kehidupan-zaman-nabi-muhammad

Kehidupan Qur’ani di Masa Lampau

Muhammad adalah manusia yang mengamalkan Qur’an dalam keseharian. Melalui Muhammad, kita bisa mengetahui, bahwa kehidupan Nabi penuh dengan hikmah dan pelajaran tak henti. Kita tentu tak asing dengan ayat yang mengisahkan bahwa Muhammad adalah suri tauladan yang baik, dan penyempurna akhlak. Melalui Muhammad kita ditunjukkan oleh Tuhan prototype (sosok) manusia agung. Keagungan sifat dan kelembutannya tak hanya terlihat pada kejujuran sikapnya, semenjak remaja ia memperlihatkan sosok yang hangat , dan dekat dengan kaum papa. Peristiwa turunnya wahyu begitu mendalam bagi Muhammad maupun umatnya. Perintah membaca menjadi perintah awal sebelum turun ayat-ayat yang lain.

Dalam buku Zarathustra, Neitzhe -filosof ini membuat seruan keras pada persoalan membaca ; Aku benci yang ngelantur membaca. Maka al-qur’an seringpula disebut sebagai bacaan, H.B Jassin menyebutnya bacaan mulia. Membaca Qur’an tentu tak bisa dimaknai hanya sekadar membaca dan mengkhatamkannya saja. Membaca Al-qur’an adalah membaca kehidupan Muhammad dan keseluruhannya. Darinya itulah kita menemukan cahaya dan keteladanan.

Buku garapan Hasan Tasdelen (2014) ini mengajak kita mengakrabi kembali sesuatu yang ada di sekitar kita. Dalam kehidupan di masa Nabi, Islam dipraktekkan dengan kesegaran, canda, dan tawa bersama ayat-ayat Qur’an. Di masa nabi, banyak para hafiz, meski demikian, si hafiz mengerti bagaimana menggunakan ayat diletakkan dalam konteks pembicaraan, dan masuk dalam percakapan. Ayat Qur’an dengan bahasa indahnya, menjadi ayat yang mudah dihafal dan diakrabi melalui pembicaraan dan obrolan. Dengan sumber-sumber klasik dan kisah para khalifah di masa lalu, Hasan mengajak kita mengingat dan mendalami kembali Qur’an melalui obrolan dan perbincangan masa lalu.

Barangkali karena kita mengalami persoalan membaca Qur’an. Trend yang terlihat dalam membaca Qur’an era kini, seolah lebih mirip menjadikan Qur’an sebagai bacaan harfiah semata. Kita melihat ada program One Day, One Juz yang dilakukan oleh komunitas muslim. Mereka menggalakkan program ini dengan misi menjadikan Qur’an bacaan tak hanya di bulan ramadan. Mereka juga berlomba-lomba dalam sehari mengkhatamkan satu juz dalam Qur’an. Di forum ini, memang tak ditemukan tafsir Qur’an, sebab ini komunitas membaca secara harfiah semata.

Cara membaca ini mengingatkan saya pada kisah yang dialami oleh Abdullah Ibnu Amr yang menikah dengan Quraisy. Setelah menikah ia semakin sibuk shalat dan puasa, dan membaca Qur’an. Ketika nabi memerintahkan kepadanya : “khatamkan Al-Qur’an dalam sebulan”. Ia menjawab aku mampu melakukan lebih, lalu Rosul menyuruhnya khatamkan dalam lima belas hari. Dia masih menjawab lagi, aku masih mampu melakukan lebih, hingga nabi menjawab khatamkan dalam tujuh hari, tetapi ketika Ibnu Amr memberikan jawaban serupa, nabi menjawab khatamkan dalam tiga hari, kemudian nabi bersabda: “segala urusan ada periode semangatnya, kemudian semangat ini digantikan dengan ketenangan. Siapa yang berpegang pada sunnahku pada periode ini akan selamat, siapa yang tidak seperti dia pada periode ketenangan, dia akan binasa” (HR.Ahmad). Bahkan Abu Bakar pun melakukan ibadah yang berlebihan, Abu Bakar mengakui hatinya menjadi keras. Karena Al-Qur’an memang diturunkan bertahap, dan tak secara langsung.

Kita akan menemukan candaan para hafiz yang menyukai ayat tentang makanan, tentang ejekan, dan sebagainya. Dikisahkan dalam buku ini, bagaimana seorang hafiz ditanya ayat yang paling disukai, ia menjawab: bawa kemari makanan kami yang merupakan terjemahan dari ayat 62 dari Surah Al-Kahfi. Ada juga kisah tentang penyair di masa nabi yang marah dan ingin diakui kepenyairannya. Maka orang-orang di situ pun menyuruhnya untuk membacakan syairnya. Setelah dibacakan syairnya, orang-orang di sekitar penyair itu mengatakan : “Kau seperti nabi”. Penyair menyangka bahwa itu pujian baginya, padahal yang dimaksudkan adalah Dan kami tidak mengajarkan syair kepada Muhammad, dan bersyair itu tidaklah pantas bagimu (Surah Yasin :69). Betapa terkejutnya penyair itu dan penyair itu pun ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya sambil tertawa. Di masa nabi, Qur’an memang bukan hanya sekadar bacaan dan hafalan semata, bahasa qur’an menyatu dalam keseharian. Al-Qur’an dikuasai dan dipraktikkan melalui obrolan, candaan, bahkan anekdot yang menyindir.

Buku Hasan Tasdelen juga mengingatkan kita bahwa Qur’an selain memuat orang tertawa, ia juga menjadikan kita meneteskan air mata. Kesedihan itu berkait dengan tafsir suatu ayat tentang siksa, tentang neraka, juga tentang nabi yang menangis. Dikisahkan nabi, ketika berziarah ke makam ibunya menangis begitu keras. Ketika ditanya sahabat mengapa nabi menangis begitu keras, ia menjawab bahwa pergi ke pemakaman dan berziarah boleh, tapi ia tak dibolehkan berdo’a di makam ibunya. Ini juga dialami nabi ketika pamannya mengalami sakaratul maut. Kisah-kisah ini membuat nabi dan sahabat menangis. Bahkan nabi menangis lebih keras ketika mengkhawatirkan generasi sesudah nabi. Kita ingat menjelang ajal, nabi menyebut ummati, ummati, ummati. Ummatnyalah yang dikhawatirkan dan membuat nabi tak bisa tenang. Dalam buku ini dikisahkan ketika dibacakan suatu ayat tentang Rosul dan nabi-nabi menjadi saksi atas umatnya. Nabi menangis dan bersedih hati.

Al-qur’an memang kabar gembira dan peringatan. Meski demikian, peringatan dalam al-qur’an bukanlah peringatan yang kasar dan keras, melainkan sebaliknya halus dan dengan cara yang bijak. Mungkin karena kita terlalu mendengar peringatan dan kabar akan siksaan yang disampaikan ketika khotbah jum’at dan pengajian-pengajian, sehingga, Al-qur’an lebih terdengar menyeramkan dan menakutkan. Kisah klasik tentang tawa dan tangis bersama Qur’an yang disajikan buku ini memang jauh dari kita yang berjarak ribuan tahun. Tapi, kita bisa pelan-pelan memunguti kisah dan hikmahnya bersama gambaran kehidupan Qur’an yang di amalkan di masa nabi dan orang-orang masa lampau. Mereka justru menampilkan bahasa Qur’ani yang tak kaku dan lentur. Tapi tak menghilangkan sentuhan ruhaniah dari makna yang dihadirkannya. Yang membuat mereka tertawa  dan menangis bersamanya.

 *)Penulis adalah Santri BILIK LITERASI SOLO ,Peserta Tadarus Buku Malam Jum’at

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan