mama-pergi-lagi

Ketika Mama Pergi

Rumah anyaman bambu dengan dua kamar tidur ini terasa hangat kembali. Mama dan saudaraku telah kembali setelah beberapa bulan tak melihat wajah mereka. Papaku waktu itu bahkan kebingungan bukan kepalang mencari Mama yang telah hampir dua bulan tidak dapat ia hubungi. Nomor HP yang biasanya dapat Papa hubungi setiap saat, sudah 2 bulan hanya menyisakan bunyi tut tut tut, tanda bahwa nomor sedang tidak aktif.

****

“Ma, mau kemana?”, tanyaku penuh selidik melihat mama sudah tampil necis dengan celana jins ungu dan kaos lengan panjang abu-abu. Tak biasanya pagi-pagi begini mama sudah berdandan.

“Latihan ke rumahnya Nyai Wartini Le, minggu depan ada pementasan Wayang dan Tayub di kantor kepala desa.” Ucap mama sambil menyahut tas selempang yang mengembang terisi baju ganti.

Tak lama kemudian aku melihat punggung Mamaku sudah menghilang dari balik pintu kayu, meninggalkan bunyi berdecit karena bantingan tidak sengaja saat Mama keluar bersama adik perempuanku satu-satunya.

“Ma, mau kemana?”, tanyaku keesokan harinya.

“Ke rumah Nyai Wartini Le, seperti biasa. Kamu jaga rumah.” Mama meraih tas dan map putih dari dalam lemari kemudian segera menghilang dari balik pintu.

“Ma, mau kemana?”, tanyaku dihari berikutnya. Mama akhir-akhir ini jarang sekali di rumah, aku bahkan tak melihat kapan Mamaku pulang, yang kulihat hanya Mama saat pagi hari yang sudah bersiap-siap hendak pergi.

“Seperti biasa, Nak.” Mata Mama memerah, kemudian berlalu pergi, menutup pintu rumah.

Setelah hari itu Mama tidak kembali ke rumah selama satu minggu. Aku hanya di rumah dengan kakekku. Adik perempuanku juga tidak pulang, ikut bersama Mama. Kata kakek mungkin Mama sedang ada banyak tawaran manggung di kampung sebelah.

“Ma, mau kemana?”, tanyaku untuk kesekian kalinya kepada Mama.

“Mama pergi dulu sebentar, Kakak di rumah dulu dengan kakek.”

Mama memelukku, kemudian segera bangkit, bergegas membawa tas ransel kemudian menutup pintu. Aku ditinggalkan sendirian di dalam rumah. Hari masih sangat pagi tapi tak kulihat seorang pun, termasuk kakek. Mama sudah pergi membawa serta adik perempuanku dan setelah itu aku begitu lama tak melihat Mama dan adikku.

“Pa, Mama sudah lama sekali tidak pulang” kataku kepada Papa saat kami berbincang lewat telepon seluler.

“Tidak pulang bagaimana, mungkin Mamamu sedang manggung seperti biasa.” Papa menjawab dengan santai.

“Tapi ini sudah lama sekali Pa, terakhir Mama pulang saat libur tahun baru kemarin”, aku berusaha menjelaskan kepada Papa.

“Apa? Berarti memang sudah lama sekali. Baiklah kalau begitu Papa akan segera pulang”.

Beberapa hari kemudian Papa sudah sampai di rumah, membawa beberapa mainan untukku dan adikku. Tak seperti kepulangan Papa biasanya, wajah papaku terlihat kusut dan muram. Berkali-kali kali Papa terlihat kesal, kemudian melemparkan HP miliknya ke atas meja. Kejadian ini berlangsung hampir 2 bulan, semakin hari semakin kulihat wajah Papa yang semakin kusut dan muram.

“Papa pergi dulu Nak, mau cari Mamamu.” Kata Papa dengan wajah kesal.

“Nanti Papa akan pulang dengan Mama kalau begitu?” Aku bertanya kegirangan.

“Iya Nak, Papa akan pulang dengan Mama.” Papa kemudian bergegas membawa tas ranselnya kemudian memasukkan secarik kertas bertuliskan Jalan Sumatra No. 15 Gg. Kelinci, Jember yang tadi pagi kulihat tergeletak di atas meja di dekat TV.

Beberapa hari kemudian, hari yang kutunggu-tunggu akan datang. Mama dan Papa juga adikku akan pulang. Kudengar hal itu dari kakekku yang kemarin ditelepon oleh Papa dari HP milik tetangga. Aku sangat senang, di sekolah pun aku tak berhenti tersenyum mengharap-harap kepulangan mereka.

***

Aku sedang menonton TV sore itu, hari sangat cerah tapi aku sama sekali tak berniat bermain di luar. Aku mau menunggu Mama membuka pintu seperti biasanya. Aku mau menunggu adikku berlari memelukku ketika pulang. Aku mau menunggu Papa yang mengajakku bermain nanti.

Ya hari ini adalah hari itu.

Pintu terbuka diiringi suara berdecit, aku segera menoleh. Ada Mama, ada Papa, ada adikku, dan ada sosok yang tidak aku kenal. Tubuhnya setinggi pundak Mama, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal seperti rambut Mama. Papa dan adikku ada di belakangnya, wajah Papa terlihat semakin lelah, matanya cekung dan merah.

“Ayo salaman dulu dengan Kakakmu”, kata Mama seraya menarik tubuhku mendekat.

Aku mendekat mengulurkan tangan, kemudian dia menjabat tanganku kemudian tersenyum.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan