mantan-kekasih-lelakiku

Kekasih Lelakiku

“Lihatlah, aku telah kembali untukmu.”

Ia berdiri lunglai di depanku. Sorot mata sunyi senyap. Gurat senyum kelu membeku. Semesta sekejap membisu, tanpa kata-kata. Aku berharap ada lebih banyak rindu tertumpah, bukan sekedar ‘lihatlah, aku telah kembali untukmu’. Ia berdiri begitu dekat denganku, bahkan teramat dekat hingga dapat kucium bau keringat anyirnya. Nyaris busuk, menusuk setiap degup jantungku, meluruhkan segala rasa.

mantan-kekasih-lelakikuUntukku, katanya. Benarkah untukku? Ah, tidak! Bukan itu yang seharusnya kutanyakan. Mungkin lebih tepat jika aku bertanya, untuk apa? Ya, untuk apa kau kembali? Itulah yang seharusnya kutanyakan.

“Kau tampak kusut.”

Jika saja seribu macam umpatan itu ada, betapa aku ingin mengutuki diriku sendiri. Bangsat! Kenapa kalimat itu yang keluar dari bibir terkutuk ini. Bibir yang telah terlumat habis birahinya hingga tinggal seonggok daging tanpa nyawa. Tanpa rekah, tanpa gairah.

“Matamu lebih banyak bicara daripada bibirmu.”

Syukurlah kalau begitu, batinku. Dengan begitu engkau tahu kabut yang menggelayut di mataku. Tahukah engkau selaksa murkaku mengendap di dada. Tahukah kau bunga lavender yang kau tinggalkan tak lagi berwarna. Setiap hari kupandangi. Kusiram dengan bulir-bulir air mata. Aku menimangnya seperti layaknya buah hati kita yang tak pernah sempat menyapa bumi. Sekarang, lihatlah, lavender itu kering, sekering rahimku. Kering yang memerihkan. Perih yang tak pernah kau rasakan.

Ya, aku yakin, bahkan lebih yakin dari terbitnya matahari esok pagi di ufuk timur dan seyakin tenggelamnya di ufuk barat, kau tak pernah tahu lukaku. Luka membiru. Luka yang sama saat bajingan berkalung stetoskop memasung kakiku, membuka selangkanganku dan dengan belati kematian mengeluarkan segenap roh dalam darah yang beku, karenamu. Anakmu, anakku, anak kita, tak pernah lahir ke dunia. Lalu sekarang kau berdiri begitu dekat, bahkan teramat dekat sambil berucap, lihatlah, aku telah kembali padamu.

“Mengapa kau menyiksa dirimu sendiri,” lirihku.

Entah siapa yang berbicara. Suaraku terdengar begitu asing di telingaku. Seperti lolong serigala di tepi malam. Jauh dan tak tersentuh, bahkan oleh rasa murka yang menggila sekalipun. Mungkinkah itu suaraku? Aku begitu asing dengannya. Meski teramat lirih.

“Kamu tidak menyuruhku masuk?Mengapa kamu menangis? Aku kembali untukmu. Aku tahu kamu menginginkanku kembali”

Inikah senja jahanam itu? Senja yang remangnya tidak seremang hari-hariku. Silouet tubuh masai dari detik ke detik membesar, membentuk bayangan-bayangan kematian yang sekian lama kuabaikan, karena lelaki itu. Lelaki yang kukenal dua puluh tahun yang lalu, ketika sudut pipiku begitu mudah menarik tawa. Menghempaskan setiap pria pada jurang siksa keinginan memeluk tubuh padatku. Melumat segenap tulang berdaging sintal yang kini kukutuki sepanjang hari. Hanya karena aku harus hidup, kusediakan selangkanganku bagi mereka, pria gila dan kelebihan harta. Dua puluh tahun lalu.

Inikah senja jahanam itu? Senja yang membungkam akal sehatku untuk menjawab semua tanya. Ketika desah gelisah membuncah dan aku tak kan sanggup menghadapinya. Tak sanggup memberi jawab atas persoalan antara aku, dia, dirinya dan dirinya. Mengapa kembali padaku? Inilah senja yang kedatangannya mencekikku dalam ketakutan melebihi datangnya hantu pencabut nyawa.

Seandainya aku boleh memilih, aku tentu memilih untuk tidak mengenalnya. Pria biasa, bahkan teramat biasa, kecuali matanya yang lembut dan bibirnya yang membuatku selalu ingin mendengar suaranya.  Suara yang mampu mengembalikan harga diriku bahwa perempuan pendosa pun tetap bernilai di mata-Nya. Dan aku terlalu bodoh, bahkan teramat bodoh untuk mencintainya.

“Maria, adakah pelacur yang dapat setia? Mencinta itu mudah, tetapi tidak mudah untuk setia,” ucapnya dulu.

“Aku tahu Mas. Memang tidak mudah untuk setia, sama tidak mudahnya untuk percaya dengan ucapan seorang pelacur sepertiku. Mas pasti berpikir aku mengucapkan hal yang sama dengan pelangganku lainnya kan?”

“Ya. Memang begitu kan yang kamu katakan?”

“Aku sedang belajar setia Mas. Setidaknya, ketika denganmu aku tidak pernah minta bayaran. Bahkan tidak pernah menyuruhmu pakai kondom. Karena aku ingin kamu memiliki hatiku, tidak hanya tubuhku, Mas.”

“Kamu juga bisa mengatakan hal yang sama dengan mereka.”

Pudar asaku saat itu. Aku yakin kalau dia mencintaiku, seperti juga aku mencintainya. Tetapi sungguh sulit untuk membuatnya percaya. Apalagi ucapan cinta seorang perempuan hina. Terkadang aku berpikir, tidak adakah kebaikan pada diri seorang pelacur. Aku hanya ingin setia, itu saja.

“Apa yang dapat kulakukan untuk membuktikan kata-kataku, Mas?”

“Berhentilah melacur, dan jadilah perempuan baik-baik.”

Perempuan baik-baik. Sekumpulan kata asing yang tak pernah terlintas di benakku. Aku tidak pernah mengerti perempuan baik itu yang seperti apa. Ribuan wajah perempuan kulihat sudah. Merunduk tunduk pasrah pada nasib. Mereka mati. Mereka bangkai. Mereka tidak punya apa-apa. Mereka tidak punya kendali atas hidupnya. Terkapar menggelepar di ketiak syahwat lelaki semata. Aku perempuan. Mereka juga perempuan. Aku tahu apa yang dilakukan di balik topeng kesalehannya. Dan aku tidak suka topeng. Aku memang hina. Tetapi setidaknya aku tidak munafik.

“Mengapa kamu diam? Jika kamu memang mencintaiku, jadilah perempuan baik-baik.”

Dua puluh tahun lalu. Kejadian itu membekas dalam, bahkan teramat dalam. Masa dimana hari-hariku penuh mimpi. Aku mimpi. Menjadi perempuan bersuami dan baik budi. Mimpi yang konyol, sekonyol kesadaranku betapa diriku sangat tolol.

Sejak saat itu aku tidak pernah menerima tamu lagi. Pelangganku cuma satu, lelaki bermata lembut dengan bibir yang selalu membuatku ingin mendengar suaranya. Tak pernah bayar. Tak pernah pakai kondom. Sampai aku hamil. Ya, aku hamil. Aku akan menjadi seorang ibu. Ibu atas anak dari lelakiku. Kukabarkan suka citaku kepadanya. Dan dia murka, bahkan teramat murka!

“Kamu harus menggugurkan kandunganmu,” katanya waktu itu,” jadilah perempuan baik-baik.”

Aku menuruti kata-katanya. Aku memang tolol, bahkan teramat tolol. Aku biarkan perih merobek-robek kelaminku. Aku biarkan darah mengering di kulit pahaku. Aku biarkan semuanya berlalu. Dan kuminum air mata sebagai pelepas duka. Anakku tak pernah lahir ke dunia.

Lima tahun berlalu sejak aborsi itu. Aku tetap melayaninya. Tak pernah bayar. Tak pernah pakai kondom. Karena aku tidak akan hamil lagi. Ya, tidak akan pernah hamil lagi. Rahimku divonis kering dan tak mungkin untuk mengandung bayi. Sejak aborsi itu, aku mandul.

Sepuluh tahun lalu, lima tahun sejak aborsi dan sepuluh tahun sejak aku mengenalnya, sesungguhnya aku tidak pernah mengenalnya. Lelaki bermata lembut dengan bibir yang selalu ingin kudengar suaranya, sekali itu saja, aku tidak ingin mendengarnya.

“Mas, kita tidak mungkin punya anak lagi. Dokter memvonis rahimku kering dan mandul karena aborsi itu. Mengapa Mas menyuruhku aborsi?” tanyaku saat itu.

“Karena anak itu akan menjadi anak haram. Kita belum menikah.”

“Tetapi bagiku, Mas-lah suamiku. Bukankah kita sudah mengucapkan janji nikah dihadapan-Nya?”

“Aku sudah beristri. Tak mungkin aku menjadi suamimu.”

Sungguh, sekali itu saja, aku tidak ingin mendengar suara dari bibir yang selalu ingin kudengar suaranya. Perih. Pedih. Sedih. Dan segenap rasa gila memporak-porandakan segalanya. Jika ada palu godam, ingin kuremukkan kepalaku saat itu juga. Jika ada pelangganku yang bajingan, lelaki bermata lembut itulah lelaki paling bajingan. Sungguh menyesal, mengapa aku tidak mati saja saat itu.

Dan kini, setelah dua puluh tahun berlalu, lelaki itu berdiri begitu dekat denganku, bahkan teramat dekat, hingga dapat kucium bau keringat anyirnya. Lelaki bermata lembut dengan bibir yang selalu ingin kudengar suaranya, berdiri lunglai di depanku.

Aku kembali untukmu. Aku tahu kamu menginginkanku kembali”

“Bagaimana kabar anak dan istrimu?”

“Mereka baik-baik saja.”

“Kau tampak kusut.”

“Matamu lebih banyak bicara daripada bibirmu.”

“Mengapa kau menyiksa dirimu sendiri,” lirihku.

“Aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu.”

“Dan kau juga mencintai mereka?”

“Ya.”

Sekali ini saja, aku ingin mengendalikan hidupku. Kubiarkan bibirku terlumat birahinya. Tak perlu membayar. Tak perlu pakai kondom.

“Biarlah aku tetap menjadi kekasihmu, lelakiku.”

Suatu hari kamu akan mengerti bahwa lembayung tidak hanya untuk langit, tetapi juga untuk setiap kerinduan yang tak terkatakan. Aku tidak ingin lagi menjadi perempuan baik-baik. Aku hanya ingin setia.

 

Awal Maret, 2011.


*)Cerpen ini pernah dimuat di Kompas.com, Maret 2011

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan