Kemuning

Satu, dua, tiga, detik kuhitung. Bosan, tak ada yang bisa kulakukan. Waktu berjalan begitu lambat dan melelahkan di sisi tempatku berdiri, tak ada suara yang bisa kudengar, tak ada nyanyian yang kata orang membuat suasana hati menjadi lebih baik. Sunyi, hanya itu yang kurasakan.

Seseorang menarik lengan kiriku, aku berpaling dan mendapati wajah itu tersenyum, manis, cantik sekali. Jika seseorang melihatnya, hilang sudah semua gundah dan gelisahnya kali itu juga. Begitulah seharusnya efek yang ditimbulkan. Tapi tidak denganku, benci. Hanya rasa itu yang selalu meluap setiap kali melihat gadis ini tersenyum. Entah mengapa, wajah ini seperti memancarkan sesuatu yang seharusnya aku miliki.

Kemuning, gadis cantik itu. Gadis yang selalu kulihat juga dalam cermin saat aku berdiri di hadapannya. Ya, Kemuning saudara kembarku. Gadis yang memiliki sesuatu yang tak pernah dan tak kan pernah kumiliki. Bagiku, ia adalah penyebab kemalangan ini.

Ia tersenyum lagi, menggerakkan jemari lentiknya dalam beberapa tarian. Itu bahasa isyarat untukku, tapi lihat, ia melakukannya seperti seorang penari, indah. Dan aku iri.

“Jalan-jalan ke sungai yuk,.” Arti dari isyarat itu.

Aku tersenyum dan mengiyakan tentu saja. Tak mungkin aku menunjukkan rasa benciku ini dengan serta merta, bagaimanapun juga ia saudara kembarku, belahan jiwa yang lain ia menyebutnya. Gadis naïf, siapa yang mau menjadi belahan jiwa dari seorang yang tak bisa melangkah sendiri sepertinya.  Lagi-lagi itu hanya terucap dalam benakku, Kemuning tak pernah sekalipun berbuat buruk kepadaku. Justru itu yang membuatku sangat kesal.

Seperti biasa, jalan setapak yang disusun dari batu-batu koral kecil ini lagi-lagi kutapaki. Bersama saudari kembarku yang cantik dan lumpuh. Entah apa yang dilakukan kedua orang tuaku sehingga melahirkan anak seperti kami, kemuning tak pernah bisa berjalan sendiri, dua kakinya lumpuh dan mengecil. Ia hanya bergantung padaku dan kursi roda hadiah kakek saat ulang tahun kami yang ke sembilan. Dan aku, menyedihkan sekali, memang aku bisa berjalan dan berlari, namun seumur hidup aku tak pernah bisa mendengar bahkan bisikanku sendiri. Mungkin jika hanya salah satu dari kami yang dilahirkan, tak akan ada kejadian yang harus kutanggung seumur hidup begini. Mungkin aku akan memiliki pendengaran yang baik dan suara merdu, atau tak pernah lahir sebagai Senja, dan Kemuning akan memiliki langkahnya sendiri.  Gadis lumpuh dan saudaranya yang tuna wicara dan tuna rungu, pemandangan klasik yang selalu datang di saat sore hari di tepi sungai kecil jernih.

Aku tak mengerti apa yang dicari saudariku ini, setiap sore ia selalu mengajakku ke tempat ini, membosankan. Bagaimanapun aku mencoba menjadikan kunjungan ini menyenangkan, setiap harinya tak pernah berhasil. Di sisi lain, seseorang sedang bersenang senang tersenyum sembari memangku buku kecil bersampul biru dengan tulisan-tulisan entah sajak atau hanya barisan kata yang hanya ia sendiri yang mengerti. Toh Kemuning tak pernah menunjukkan tulisan itu kepadaku. Pernah sekali ia mengatakan padaku, dengan gerakan jari bahasa langsung yang bisa kumengerti, bahwa tulisan itu untukku. Namun tentu saja aku tak pernah peduli, apapun isi tulisan itu, aku juga tak mau tahu. Entah lima, sepuluh, atau tiga puluh menit telah berlalu saat aku berada di sini. Namun rasanya selalu sangat lama bagiku.

Kali ini aku akan menghampirinya, dan mengajaknya pulang terlebih dulu.

“Ayo pulang, sebentar lagi gelap..”

“Kau sudah bosan menunggu di sini ya..?” Ia malah bertanya, dengan bahasa isyarat indah itu.

“Aku sudah lelah, ayo kita pulang saja..lagi pula kalau nanti gelap aku tak akan berani berjalan pelan..”

Ia melihat gerakan tanganku, lalu tersenyum dan mengangguk. Menyebalkan sekali, bagaimana bisa ia setenang dan tetap tersenyum seperti itu.

Sepanjang jalan kecil ini beratus fikiran datang dalam otakku. Tentang segala penyesalan keadaanku, dan kebencian terhadap gadis yang kudorong ini.

Pagi adalah satu-satunya waktu yang kutunggu, setidaknya saat di sekolah adalah saat dimana aku bisa terpisah dengan Kemuning. Ia harus belajar bersama teman-temannya yang tak bisa berjalan. Dan aku, tentu saja harus bersama dengan anak-anak yang nasibnya sama sepertiku. Setidaknya di kelas aku tak perlu iri dengan siapapun, dan merasa di sinilah seharusnya tempatku berada.

Kemuning dan Senja. Nama yang diberikan orang tuaku untuk kami. Entah apa maksudnya, aku selalu merasa benci saat menulis namaku. Aku merasa senja adalah saat yang suram, dimana semua harapan dan angan-angan harus dihapuskan pada ujung hari. Mungkin itu sebabnya aku selalu muram, tak pernah punya mimpi dan harapan. Menyedihkan. Aku tak mau membahas Kemuning, sudah tentu nama itu lebih baik.

Hari ini berjalan terlalu cepat, aku selalu berat untuk pulang dan berada di lingkungan yang menjenuhkan, meja kursi, orang tua, saudara yang kemanapun harus ku-bombong, hah melelahkan.

Seperti bisaa, dan sudah kuduga ketika jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tiga sore, seperti alarm di sepanjang hidupku selama enam belas tahun ini, seseorang membuka pintu kamarku. Aku tahu, itu pasti Kemuning, ia akan mengajakku ke sungai seperti bisaa. Aku sudah muak, kali ini biar saja aku tak akan keluar.  Gadis kembaranku itu mendekat, dengan kursi roda yang beradu dengan lantai keramik. Aku masih terpejam, aku tahu ia datang untuk membangunkanku. Aku tak mau bangun kali ini, biar saja sesekali, tak akan jadi masalah bukan jika tak pergi ke sungai sekali saja.

Aku membuka mata sekecil mungkin, untuk sepersekian detik aku mengira Kemuning akan menggoyang lenganku seperti bisaa.  Kali ini ia hanya menatapku lembut dan tersenyum, senyum manis yang ku benci. Ia lalu pergi, tak seperti dugaanku. Ia tak membangunkanku, mungkin ia juga merasa bosan, bagaimana bisa seseorang mendatangi tempat yang sama di waktu yang sama tanpa tujuan dan tak melakukan apa-apa.

Aku kembali memejamkan mata, lebih baik kembali ke alam tidur, dimana aku bisa bicara dan mendengar semauku. Di dunia yang sepenuhnya milikku sendiri. Tanpa kebisuan ini, tanpa kesunyian, tanpa Kemuning.

Sejenak kemudian, seseorang menggoyang lenganku dengan hebat, Ibu, bukan Kemuning.  Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku tak tahu mengapa ia terlihat panik, ia menggerakkan kedua tangannya yang aku tahu sebagai kata-kata: “Dimana Kemuning?”

“Dia tidak di rumah?” Aku balik bertanya.

“Tidak, ia tidak di rumah, kenapa kau tak pergi bersamanya? Kemana dia? Dengan siapa?” ibuku bertanya begitu banyak, sama sepertinya aku pun tak tahu jawabannya.

Gadis kembaranku itu, mungkinkah ia pergi ke sungai sendiri? Tanpaku? Bisakah? Pikiranku tak karuan, ibu yang terus panik membuatku muak. Sebegitu khawatirkah ia pada Kemuning, dan aku? Bagaimana denganku?

Aku berlari secepat yang kubisa, dengan ibu dan ayah mengikuti.  Setibanya di tepi sungai kecil itu, seperti yang ku duga seseorang duduk di atas kursi roda menatap pada aliran air yang berriak. Ada yang aneh, posisinya duduk begitu janggal, ia tak terduduk tegap. Alih alih duduk, ia seperti setengah terbaring di kursi rodanya. Tangannya terkulai pada sisi kiri, dan kepalanya tertunduk. Sebuah buku kecil bersampul biru tergeletak di samping roda.

Ayah dan ibu langsung menghambur ke arahnya, sedangkan aku tetap terpaku di antara pohon cemara pendek-pendek. Ayah menggendong Kemuning dan berlari, begitu juga dengan ibu. Mereka berlalu tanpa melihatku, rasanya aku sangat marah. Kenapa Kemuning datang sendiri ke tempat ini, kenapa tak bisa sehari saja ia tinggal dirumah saat senja. Dan hari ini, ia membuat ayah dan ibu sama sekali tak menghiraukanku, rasanya kebencianku semakin memuncak. Kursi roda itu masih di tempatnya, dan buku catatan kecil juga. Aku memungutnya, kali ini aku harus tahu rahasianya paling tidak. Ia yang menyulitkanku selama ini hanya demi mengisi lembar demi lembar buku kecil yang tak berarti. Isinya hanya catatan mengenai apa yang ia lakukan setiap harinya, namun sampai pada sepertiga terakhir buku ini mataku terpaku pada tulisan yang berbeda.

 Tertanggal kemarin lusa 11 Januari 2017

My blue

Seperti biasa, aku datang kembali ke tempat ini. Tempat yang begitu indah dan sunyi. Bersamanya tentu saja, seseorang yang membuatku iri sepanjang hidupku dan hidupnya.

Tulisan ini, mengganggu hatiku. Apa maksudnya, aku harus membacanya hingga akhir. Hari mulai gelap saat aku tiba di rumah, orang-orang tak ada, mungkin mereka membawa Kemuning ke rumah sakit. Aku tak melakukan apapun, hanya terus berjalan menuju kamar, dengan sebuah buku yang kini mengusik fikiranku. Kubuka kembali lembar demi lembar buku catatan itu, mencari apa yang telah kumulai tadi.

12 Januari 2017

My blue

Sore ini sangat indah, membuatku semakin tersiksa. Aku datang bersamanya, tapi ia tak pernah berada di sampingku. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, setidaknya ia tak hanya harus duduk bersama kursi roda yang membelenggu ini. Aku tahu ia bosan, tapi ia tak mengerti. Andai sekali saja ia bertanya tentang alasanku selalu mengajaknya datang kemari, aku akan mengungkapnya dengan senang hati. Tapi tentu saja ia tak pernah peduli, ia hanya sibuk dengan kemauannya sendiri, tentu saja, dengan kaki-kaki lincah itu ia bisa melakukan apa pun yang ia mau. Kau tahu Blue, aku sangat membenci keadaan ini, tapi tak pernah bisa mengungkapnya. Aku tak mau siapapun merasa sakit hati, apa lagi Senja, aku tak mau menyulitkannya, meski selama ini aku sudah membuatnya sulit dengan selalu bergantung padanya.

Benci? Ia benci dengan keadaanya sendiri? Mengapa? Mengapa ia tidak bersyukur, setidaknya ia memiliki suara indah, dan dunia ini, ia bisa mendengarnya dengan leluasa. Aku masih terus membaca, kali ini aku sungguh ingin tahu apa yang ia rasakan tentangnya dan tentangku.

13 Januari 2017

My blue

Rasanya menyakitkan, saat kau bahkan tak bisa merasakan ujung-ujung jari kakimu yang dihembus angin, sepanjang hidup aku tak pernah merasakannya. Aku selalu iri pada Senja yang bisa berjalan kemanapun, aku iri melihatnya bisa berlari memeluk ayah saat ayah pulang kerja, aku iri melihatnya bisa melompat untuk meraih buah mangga ranum yang tingginya tak seberapa. Blue, aku slalu iri.

Kemuning, mengapa ayah dan ibu memberiku nama itu? Kenapa pula Senja selalu sangat indah. Kau tahu Blue, alasanku datang ke tempat ini  setiap sore hari?

Di sini, di tepi sungai kecil ini, matahari senja bersinar tanpa halangan apapun, kau bisa menatapnya tanpa harus memicingkan mata, seakan senja melambaikan tangan padamu dengan merona, indah sekali Blue. Dan kau lihat, di tepi sungai ini, tepat di antara batu-batu kali di sebelah utara itu kau lihat tumbuhan dengan tangkai-tangkai kecil itu, dengan daun-daun kuning yang tampak lunglai. Itulah tumbuhan kemuning blue. Yang namanya diabadikan pada diriku, lihatlah, tangkai-tangkai kecil rapuh itu, dan helai daun lemah yang tampak seperti layu. Ia tak layu blue, namun memang penampakkannya seperti itu. Menggambarkan ketidak berdayaan, sama sepertiku.

Di tempat ini blue, aku mencintai senja dan membenci kerapuhan kemuning. Tapi lihatlah, ketika sang surya senja memanjarkan cahaya lembutnya, pada riak air yang memantulkannya kembali seperti untaian permata yang mengambang di sepanjang sungai kecil ini. Dan juga, sinar indahnya yang memancar pada helai-helai daun kemuning itu, membuatnya tampak mempesona. Seperti kekuatan yang teduh dan tegar, menyelimuti kemuning dan menghangatkannya.

Itulah blue, alasanku datang kemari. Di sini aku bisa merasakan cinta Kemuning dan Senja yang hanya kutemui di saat mentari hendak ke peraduannya.

Tulisan itu belum berakhir, masih satu halaman lagi yang ku duga ditulisnya hari ini. Namun rasanya aku sudah tak sanggup membacanya lagi. Mataku telah basah oleh tangis yang muncul sejak tadi. Perlahan kubuka tulisan terakhirnya hari ini..

14 Januari 2017

My blue

Hari ini aku datang sendiri, tak bersamanya. Ia kelihatan sangat lelah dan tertidur pulas. Aku tak mau menganggunya. Sulit ternyata menggerakkan roda kursi ini sampai di sini, tapi aku bisa. Meski ini lebih lama dari biasanya. Rasanya lelah sekali tanganku memutar sisi roda-roda ini. Tapi tak apa, aku akan tetap setia datang kemari untuk menyaksikan keindahan Kemuning dan Senja.

Tapi blue, rasanya aku lelah sekali, saat aku menulis tanganku terasa kebas dan lemas. Kepalaku pening sekali, ah seharusnya aku membawa air minum tadi. Tak penting aku membahasnya, kembali lagi pada kemuningdan senja..

Senja itu..

Tulisannya terhenti di sini, aku tak bisa menduga apa yang ditulisnya kemudian. Hatiu sesak dan sakit, Kemuning yang selama ini kubenci, aku tak pernah menghiraukan perasaannya. Aku menyesal.

Sekuat tenaga aku berlari menuju rumah sakit yang kuduga ayah dan ibu membawa Kemuning ke sana. Aku tak mau kehilangan saudariku itu, separuh jiwaku dan belahan diriku.

Seperti yang ku duga, ia berada di sini, ruang IGD yang begitu luas hanya ada dia bersama orang tuaku. Aku menghampirinya dan kugenggam tangannya, mataku sembab. Ia membuka mata, melihatku dan kulihat butiran air di sudut matanya, ia tersenyum padaku.. Kemuning..

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan