kelangan-buku

Kelangan

Rumahku Klaten, lahirku di Cilacap tapi kini aku tinggal di Kartasura. Di dua daerah itu, sawah bukanlah hal yang asing. Bapakku sendiri seorang penyuluh pertanian. Aku dilahirkan saat bapak masih kerja di Cilacap.

Simbahku adalah petani. Petani ulung bahkan, sampai-sampai otot-otot di kakinya terkena varises. Simbah kakung dari ibu, sudah meninggal, kolam di kanan-kiri rumah masih menjadi prasasti kenangan. Sering di waktu kecil, aku mendapati  suguhan mujahir yang ditangkap dari kolam itu.         

Alam pegunungan di Cilacap begitu subur, orang desa memang dikenal sebagai orang yang kuat-kuat. Mereka terlarih, otot-otot mereka kuat, dan tak gampang keluar keringat.         

Apa yang kuceritakan mungkin sudah menjadi masa lalu, menjadi kenangan. Kini sungai di sebelah rumahku sudah jarang dipakai. Wc dan kamar mandi menjadi pilihan. Tidak ada lagi rasa asyik waktu mandi di sungai. Tidak ada lagi asyiknya memanen buah, atau menanam buah. Hasil kebun pun tinggal seberapa saja.         

Semenjak taman kanak-kanak aku meninggalkan Cilacap. Di Klaten, aku tumbuh dan besar di desa pula. Aku masih mengakrabi sawah. Kecilku biasa dihabiskan dengan menggembala kambing, bermain di sela-sela pohon, dan mandi di sungai. Mencari rumput buat ternak sudah biasa dilakukan di waktu kecilku. Memanen padi di sawah bersama Ayah sudah menjadi kenangan, meski sesekali masih dilakoni.         

Kini aku hidup di kota. Di sini yang ada rumah kontrakan. Aku berteman tumpukan buku-buku. Aku membaca buku yang mengajak memoriku ingat kehidupanku di masa lalu. Buku kecil itu berjudul Pranata Mangsa (2011).

Dahulu, sampai sekarang, aku mengenali musim cuma ada dua yakni musim rendeng dan musim ketiga. Musim hujan dan musim kemarau. Konsep dua musim itu masih ada di otakku sampai sekarang.

Aku tak mengenali begitu  detail waktu-waktu ketika ibu atau ayahku ke sawah. Waktu menanam padi, waktu memupuk, waktu panen, dan sebagainya.

Tapi aku beruntung, melalui buku Pranata Mangsa (2011) yang kubaca, aku jadi mengenali waktu-waktu di Jawa. Orang jawa sangat dan amat cermat dalam urusan waktu. Mereka tidak hanya menggunakan ilmu titen (ingatan) tetapi juga ilmu laku(praktek).

Ternyata waktu di jawa ada dua belas macam yaitu kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat (IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), kasangsa (IX), kasapuluh (X), dhesta (XI), dan saddha (XII). Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, petani juga membagi setahun dalam 4 mangsa utama : terang (82 hari); semplah— atau musim putus asa— (99 hari); udan (82 hari); pangarep-arep (98 hari). Dua belas mangsa diletakkan secara proporsionalnya dalam siklus tahunnan yang selalu berulang tersebut (Daldjoenie,Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa, 1983 :7-8).

Aku juga mendapati kisah tentang padi di buku ini. Buku ini pun menyuguhkan kisah Dewi Sri dengan berbagai versi. Ia menautkan bagaimana legenda Dewi Sri ini masih dijadikan sebagai khasanah kebudayaan di Jawa dalam mengurusi sawah.

Di masa kecil aku masih mendapati wiwit  semacam acara syukuran saat sebelum panen dengan menggunakan daun pisang yang berisi makanan seperti nasi, teri, telur dan gudangan.

Cerita-cerita itu kini masih melekat dalam pribadi orang Jawa. Mereka mengurusi sawah tak hanya berbekal penanggalan dan konsep waktu, tetapi juga menggabungkan dengan nilai-nilai transendental dan berbagai macam upacara.

Ada kesatuan antara bumi, alam dan manusia. Kini, hal itu cuma menjadi cerita saja. Orang sudah mulai beralih ke teknologi. Pupuk dan berbagai obat kimia sebagai penanda bahwa bertani tak bisa dilepaskan dengan modernitas.         

Orang-orang pun melupakan kalau alam, manusia, dan juga pertanian tak bisa dilepaskan. Aku pun beruntung mendapati cerita itu langsung dari ibu dan bapak.         

Bapak dan ibu masih menggunakan konsep waktu, sampai dengan kosmologi dalam bertani. Pernah suatu kali ibu berdiam diri lama sekali sembari mengajakku untuk ke sawah sembari membawa nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Ibu pun bercakap-cakap kepada tikus di sawah agar memakan nasi ini, dan tidak memakan padi di sawahnya.         

Apa yang dilakukan ibu nampak mustahil di masa sekarang. Tapi kenyataannya cara seperti ini ampuh untuk mengusir tikus, ketimbang diracun.         

Kini, bertani dan pengetahuan tentang pranata mangsa seperti tak lagi dikuasai oleh anak-anak sekarang. Orangtua mereka pun berkehendak agar anaknya tak jadi petani. Selain karena rekoso (berat), juga dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan jaman kedepan.         

Kelangan (Kehilangan) saya kira kata itulah yang patut untuk menggambarkan bagaimana perasaan kita saat kehilangan memori, pengalaman, dan pengetahuan tentang bertani. Buku Pranata Mangsa (2011) bisa dijadikan alat untuk membuat kita lega, agar kita tak lekas kehilangan cerita, dan pengetahuan tentang pranata mangsa dan konsep bertani di masa lampau.

 

 *) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan