembaca teringat pada karya dan ulasannya Seno Gumira Ajidarma. Pembaca bisa melacaknya di situ, alih-alih, pembaca mengatakan novel ini merupakan novel yang “menggerakkan” pemikiran pembaca. Sejarah, mitos, dongeng, kultur-sosial digerakkan Triyanto untuk pembacanya, tanpa membuat si pembaca mengalami ‘kematian’ gara-gara ‘kecanduan’ terhadap isi novel.

***

Keganjilan tentang sosok manusia atau sosok hewan dengan mengangkat salah satunya tragedi 65 dan pasca 65 tersebut, sesungguhnya telah melingkupi dalam realitas yang kita huni. Pembaca dapat melacak-mensinkronisasikan dengan pelbagai referensi sejarah, salah satunya yang dipaparkan Mia Bustam, salah satu perempuan korban 65 dalam buku Dari Kamp ke Kamp (2008), begini: “Di Plantungan atau setidaknya di daerah sekitar kompleks kamp terdapat binatang-binatang yang ukurannya jauh lebih besar daripada yang terdapat di dataran rendah. Ada kelabang-kelabang yang panjangnya sampai 20 cm-35 cm; katak-katak berukuran besar seukuran poci teh; dan terdapat banyak ular berbisa, seperti ular weling, welang, dumung yang hijau segar dengan ujung ekor merah menyala; dengan seorang pawang: gadis lagi!”

Tentu, pemaparan dari Mia Bustam ini, bagi sebagian masyarakat yang belum pernah melihat atau mengalami dalam kehidupan tersebut, maka semua itu dianggap hal aneh, ganjil, dan tidak nyata. Dan, sesungguhnya, fiksi yang dihadirkan Triyanto ini, mengajak kembali pembaca untuk merekonstruksi ulang-membaca ulang-atau merefleksi terhadap masa lalu, masa kini, dan bisa jadi membaca masa depan; bahwa semua yang kita alami adalah kehidupan ganjil; kehidupan tak linear.

Ini seperti halnya ketika pembaca sedang di rumah, menonton televisi, tiba-tiba di pertengahan acara yang pembaca tonton, ada selingan iklan, orang yang mati karena peperangan, film, pesta, kemudian tiba-tiba muncul tangisan para keluarga yang dilanda bencana alam. Atau bisa saja, ketika pembaca mengamati dalam perjalanan, pembaca melintasi dan bahkan dikelilingi bersama tiang-tiang listrik; berganti bersama orang jalanan; lalu berganti dengan pamflet-pamflet; serta di saat pembaca berkomunikasi dengan sesama orang; tiba-tiba beralih berkomunikasi dengan salah satu gadget—(notabene: benda mati).

dunia-kutipan-triyanto-triwikromoJadi, membaca novel ini, selain pembaca disuguhkan pelbagai keganjilan ‘dunia kutipan’ Triyanto Triwikromo, bisa dibilang pembaca juga sedang menghadapi satiran simbolik dari si pengarang. Pembaca pun pantas menyebut novel ini sebagai novel estetis, intelektualis, dan tentu saja berkualitas.

Judul novel: Surga Sungsang

Penulis: Triyanto Triwikromo

Penerbit: Gramedia, Jakarta

Cetakan: Maret, 2014

Tebal: vii + 144 Halaman

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan