membuat-anak-gemar-menulis

Ketika Anak-anak Tidak Ingin Menjadi Penulis?

Beberapa waktu yang lalu saya memberikan tugas mengarang kepada siswa kelas 4 dengan tema cita-cita. Waktu itu saya berkata, “Ingin jadi apa kalau kalian besar nanti? Mau jadi guru boleh, dokter boleh, atau penulis juga boleh.” Hasilnya cukup mengejutkan; tak satu pun dari mereka yang ingin menjadi penulis.

Memang, mungkin masih terlalu dini untuk membicarakan cita-cita dengan anak kelas 4 SD yang belum genap berusia 10 tahun. Kebanyakan dari mereka tentu saja hanya memikirkan apa yang mereka sukai saat ini, dan ke depannya–bisa saja setahun kemudian, sebulan kemudian, atau mungkin malah seminggu kemudian, mereka sudah berganti cita-cita. Ada yang menulis ingin menjadi guru, stand up comedian, dan bahkan pengusaha akik. Sebagian besar ingin menjadi pemain sepak bola dengan alasan mereka suka sepak bola. Sisanya, ingin menjadi koki, pilot, pelukis, dan penyanyi. Tak satupun yang ingin jadi penulis.

Tentu saja ada sebabnya mengapa tidak ada anak yang ingin menjadi penulis. Pertama, anak-anak bercita-cita menjalani suatu profesi atau ingin menjadi pelaku kegiatan tertentu karena sudah pernah melihatnya. Misalnya guru, dokter, ataupun pemain sepakbola. Mereka belum pernah melihat seseorang yang menempelkan name tag pada dada mereka, misalnya: Joko, S.Pn. (Sarjana Penulis)–Penulis Buku Anak-anak. Mereka tentunya juga belum pernah berkenalan dengan seorang penulis, atau, melihat seseorang bekerja dengan cara menulis untuk menyambung hidup.

Kedua, sudah banyak ditulis di berbagai media bahwa anak Indonesia memiliki minat baca yang rendah. Minat baca rendah, berarti mereka jarang membaca dan tidak berminat pada buku. Minat pada buku maksudnya adalah berminat untuk mengetahui bagaimana sebuah buku bisa tercipta, atau, paling tidak, mengetahui bagaimana terciptanya suatu karangan sehingga bisa enak dibaca. Tak heran jika kebanyakan anak sekarang ogah-ogahan menjadi penulis. Mereka lebih tertarik pada hal-hal menarik yang biasa tampil di layar kaca atau yang menurut mereka keren.

Lantas, apakah salah jika tak ada yang bercita-cita menjadi penulis? Tentu saja tidak. Setiap orang mempunyai cita-cita tersendiri. Cita-cita tidak boleh dipaksakan, pun kepada anak yang belum genap berusia 10 tahun. Meskipun begitu, tak ada salahnya untuk mencoba “memancing” anak agar bercita-cita menjadi penulis. Hal ini penting, karena jika tidak ditanamkan sejak dini, Indonesia akan terancam kehilangan generasi penulis.

Pentingnya Menjadi Penulis

Menjadi penulis itu penting. Mengapa demikian? Coba bayangkan saja jika di dunia ini tidak ada orang yang berminat untuk menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Bayangkan jika Rumi tidak jadi penulis. Atau bagaimana jika Sapardi lebih suka menjadi dokter daripada penulis. Segala informasi maupun pengetahuan sejak jaman dulu mungkin tidak akan pernah kita ketahui. Di samping itu, tanpa penulis, manusia akan kehilangan rasa kemanusiannya; mereka akan sulit memandang dunia dari sisi lain. Tanpa penulis pula, manusia akan kehilangan berbagai macam inspirasi setiap detiknya.  Manusia tidak akan pernah mengenal rasa dalam sebuah tulisan. Manusia akan kehilangan rasa untuk mencecap hidup; yang seharusnya berasa manis, pahit, ataupun kecut, jadi berasa hambar.

Selain itu, ada banyak manfaat ketika menjadi penulis. Penulis selalu menulis suatu cerita atau artikel secara runtut. Hal ini secara langsung akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah. Atau, dengan kata lain, menulis bisa membuat seseorang menjadi pintar–meskipun tentu saja ada hal-hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepintaran seseorang.

Tentu saja kita tidak bisa menyampaikan alasan-alasan itu pada anak-anak. Yang bisa kita sampaikan adalah, menjadi penulis juga merupakan perbuatan baik karena bisa menyampaikan kebaikan melalui tulisan. Bawakan sebuah majalah anak-anak, tunjukkan kepada mereka kalau teman-teman sebaya mereka bisa berprestasi dan mendapatkan hadiah melalui tulisan. Sebutkan juga beberapa penulis cilik. Misalnya Nadia, penulis cilik asal Bantul Yogyakarta yang menjadi pembicara di Frankfurt Book Fair pada Oktober 2015 lalu. Katakan pada anak kalau menjadi penulis bisa berpergian ke luar negeri. Di samping itu, tekankan juga pada anak, siapa sih yang tidak bangga kalau tulisannya dibaca banyak orang?

Diperlukan peran guru untuk memicu anak bercita-cita jadi penulis. Peran orang tua tentu juga dibutuhkan agar anak-anak selalu semangat saat menciptakan suatu karya tulisan. Jangan mengecilkan hati mereka ketika tulisan mereka belum bagus; dorong semangat mereka untuk menulis lebih baik lagi. Semoga ke depannya, ketika anak-anak Indonesia ditanya apa cita-cita mereka, sebagian besar dapat menjawab, “Ingin jadi penulis!”

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan