seorang-seniman-visual-ong-hari

Kerja Seorang Seniman

Siapa sebenarnya seorang seniman itu?. Apakah ia yang nampak memiliki jiwa dan ekspresi seni dalam kesehariannya?. Ataukah ia yang rajin memproduksi karya seni di setiap tahunnya?. Ataukah seseorang yang bekerja dalam sebuah lembaga kesenian?. Atau seseorang yang berpenampilan urakannyentrik, bertato?. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (1983) garapan W.J.S poerwadarminta, kata seniman diartikan sebagai “orang yang berkecakapan menciptakan atau melakukan sesuatu yang termasuk kesenian (seperti pelukis, penyair, penyanyi, dsb).

Kesenian tak bisa berdiri sendiri. Ia bukanlah sebuah ruang yang terpisah dari keseharian. Seorang seniman, mendapatkan inspirasi, memperoleh sumber berkarya dari kehidupan sehari-hari. Dunia beserta aktifitas termasuk buku-buku yang mereka baca, ikut serta memberikan masukan, serta gagasan dalam berkesenian. Karena itu, seorang seniman dengan begitu, tak selalu stagnan, diam, statis atau hanya mengandalkan kartu prakerja. Ia lebih condong pada sesuatu yang dinamis, penuh gerak, serta kreatifitas.

Seorang seniman disini, memerlukan liyan—orang yang menilai—, bisa jadi kritikus, atau masyarakat sendiri. Pada titik ini, seniman, tak bisa menilai sendiri apa yang sudah dibuatnya. Pada titik ini, seorang seniman mesti rendah hati, jembar atine—luas atau longgar perasaannya. Biasanya, ia merasakan sebuah kelumeran, keluwesan, serta sebuah sikap yang lapang tatkala ia mempertemukan karya seninya dengan orang banyak, dengan liyan. Inilah barangkali yang membuat seorang seniman menjadi lebih diterima, semakin akrab dengan dunia yang digeluti, dihayati selama ini. Hingga kita tahu, bukan lagi karya seninya yang membawanya menjadi semakin tenar, tetapi jiwa, kedalaman serta suara di balik karya seni itu.

seorang-seniman-visual-ong-hari

Judul buku : Joyo Semoyo Melunasi Janji
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Bentang Budaya Yogyakarta
Tahun : 2014
Halaman : 28 halaman
ISBN : __

Itu pula yang dikisahkan oleh Sindhunata melalui buku Joyo Semoyo Melunasi Janji. Sindhunata di buku ini menceritakan bagaimana Ong Hari Wahyu, seorang seniman visual, perancang grafis, serta art director. Seorang pembaca buku tentu akrab dengan cover garapan Ong Hari Wahyu. Sindhunata menulis cerita di Maret 2008, bekerjasama dengan Lembaga Indonesia Prancis, dalam acara Musim Semi Para Penyair ke-10, Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan pameran seni drawing berjudul Wong Liya. Pada kesempatan itu, ada sebuah puisi berjudul Mbah Ong Joyo Semoyo dibuat untuk ngguyoni Ong.Inilah kutipan puisi itu : Yen wis teka wolak-waliking jaman globalisasi/ aja kesusu-susu, kesusu-susu iku paha karo grusa-grusu/ setan iku senengane nyusa-nyusu/mula sapa sing kesusu-susu dadi anake setan sing grusa-grusu/ aluwung telat ning oleh berkat/ timbang kebat, ning mengkone kliwat lan sambat/ aku ora menehi kowe jamu/ aku mung arep menehi jamune wong stres merga kesusu-susu/ iki tampanana rapalku: dak sabetake si Gunung Dzat/ Dak sapu bumi sajagad/ Timbang kebat trima telat/ Timbang sambat trima kliwat/ Stresku ilang. Dak kipatake dadi makripat/ pokoke sing stres aja aku/ sing stres ben wong liya.

Banyak orang meminta bantuan memesan garapan atau desain grafis padanya. Dari pengalaman terbukti, Ong tidak dapat menyelesaikannya tepat waktu. Ia sering terlambat, karena itulah ia dijuluki “ Joyo semoyo”. Di tahun 2014, Ong setelah mendapat tawaran dari koordinator Bentara Budaya Yogyakarta Hermanu akhirnya bersedia mengadakan pameran tunggal karya-karyanya.

Tak seperti biasanya ketika Ong yang sering bercanda, gojegan, ia pun seperti mengatakan pada dirinya untuk tak lagi bercanda. Ketika ia mempersiapkan pameran ini, ia memberikan pengakuan “selama mempersiapkan pameran ini, saya seperti wong  topo. Tidak kemana-mana, menyendiri, dan terus mencari apa yang harus saya ekspresikan” (h.12). Dalam berkesenian orang memerlukan selo, selo disini bukan berarti santai atau berenak-enakan : Selo adalah kebebasan yang harus dipunyai oleh seniman agar ia bisa berkarya dengan seotentik-otentiknya.

Inilah cara kerja Ong Hari Wahyu. Sedangkan frase melunasi janji ini lebih berkesan saat Ong hanya ingin bekerja semaksimal mungkin. Meski ia tahu, untuk melakukan kerja yang demikian, ia mesti merogoh koceknya yang tak sedikit agar semaksimal mungkin. Ia sendiri akhirnya senang, ketika anaknya Arum Wangi Asriningati mengetahui betapa serius ayahnya bekerja.

Buku tipis ini adalah sebentuk apresiasi dari Sindhunata yang menerjemahkan karya Ong Wahyu Hari. Kerja seorang seniman seperti Ong Hari Wahyu digambarkan sempuna dalam tema “Joyo Semoyo Melunasi Janji”.

Dan saat ada kepuasan batin yang tak terperi, sebenarnya disanalah letak kerja seorang seniman mendapatkan hasilnya, memperoleh kepuasannya. Dan kelak hal itu pula yang dirasakan oleh para penikmat seni yang hadir melalui mulut apresiato, pengunjung, dan masyarakat pada umumnya.

Seperti petilan puisi yang dihadirkan untuk Ong di atas, di era globalisasi yang serba cepat ini, bisakah kita kembali “Selo”. Dalam waktu selo, itulah kita bisa menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk mencipta suatu karya yang baik, yang abadi. Dan kita tahu, kerja seperti itu tak murah, dan tak bisa secepat arus jaman yang sudah begitu cepat. Rasanya memang semakin susah mencari waktu “selo” di era sekarang. Orang serba ingin cepat, mendadak, dan lekas selesai. Biasanya, yang serba cepat itu pula tak awet, dan tentu saja tak maksimal.

Joyo Semoyo bisa jadi semacam sindiran halus pula bagi para seniman di era sekarang yang ingin serba cepat, lekas tenar, tapi tak sadar sebenarnya kecepatan itu pula yang diam-diam membuat kita cepat dilupakan, cepat ditinggalkan. Kita tahu, saat kerja tak lagi mengandalkan pikiran, intensitas serta akurasi yang tinggi justru berakibat pada kurang sempurnanya hasil.

Ong seolah tak bisa melupakan bahwa yang lawas, yang intim, yang ada dalam kedirian, seorang Jawa tetap aktual dimasa kapanpun, hingga kita mahfum saat Sindhunata menautkan cara kerja atau permenungan seorang seniman atau orang Jawa sedang tidur di dingklik atau kursi, juga layak disebut kerja filsafat. Seperti kata Ong “pencapaian sempurna bagaikan orang yang sedang tidur. Tidur menjaga kesehatan, sehingga dapat berbuat yang benar”(h.25). Ong seperti hendak merawat serta membawa yang lawas, yang telah lampau, yang jauh, tapi dekat serta tak bisa kita lepas dari keseharian kita, kedalam kehidupan kita sekarang, agar kita tak selalu merasa menjadi manusia yang modern, tanpa menengok, serta menyadari kedirian kita atau sejatinya diri kita.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan