janur-kuning-melengkung

KETIKA JANUR KUNING MELENGKUNG  

Jangan menyerah pada orang yang kamu cintai sebelum janur kuning melengkung di depan rumahnya. Begitu kata para mantan yang belum juga bisa beralih hati pada cinta yang lain. Aku pun berpikir begitu sebelumnya, sampai akhirnya sebuah undangan bernuansa putih dan emas mampir di depan pintu rumahku.

Aku menerimanya tanpa curiga, sebab sudah pernah ada puluhan undangan yang tergeletak di situ. Hanya saja kali ini tubuhku sedikit bergetar saat mengambilnya. Tidak seperti biasanya aku punya perasaan buruk yang akan menimpa.

 Dan benar saja.

Nama yang tertera di undangan itu begitu kukenal. Begitu kucintai dan begitu kubenci. Nama itu milik mantan kekasihku, yang bersanding dengan sebuah nama wanita yang sudah kuketahui sebelumnya.

Yoga dan Rena, begitu bunyi pertama yang menyapaku begitu aku membuka halaman pertama.

Belum sempat aku bersedih, teleponku berbunyi.

“Halo?”Suara temanku Niki terdengar di ujung telepon.

“Irene, kamu diundang Yoga nggak?”

“Iya, aku barusan dapet undangannya.”

“Ya ampun tega banget dia ngundang kamu.”

“Nggak papa lah, kabar bahagia kan memang harus disebar.”

“Ya, tapi kan kamu mantannya.”

Aku tidak tahu harus memberi tanggapan apa pada pernyataan temanku yang satu ini. Aku pun bingung mengapa aku diundang. Memang tidak ada aturan tertulis mengenai siapa yang harus diundang ke pesta pernikahan, termasuk mengundang mantan. Hanya saja aku tidak tahu ternyata mendapat sebuah undangan pernikahan bisa sangat terasa menyakitkan.

“Nanti aku telepon lagi, aku sedang ada urusan.”

“Kalau kamu mau nangis, aku siap jadi tisunya, Hehe.”

Aku menutup telepon dan mengatakan aku tidak akan menangis hanya karena undangan ini.

Tapi nyatanya aku menangis. Sendirian. Di dalam kamar agar ayah dan ibu tidak mendengar. Malu juga rasanya kalau masih menangis di usia setua ini.

Aku mengamati undangan itu sekali lagi. Kali ini dengan meremasnya sehingga membuat undangan tersebut kusut. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan, tapi setiap kali aku melihatnya aku mengira nama wanita di undangan tersebut berubah menjadi namaku.

Wanita yang ada di undangan itu dulunya temanku, kami berdua sering mengobrol dan pergi ke toko buku. Ia memang gadis yang manis dan lembut, tidak heran jika banyak pria yang menyukainya. Tapi sekarang, lewat undangan ini aku memutuskan tidak akan berkawan lagi dengannya. Ia sudah mencuri orang yang kucintai.

Sedangkan si pria dulunya adalah kekasihku, baru tiga bulan ini aku dan dia berpisah, setelah enam tahun lamanya kami mengarungi kisah asmara. Mengapa ia tidak menikahiku yang lebih lama mengenalnya? Mengapa ia malah menikah dengan gadis yang baru ia kenal tiga bulan ini?

Rasanya ingin kurobek undangan di tanganku ini.

Ya Tuhan apa yang harus kulakukan?

Apa aku harus datang? Atau tidak datang saja?

Aku ingin melihatnya dengan pakaian pengantin, tapi aku tidak ingin melihatnya bersanding di pelaminan dengan wanita lain.

Bagaimana kalau undangan ini adalah bentuk ejekannya kepadaku karena belum laku? Bagaimana aku bisa membalas ejekannya ya Tuhan?

Sepertinya aku harus terlihat lebih hebat daripada saat bersamanya. Aku harus membawa pasanganku juga. Akan terlihat sangat menyedihkan kalau aku datang sendirian. Tapi bagaiamana aku bisa membawa pasanganku kalau faktanya aku masih sendiri. Gara – gara terlalu lama mengharapkan kembali pada calon pengantin pria aku harus galau begini.

Sial.

Handphoneku lagi – lagi berbunyi di tengah pikiranku yang kalut. Aku segera mengangkatnya.

“Halo.”

“Hai, Ren, aku boleh liat tugasmu nggak, aku bingung ngerjain nomor lima nih.”kata suara di seberang.

Ternyata temanku Putra yang menelpon. Aku kesal karena ia menelponku di saat yang tidak tepat.

“Nanti aku kirim lewat e-mail ya.”

“Kamu nangis Ren?”

“Hah, enggak.”

“Kok suaramu kayak orang nangis gitu.”

“Oh ini aku lagi pilek.”

“Tapi kemaren kamu sehat.”

“Kena pileknya tadi malam.”

“Jangan bohong deh. Kamu nangisin undangan kawinan mantanmu kan.”

“Jangan sok tahu deh.”

“Aku dikasih tahu Niki tadi.”

Dasar Niki, selalu membocorkan hal yang tidak perlu tentangku.

“Kalau aku nangis kamu mau apa?”

“Mau kutemenin ke kawinan mantanmu itu?”

Ya Tuhan, apa ini jawabanmu atas pertanyaanku tadi?

“Kenapa kamu mau nemenin aku?”

“Ya biar kamu nggak keliatan jomblo lah.”kata Putra sambil terkikik.

“Oh gitu. Enggak deh makasih.”balasku ketus.

“Bercanda kali. Aku mau kasih kamu dukungan moril.”

“Tapi aku belum tahu aku dateng atau enggak.”

“Ya kamu pikirin dulu deh. Kalau kamu dateng, aku siap jadi pasanganmu.”

“Makasih.”

“Ya sama – sama.”

“Nanti aku hubungin kamu lagi kalau aku udah putusin.”

“Oke. Oh ya jangan lupa kirim tugasmu ya. Kutunggu.”

Telepon ditutup. Aku menghela napas antara lega dan khawatir. Aku tidak tahu alasan Putra menelponku. Apakah karena ia tahu aku dapat undangan atau karena memang sengaja meminjam tugas kuliahku. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Sudah cukup kepalaku dipenuhi dengan pernikahan yang akan digelar seminggu lagi. Pikiranku silih berganti membayangkan Yoga dengan calon istrinya Rena dan Yoga ketika masih menjadi kekasihku. Dulu kami juga sering membahas masalah pernikahan.

“Kamu nanti mau nikah umur berapa?”tanyaku pada Yoga.

“Mmm, nggak tahu juga ya, mungkin sekitar 27 atau 28.”

“Heh, lama banget.”

“Kenapa? Kamu nggak sabar ya?”

“Ya nggak gitu, kan lebih enak kalau nikah muda.”

“Kata siapa? Aku mau sukses dulu. Biar bisa bahagiain kamu nanti.”kata Yoga sambil mencubit hidungku.

Tapi mengapa ia berbohong. Belum juga lulus kuliah ia sudah berani menikah begini. Kenapa ia tidak memilihku sebagai istrinya? Air mataku mengalir lagi tanpa bisa kutahan. Aku menangisinya sampai aku tertidur di atas bantal.

Selama seminggu aku tidak bisa tenang. Mau datang atau tidak aku terus saja kepikiran. Selama semingu ini juga aku tidak enak makan, badan jadi lemas, susah tidur, dan kepalaku pusing tidak karuan.

Ternyata aku gejala tipus.

Pesta pernikahannya nanti malam dan akhirnya aku memtuskan untuk datang. Aku menelpon Putra dan ia bilang ia kan menjemputku pukul 7 malam. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kupakai. Apakah harus memakai baju yang glamour, casual, atau yang tradisional. Perasaan ini sama dengan ketika akan bertemu dengan kekasih. Bedanya sekarang aku akan bertemu dengan kekasih yang sudah menjadi milik orang.

Putra menjemputku tepat pukul 7, lengkap dengan baju batik dan mobil mini coopernya. Rambutnya yang ikal ditata sedemikian rupa hingga kelihatan sangat rapi.

“Rapi banget.”

“Ya, biar kamu nggak malu lah.”

“Hahaha, makasih udah nemenin aku.”

“Udah, nggak masalah.”

Kami tiba di tempat resepsi 15 menit kemudian. Dekorasi warna putih dan emas memenuhi tempat acara. Beberapa teman lama menyapaku dan memandangi Putra malu – malu. Sepertinya tidak salah aku mengajak Putra yang ganteng ke sini.

Tanganku begitu dingin dan dadaku terus – terusan berdetak dengan kencang. Perutku mual dan aku merasa keringat terus mengucur di tubuhku.

“Kamu nggak papa Ren?’

“Aku nggak papa kok.”kataku berbohong.

Aku dan Putra disambut dengan dengan ratusan bunga mawar putih begitu memasuki ruangan. Tempatnya tidak terlalu besar tapi terlihat begitu indah. Di sana – sini banyak bunga dari berbagai macam warna yang menggantung di langit – langit.

Dan di sana, di tengah lautan bunga yang asri Yoga dan Rena duduk berdampingan. Saling tersenyum dan menyalami tamu yang datang.

Aku merasa kakiku menjadi tidak bertenaga. Aku ingin pulang.

Putra yang seolah tahu memegangiku, seolah menopangku agar tidak terjatuh.

“Makasih.”kataku pelan.

Kami lalu duduk bersama dengan beberapa undangan. Aku memilih tempat duduk yang paling jauh dari pelaminan. Makanan – makanan yang tersaji di depan meja sama sekali tidak membuatku selera. Sedari tadi mataku terus tertuju pada pasangan pengantin yang dari jauh pun terlihat sangar bahagia.

Pengantin wanita memakai gaun putih dan pengantin pria mengenakan jas hitam. Aku mencoba membayangkan jika aku yang memakai gaun berwarna putih itu. Aku pasti juga merasa bahagia.

Baru kali ini aku begitu sedih saat menghadiri sebuah pernikahan.

“Ren, kita nggak salaman, kita udah hampir setengah jam di sini.”kata Putra.

“Sorry, aku ngelamun.”

“Kamu ngelamun apaan? Mantanmu udah nikah dan kamu masih ngelamun gini aja.”

“Put, kenapa dia nggak nikahin aku aja, kan aku lebih lama kenal Yoga daripada Rena.”

“Gimana ya Ren, pernikahan itu nggak ada hubungannya sama lama pacaran atau kuantitas kamu kenal sama dia. Pernikahan itu masalah keyakinan.”

“Jadi maksudmu dia dulu nggak yakin sama aku gitu?”

“Ya, mungkin. Menikah kan bukan masalah cinta aja, banyak faktornya. Mungkin kamu tidak memenuhi beberapa faktor itu.”

“Aku kurang apa selama ini sama dia?”

“Aku nggak tahu, Yoga yang tahu.”

“Kenapa aku sedih banget kayak gini.”

‘Orang akan sedih kalau keinginannya nggak kesampaian.”

‘Trus aku musti gimana?”

‘Kamu harus menerima kenyataan ini dan sekarang ayo salaman sama dia. Anggap ini adalah langkah awal kamu memulai hidup yang baru”

Putra lalu mengajakku atau lebih tepatnya menyeretku. Aku belum siap bertemu dengan Yoga dengan status barunya sebagai suami. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Dari jauh Yoga sudah melihatku sambil tersenyum, sedangkan Rena tampak salah tingkah. Putra yang pertama kali menyalami Rena lalu baru aku. Aku sama sekali tidak mengatakan apapun.

“Makasih udah datang ya Ren.”kata Yoga sambil menyalami tanganku. Aku merasa Rena melirikku dengan gelisah.

“Sela….”

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku aku merasa bumi berputra di kakiku. Pandanganku tiba – tiba menjadi gelap dan kepalaku seperti menghantam benda yang sangat keras. Suara Putra dan Yoga samar – samar kudengar sebelum akhirnya aku tidak mendengar apa – apa lagi.

Ternyata aku pingsan.

sumber gambar

 

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan