the-story-of-al-quran

Kisah Tentang Al-quran

            Alqur’an adalah kitab sekaligus anugerah terbesar Muhammad, SAW. Ia adalah mukjizat, keagungan, dan berita besar. Kehadirannya begitu menggemparkan orang-orang yang belum pernah mendengarnya, bahkan bagi nabi sendiri. Kemunculan dan kehadirannya bukan hanya ditunggu-tunggu, tetapi juga dinantikan sebagai jawaban perselisihan di zaman nabi. Kisah turunnya ibarat cerita tak usai, penuh ketakjuban dan penuh pesona. Setiap dari turunnya ayat adalah sejarah tersendiri, hikmah sekaligus pelajaran berharga bagi manusia, bukan hanya umat islam.

            Kehadirannya yang membuat takjub sekaligus menggetarkan dada nabi, begitu mempesona sampai hari ini. Kita tentu tak lupa bagaimana nabi, menyepi, mengasingkan diri dari masyarakat yang bodoh di masa itu. Mereka membunuh anak perempuan, mereka saling bertikai antar suku, mereka menipu, berbuat kerusakan. Muhammad memilih menyepi, menepi, menenangkan diri, mencari tahu apa yang semestinya dilakukan. Di saat itulah turun wahyu yang menggemparkan, itulah kisah turunnya ayat pertama Al-qur’an yang berarti : bacalah/ bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan kamu/yang menciptakan kamu dari segumpal darah/ dst. Digambarkan dalam beberapa sirah, termasuk ibnu hisyam, bahwa Muhammad di masa itu, begitu ketakutan, kedinginan, merinding tak karuan. Tubuhnya seperti tak mampu menahan dinginnya udara pada waktu itu. Suara itu seperti bukan suara biasa. Hingga ia ingat terus-menerus, seperti merasuk dan memasuki relung tubuhnya.

            Itulah permulaan bagaimana Qur’an diturunkan. Semenjak itu pula, turun wahyu berikutnya yang menandakan awal mula dari dakwah nabi kepada umatnya. Sejak itu pula, permusuhan demi permusuhan tiada henti dilontarkan oleh musuh-musuh nabi. Tantangan qur’an sejak semula tidak hanya ditentang oleh keluarga nabi, tetapi juga ditentang oleh orang yang berseberangan dengan nabi. Qur’an menjadi berita yang begitu hebat tersebar kemana-mana di masa itu. Kehadiarannya mengguncang tatanan sosial, ekonomi, dan politik kaum Quraisy di masa itu, dimana eksistensinya diguncang. Agama nenek moyangnya seperti diserang. Meski kita tahu, komunitas muslim di masa itu, masih menganut agama islam, dan ka’bah sebagai rumah Tuhan, tetapi kebanyakan mereka masih menyembah dan mengakui bahwa Tuhan disembah melalui perantara (patung).

            Dengan bermulanya dakwah nabi itu pula, komunitas islam pelan-pelan terbentuk dan menghadapi kaum Quraisy yang rata-rata dari mereka justru bagian dari keluarga nabi. Sebagaimana abu jahal, abu lahab, dan abu thalib. Mereka kelak dicatat dalam sejarah qur’an bukan hanya sebagai penentang islam, tetapi diabadikan di dalam Qur’an sebagai kisah para manusia yang mengingkari ajakan nabi untuk menyembah Alloh.

            Buku Ulumul Qur’an Zaman Kita yang ditulis oleh Dr. Ingrid Mattson semula diberi judul The Story of The Qur’an. Judul asli justru lebih memikat daripada judul terjemahan. Ingat judul terjemahan ini saya jadi ingat buku yang diterbitkan serambi yang ditulis oleh Ziauddin Sardar yang berjudul Ngaji Qur’an Zaman Edan. Sekilas ada kemiripan antara isi yang dipaparkan oleh Ziauddin Sardar dengan Dr. Ingrid Mattson. Tetapi ternyata memiliki perbedaan cara pemaparan dan isinya. Buku Ziauddin Sardar lebih menekankan kepada makna ulumul kitab, atau alfatihah, kemudian dikontekskan dengan tafsir sekarang, sedangkan Ingrid Mattson lebih menekankan pada bagaimana kesejarahan Quran di masa lampau dan bagaimana relevansinya dengan zaman sekarang.

            Saya terpukau dengan awalan yang dituliskan dalam bab pertama buku ini. Bab pertama diberi judul Tuhan Berbicara Kepada Manusia. Bab ini mengisahkan sejarah atau kisah Siti Hajar yang ditinggal Ibrahim tatkala Ibrahim diminta Alloh membangun Ka’bah. Dipanggil tiga kali Ibrahim tak menoleh, sampai Siti Hajar berkata “kalau itu perintah Allah, pergilah!”. Ibrahim pun mengiyakan. Setelah itu, Siti Hajar pun yang menggendong bayinya kebingungan saat harus mencarikan air di padang yang kering, tandus. Saat itulah, kekuasaan Tuhan muncul, ia berbicara kepada Siti Hajar, dan memerintahkan Ismail untuk menendang-nendangkan kakinya. Pada padang pasih itu pula akhirnya mengalir mata air terbaik di seluruh dunia, yakni Zam-zam.

            Kisah ini memukau bukan hanya karena begitu dramatis, tetapi menggambarkan bagaimana Tuhan berbicara kepada manusia, untuk menolongnya. Di sisi lain, ia tak akan membiarkan atau memberi dengan cuma-cuma. Ada langkah yang harus dijalankan oleh manusia, ada usaha, ada upaya hingga tahapan terakhir pasrah kepada-Nya. Itu pula yang dilakukan oleh Hajar, sebelumnya ia lari kecil dari Shafa sampai ke Marwa. Hingga napak tilasnya dijadikan sebagai ritual ibadah haji sampai sekarang.

 

            Bagaimana kisah ketakjuban mereka generasi pertama dalam mendengarkan Al-qur’an bisa kita jumpai pada kisah Umar Bin Khatab saat adiknya membacakan Al-qur’an, ia terkejut, dan merasa takjub, hingga akhirnya Umar membacanya sendiri. Hal ini karena ayat-ayat Qur’an sarat dengan irama, nada puitis dan sajak (h.58).

            Di dalam Qur’an tak hanya berisi tentang ibadah dan muamalah, tetapi juga sejarah yang berharga. Sebagaimana kisah Ibrahim, yang memberikan pesan kepada kita tentang pentingnya akal dalam memahami wahyu. Kisah ibrahim mencari Tuhan memberikan kita tamsil bahwa meskipun akal semata tidak mampu mencapai kebenaran hakiki, ia tetap harus dilibatkan dalam perjuangan meraih petunjuk. Pada gilirannya logika, menjadi alat yang penting, meskipun tidak memadai, bagi para pencari Tuhan (h.66).

            Karena sebagai mukjizat nabi, sekaligus petunjuk manusia, Al-qur’an tetap terjaga sampai sekarang. Salah satu faktor dari keterjagaan Al-Qur’an menurut Ingrid Mattson adalah karena pembacaan mendahului penulisan. Pembacaan merupakan sarana utama untuk menjaga dan menyampaikan Al-qur’an sejak masa Nabi hinga kini. Itu tidak berarti tulisan tidak punya peranan penting. Sebab, meskipun Al-qur’an harus dibaca, Tuhan yang maha pemurah juga telah memberi manusia kemampuan untuk menuliskan ayat yang turun kepada mereka (h.131).

            Inilah yang dikemudian hari muncul orang-orang yang meragukan keotentikan Al-qur’an karena menilai banyak para hafidz yang gugur, sehingga yang ditulis oleh mushaf sekarang ini tak lengkap. Sebagaimana teori yang dituliskan oleh John Wansbrough di bukunya Qur’anic Studies and Methods of Scriptural Interpretation. Sebagai bacaan mulia, Al-quran bukan sekadar sebuah bacaan, tetapi ia memiliki dimensi ibadah.

            Itulah mengapa sampai sekarang dikembangkan ilmu-ilmu yang menautkan Al-quran dengan bidang yang lain yang menandakan bahwa kebenaran Alquran memang mutlak. Kajian tentang hal itu bukan hanya memunculkan perbedaan tafsir sebagaimana yang terjadi antara muawiyyah dengan Ali. Tetapi juga memunculkan perbedaan mahzab, yang dikenal empat mahzab seperti syafii, hambali, maliki, dan hanafi.

            Cara quran terjaga dari segi bacaan dan juga bunyinya dipaparkan menarik oleh Mattson di buku ini. Ada qiraah yang dilisankan, yang dilafadzkan saat para guru atau ulama menguji hafalan para pengafal quran. Di masa lalu, hafalan itu diuji bukan hanya dari sisi bunyinya, tetapi juga dari sisi pragmatiknya hingga yang mendengar merasakan pantulan hikmah dari quran. Salah satu generasi yang dikisahkan dari Qiraah ini adalah Reem, yang menerima ijazah dari Syekh Al Kurdi. Ia menerima sertifikat lulus bukan hanya dari sisi hafalannya saja, tetapi juga ilmu tajwid sampai pada pelafalan bunyi, dan pragmatiknya.

            Perkembangan quran yang memunculkan kemajuan bagi kejayaan islam dimasa Abbasiyah  selama lima tahun pun akhirnya runtuh ketika Bagdad dihancurkan oleh bangsa Mongolia. Para sejarawan menuturkan sungai-sungai menghitam karena tinta ratusan ribu buku yang dilempar ke sungai Tigris dan Eufrat. Tentu saja diantara buku-buku itu, terdapat ribuan buku lain yang dihancurkan bansag Mongol di berbagai kota besar Islam di Asia Tengah, Khurasan, dan Iran adalah mushaf Al-quran dan berbagai rujukan tentang ilmu alqur’an. Hal itu pula yang kelak disinggung di bukunya Fernando Baez yang berjudul Penghancuran Buku yang diterbitkan Marjin Kiri, saat Irak digempur dengan perang salib kata Presiden Bush dengan dalih senjata nuklir.

            Pentingnya Al-qur’an sebagai pedoman umat islam juga disinggung oleh sejarawan terkemuka Ibnu Khaldun di bukunya Muqaddimah bahwa pengajaran Al-qur’an kepada anak-anak merupakan simbol Islam. Orang Islam masih melakukan pengajaran semacam itu di berbagai kota untuk menanamkan keyakinan yang kuat kepada Islam dan rukun iman yang bersumber dari ayat Al-quran dan hadis Nabi. Al-qur’an menjadi dasar pengajaran, landasan bagi kebiasaan yang berkembang kemudian (h.182).

            Pengajaran Qur’an sampai sekarang terlihat dan nampak di sekolah-sekolah islam, tak lepas dari upaya memasukkan nilai-nilai pendidikan qur’an dalam bentuk hafalan di sekolah-sekolah dasar berbasis islam. Hal ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Boyle yang meneliti sekolah-sekolah tradisional yang berjudul Quranic School; Agents of Preservation and Change(2004). Boyle mencatat bahwa menghafal qur’an merupakan inti kurikulum sekolah tradisional membentuk sistem pendidikan yang holistik dan memiliki pijakan yang kuat (h.189).

            Mattson juga mencatat perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan Alquran. Akibat perkembangan teknologi, utamanya teknologi cetak, membuat kita bisa dengan mudah bisa mempelajari Al-qur’an tanpa harus berhubungan langsung dengan orang alim atau sebuah lembaga agama. Rekaman dari qari’ dapat didengar diseluruh penjuru dunia. Tetapi juga menghilangkan rantai periwayatan tentang qaariah.

            Perkembangan Alquran pun membawa kita umat islam untuk terus menerus menjadikannya sebagai kitab rujukan sekaligus pedoman penting untuk menghadapi situasi kontemporer. Mengingat tak hanya perbedaan tafsir, tetapi juga seringkali konflik bersifat vertikal antara umat islam terjadi gara-gara perbedaan pemahaman. Hal ini menuntut kita menemukan cara menjadikan Alquran relevan dengan berbagai kondisi yang terus berubah. Karena itulah para ulama berusaha menemukan cara untuk memperluas berbagai aturan yang bersifat khusus pada situasi baru serta menaarik berbagai prinsip dan nilai yang bersifat umum dari Al-quran (h.298).

            Sebagiamana yang dilakukan Ibrahim ada dua metode agar kita memiliki otoritas tafsir yakni intelektual dan juga spiritual. Langkah intelektual ini tak mudah, selain kita harus mengerti dan mempelajari ilmu tafsir dan berbagai ilmu tentang Al-quran, kita juga perlu memahami kesejarahan dan asbabul nuzul (sebab turunnya ayat). Yang kedua adalah dengan emosional dan spiritual, sehingga Al-quran tidak hanya difahami tekstual melainkan pragmatik, dan mengena sebagaimana kisah Reem yang hafal qur’an dan mampu memahami konteks ayat di Al-quran diterapkan di kehidupan kita sekarang ini.

            Buku Ingrid Mattson ini bukan hanya semakin membuat kita percaya akan ketakjuban dan mukjizat Qur’an, tetapi juga mendorong kita untuk terus menerus mengkaji dan memahami mukjizat itu agar bisa menjadi laku, emosional dan spiritual kita dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini bukan hanya dikemas dengan bahasa yang jernih dan dalam, tetapi juga menggunakan sumber-sumber primer yang meyakinkan.  Tentu saja, bagi kalangan non muslim buku ini bisa menjadi rujukan yang komprehensif bagi yang ingin mengerti sejarah Qur’an dari dulu sampai sekarang.

 

 *) Penulis adalah Guru MIM PK Kartasura, tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan