nasionalisme-penyair-karya-tagore

Ketika Penyair Bicara Nasionalisme

Apakah nasionalisme itu? Bagaimana pondasinya? Lalu, bagaimana pula hubungannya dengan nilai-nilai kebangsaan dan sejarah kemanusiaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang sangat cocok diajukan pada para politisi atau sarjana-sarjana politik. Ernest Renan, Soekarno, Sjahrir atau Hatta, pasti akan dengan sigap menjelaskan makna nasionalisme beserta tetek-bengek yang melatarinya. Namun, bagaimana jika pertanyaan tersebut diajukan pada seorang penyair? Dapatkah seorang penyair menjelaskan dengan sigap, sesigap penjelasan para politisi dan sarjana-sarjana politik?

Buku klasik berjudul Nasionalisme karangan Rabindranath Tagore yang diterbitkan balai pustaka pada tahun 1949 ini mungkin akan sedikit menjawab keragu-raguan masyarakat pada kapasitas seorang penyair dalam menjelaskan masalah nasionalisme. Tagore yang merupakan peraih nobel sastra pertama dari Asia tersebut dengan lihai menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan nasionalisme melalui pendekatan sejarah dan intuisi pribadinya. Tagore dalam safari kelilingnya di berbagai belahan dunia membuktikan kapasitas dirinya sebagai seorang intelektual yang sekaligus penyair. Tagore menjelaskan masalah nasionalisme bagi dirinya, bagi India, bagi dunia timur, dan bagi dunia keseluruhan.

Dalam buku ini, Tagore menjelaskan arti dan semangat nasionalisme yang “sejati”. Nasionalisme “sejati” bagi Tagore bukanlah suatu gagasan sempit yang didasarkan atas keunggulan ras seperti yang dijelaskan oleh Adolf Hitler dalam Mein Kamf-nya. Ia juga bukan suatu paham yang didasarkan semata-mata atas dasar kesamaan nasib dan kesatuan geografis seperti ajaran Soekarno dalam pidato-pidatonya. Nasionalisme “sejati” menurut Tagore berada di luar politik, bersifat sosial dan menjelma kemanusiaan yang bersifat universal dan melampaui sekat-sekat kebangsaan.

Nasionalisme kemanusiaan tersebut hanya bisa mekar jika dibangun di atas nilai-nilai keindahan, kebaikan, dan kasih sayang. Hal-hal yang merusakkan segala yang indah, baik, dan penuh kasih, adalah musuh nasionalisme kemanusiaan. Hal-hal tersebut harus segera disingkirkan agar tidak menjerumuskan dunia pada kobaran perang yang diakibatkan oleh nasionalisme sempit. Nasionalisme sempit yang kemudian menjelma secara vulgar dalam praktek-praktek penjajahan dan kolonialisasi.

India yang mengalami kekejaman penjajahan dan kolonialisasi Inggris telah mengalami kerusakan moral dan intelektual. Nasionalisme sempit Inggris telah merusak sendi-sendi kebangsaan India. India yang di masa lalu memiliki peradaban tinggi dan sejajar dengan bangsa Mesir kuno dan eropa, menjelma menjadi bangsa yang sakit. Nasionalisme kemanusiaan mereka meredup. Mereka lumpuh dalam segala lini kehidupan.

Tagore menulis kegetiran penjajahan tersebut dengan lirih; “di India kami menderita oleh adanja persengketaan antara semangat barat dan peradaban barat. Kehikmatan peradaban barat sedikit sekali diberikannja kepada kami…. Pendidikan jang diberikan kepada kami begitu sedikit, hingga hal ini menjentuh perasaan kesopanan barat. Di negeri ini kami melihat bagaimana rakjat mendapat andjuran terus-menerus serta dilatih dan diberi segala sokongan supaja dapat masuk gelanggang perniagaan dan perindustrian jang tersebar diseluruh dunia, sedang satu-satunja sokongan jang kami terima di India ialah edjekan dari sang bangsa, oleh karena kami sangat terbelakang”. (Halaman 40)

Ejekan, hinaan dan stigma yang diberikan bangsa barat pada bangsa India dan bangsa timur seluruhnya, menurut Tagore, lahir akibat kerakusan manusia dalam mendapatkan monopoli pasar dan keuntungan materi. Segala hal yang menghalangi upaya-upaya pemuasan sifat rakus akan dihancurkan atas nama “ketertiban”. Dalam hal ini Tagore menyindir “dari segala apa jang diberikan kepada kita oleh bangsa barat, jang paling mulia ialah hukum dan ketertiban…. rupanja organisasi militer, kantor² pemerintahan, polisi, departemen penjelidik kedjahatan, sistem penjelidik rahasia, ini mendapat lapangan yang sangat besar, dan mengusai tiap djengkal tanah di negeri kita. Segala ini tudjuannja untuk mempertahankan ketertiban. Tapi bukankah ketertiban ini hanja merupakan sesuatunja jang negatif?” (halaman 43).

Untunglah Tagore merupakan penyair bergairah yang optimis melihat masa depan. Walaupun ia dihadapkan pada kejamnya penjajahan dan kolonialisasi Ingris, Tagore tetap mampu memandang segalanya dengan jernih. Tagore optimis akan terbit masa dimana nasionalisme kemanusiaan akan menang dan memainkan peran utamanya. Masa tersebut telah dekat. Masa itu adalah masa kemenangan nilai kemanusiaan di atas nilai-nilai sempit primodialisme.

Dalam uraiannya, sewaktu Tagore di Inggris, ia secara optimis menurup pidatonya; “bila kekuasaan mendjadi merasa malu duduk diatas singgasananja dan bersedia menjingkir untuk memberikan tempatnja kepada perasaan kasih sajang- bila hari-hari pagi telah tiba untuk membersihkan djedjak sang bangsa jang berdarah didjalan raja kemanusiaan, kita akan dipanggil untuk membawa perahu kita jang diisi air keramat – air pengabdian – untuk membersihkan sedjarah manusia, dan dengan ratjikannja maka debu abad jang terindjak-indjak akan berubah menjadi subur” (halaman 65).

Begitulah ketika seorang penyair bicara nasionalisme. Nasionalisme kemanusiaan yang penuh keindahan dan kasih sayang.

*)Penulis adalah pencinta buku dan film. Penulis aktif di komunitas perpustakaan jalanan Surakarta.

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan