menjadi-orangtua-untuk-anak

Ketika Orangtua Kita Orang Sekampung

            Orangtua, di masa-masa mendatang, tak bisa hanya sekadar Ayah dan Ibu semata. Di masa depan, orangtua tak bisa melepaskan diri dari orang-orang sekampung meminjam kata-kata Hillary Clinton. Tugas pertumbuhan dan perkembangan anak tak bisa sepenuhnya diserahkan pada orangtua semata. Orang-orang lain tetap tak bisa sepenuhnya diabaikan, mereka ikut dan turut serta dalam mempengaruhi perkembangan anak-anak kita.

                Lembaga-lembaga masyarakat seperti keluarga, desa, sampai dengan lembaga-lembaga keagamaan seperti sekolah, masjid, gereja, atau tempat ibadah yang lain ikut serta dalam membentuk karakter anak-anak kita. Terlebih di masa sekarang, anak-anak mau tak mau memasuki masa pelepasan yang tak hanya terikat di lingkungan keluarga. Sekolah, ikut serta dalam membangun generasi-generasi setelah kita.

                Buku It Takes a Village (1996) menegaskan bahwa untuk membentuk generasi yang gemilang di masa depan, memerlukan “orang sekampung”. Clinton mengurai bahwa “sejak mereka baru dilahirkan, mereka bergantung pada sejumlah “orang dewasa” lain—kakek-nenek, tetangga, guru, pendeta, pekerja, tokoh politik, dan entah siapa lagi yang ikut menyentuh mereka baik secara langsung maupun tidak langsung” (h.5).

                Buku diawali dari penuturan serta pengalaman penulis dibesarkan di lingkungan keluarganya. Sampai dengan saat penulis sebagai seorang perempuan harus menjalani kehidupan sendiri sebagai single parent. Meski menekuni dalam bidang hukum, Clinton pada akhirnya tertarik dengan tugas yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan semua orang, yakni tugas bersama menjaga generasi mendatang. Dari pengalamannya berhadapan dengan anak-anak yang berurusan dengan hukum itulah, ia menyerukan suaranya mengenai tugas dan kewajiban kita dalam hal mengurus anak.

                Semula di halaman-halaman awal, ada kisah tentang bagaimana anak dibesarkan di tahun-tahun awal. Tahun-tahun awal tak bisa diremehkan oleh kita sebagai orangtua. Dr. Geraldine Dawson dari University of Washington, mengatakan “masa puncak untuk perkembangan emosi tampaknya berlangsung antara usia delapan hingga delapan belas bulan, yaitu ketika bayi untuk pertama kalinya sangat ingin merasa kedekatan. Seperti pada perkembangan kognitif, jendela perubahan masih terbuka sampai menginjak masa remaja dan sesudahnya, walaupun jendela itu makin lama makin sempit. Akan tetapi anak-anak yang banyak menghimpun pengalaman-pengalaman menyakitkan, melalui perlakuan buruk, pengabaian, atau sering menyaksikan adegan kekerasan, cenderung mengalami kesulitan dalam mengaktifkan pikiran rasionalnya guna mengatasi desakan untuk menampilkan reaksi-reaksi yang destruktif dan antisosial di kemudian hari” (h.55).

                Contoh paling nyata bagaimana “orang sekampung” mengurusi anak di awal-awal mereka tumbuh adalah saat kita melihat di negeri kita sendiri. Posyandu, misalnya adalah ruang yang paling bisa dilihat bagaimana anak-anak kita tak bisa sepenuhnya kita deteksi sendiri, kita imunisasi sendiri. Bagaimana menjaga kesehatan anak kita, bagaimana melihat pertumbuhan dan perkembangan anak kita tak bisa sepenuhnya kita lakukan sendiri. Kita mau tak mau memerlukan orang lain, lembaga lain, sampai dengan Negara sekalipun untuk ikut serta dalam bentuk regulasi, aturan, sampai dengan pelayanan yang menjamin tersedianya fasilitas serta alat-alat yang mendukung pertumbuhan anak-anak kita berjalan normal.

                Dalam hal ini, kemampuan seorang ibu tidak hanya penting untuk membaca pengalaman orangtua-orangtua sebelumnya melalui buku. Tetapi juga penting bagi orangtua bayi untuk bergaul, berkomunikasi dengan masyarakat serta membaur untuk saling bekerjasama demi anak-anak kita. Istri misalnya meski mendapati pengalaman perkembangan dan pertumbuhan bayi dari buku, ia memerlukan bergaul dan bertemu dengan warga sesama kontrakan, warga sesama desa untuk memperoleh jadwal imunisasi di posyandu. Di negeri ini, sebenarnya sudah cukup tersedia perhatian pemerintah dalam hal ini. Tak hanya melalui posyandu, kini bidan-bidan di setiap desa sudah tersedia, hanya saja memang perlu pengetahuan dan akses kesana. Biasanya, orang miskin atau tak mampu kurang memiliki pemahaman tentang ini, sehingga akses ini perlu disebarkan dari orang ke orang, kepada generasi ke generasi berikutnya, jangan sampai yang dikorbankan “anak”. Pernah istri saya justru bercerita ada ibu yang membiarkan saja anaknya tak makan asi, diberi makan tambahan terus, bahkan berat badannya tak naik-naik hingga usia hampir satu tahun tapi beratnya hampir sama dengan anak saya yang usianya baru lima bulan. Peristiwa seperti ini tak boleh terjadi, orangtua tak boleh cuek, tak boleh egois merawat anaknya. Orang-orang sekampung hanya sekadar memberi masukan, tapi orangtua si anak tetap yang menentukan pada akhirnya.  

                Buku It Takes a Village(1996) yang ditulis oleh Bill Clinton ini meski berlatar Amerika, tapi memiliki konteks yang luas di seluruh dunia. Sebagai warga Amerika, orangtua Amerika tetap tak menginginkan anak mereka  ketika tumbuh di waktu remaja dengan polah tingkah tak karuan dan ikut arus zaman. Bagi orang Amerika sendiri, yang sering dipandang sebagai negara yang bebas sekalipun, tetap tak ingin anak-anak mereka hancur karena narkoba, pesta dan lain sebagainya.

                Mereka para orangtua Amerika meski tak bisa membendung bagaimana kebudayaan yang miring, yang menyebabkan anak-anak mereka menjadi berandal, penjudi, atau sex bebas, ingin agar anak mereka sadar. Salah satu yang berubah, yang mempengaruhi kebudayaan anak-anak kita sekarang menurut Clinton salah satunya adalah melalui televisi.

                “Dari televisi anak-anak juga belajar bahwa kita meninggikan keberhasilan di atas segala yang lain, tidak peduli bagaimana cara pencapaiannya. Bersamaan dengan itu, televisi mungkin meninggalkan kesan mendalam bahwa orang hampir tidak pernah berbuat baik atau benar, juga bahwa sedikit sekali orang dewasa yang menghargai sikap hormat” (h.252).Orang Amerika pada akhirnya juga merasakan yang kita rasakan atas gempuran teknologi, serta budaya yang berasal dari tabung kecil ini.    Tentu saja pengendalian dampak yang buruk bagi anak kita bisa dilakukan oleh semua orang. Tak hanya dari Komisi Penyiaran Indonesia, sampai dengan pihak televisi sendiri, sampai dengan orangtua untuk ikut serta mengontrol dan mengatur jam televisi anak-anak mereka.

                Buku It Takes A Village hendak menegaskan bahwa peran mendidik dan memelihara kualitas setiap anak-anak kita tak hanya bergantung dari orang rumah saja, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, butuh dukungan berbagai lembaga, kelompok, dan semua orang yang peduli pada nasib dan masa depan anak-anak kita. Clinton mengajak kita untuk tak hanya peduli terhadap nasib anak-anak kita sendiri, tapi juga anak-anak yang lain.

 

*) Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis Buku Ngrasani (2016)   

menjadi-orangtua-untuk-anakJudul buku                       : It Takes a Village

Penulis                                : Hillary R.Clinton

Tahun                                  : 1996

Penerbit                             : Gramedia Pustaka Utama

Halaman                             : 304 Halaman

ISBN                                     : 979-605-410-8

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan