kisah-hidup-reptil

Kisah Hidup Sang Reptil

Aku selalu di tempat yang sama, memandangi ular besar yang berada di dalam kandang kaca di kebun binatang. setiap sore setidaknya satu atau dua jam aku berada di kebun binatang itu, tujuanku cuma ke rumah reptil, memandangi ular-ular dari satu kandang ke kandang lainnya. Aku juga tahu, beberapa petugas kebun binatang kerap bergunjing dan membicarakan keanehanku. Tapi aku tidak peduli.

            Ada alasan tersendiri mengapa manusia melakukan suatu perbuatan. Alasan itu bisa saja rasional atau terkadang irasional. Jelasnya semua alasan itu tidak perlu untuk diketahui orang luar. Biarlah masing-masing orang berbuat, apapun alasannya, jangan dicampuri! Aku pun begitu, segala gunjingan mereka tidak pernah membuatku mengurungkan perbuatanku. Aku tetap sama. Memandangi ular-ular dari satu kandang ke kandang lainnya.

            Aku sangat menyukai ular-ular itu. Tidak hanya ular, semua jenis reptil aku suka. Mereka berbeda, dianggap menyeramkan, namun mereka makhluk eksotis yang tidak mengenal kata menyerah. Aku menyukai. Aku bahkan menganalogikan diriku sebagai mereka.

            Jika mamalia dianalogikan sebagai anak yang lahir dan tumbuh di keluarga bahagia, maka reptilia adalah anak-anak yang tidak mengenal orang tuanya. Sendirian. Hidup dengan berlari dan bersembunyi dari makhluk yang lebih besar. Apa itu ibu? Apa itu ayah?. Mereka makhluk-makhluk akan datang memangsa jika lapar.

            Aku pernah menjadi mamalia hingga berumur enam tahun. Ibuku memang sudah meninggal saat itu, namun aku punya Bapak yang sangat menyayangiku. Bukan Bapak kaya raya yang membelikanku apapun. Bapak hanyalah seorang pemungut sampah, pindah dari satu tong sampah ke tong lainnya, dengan gerobak kecil reyot yang sering aku naiki. Tapi tetap saja aku sangat menyayangi Bapak, begitu pula dengan Bapak.

            Anak kecil tetaplah anak kecil. Merengek ketika melihat barang yang menarik, meminta dibelikan. Begitu pula aku. Saat itu aku sangat menginginkan baju timnas Indonesia yang aku lihat di etalase sebuah toko olahraga. Aku melihatnya ketika menemani Bapak memungut sampah. Berjalan dibelakang gerobak, aku terdiam dan berhenti ketika memandang baju timnas itu. Mungkin agak lama, hingga aku baru menyadari Bapak sudah ada di belakangku. “Le, kowe pingin klambi iku to?,” tanya Bapak sambil memegang pundakku. Aku menoleh, mengangguk. “Ya wis. Dongakno wae Bapak oleh rejeki akeh. Ben iso tuku klambi,” katanya. Aku mengangguk. Kemudian Bapak mengajakku segera berjalan, dengan berat hati aku pandangi baju itu untuk terakhir kalinya. Itulah sekelumit hal yang aku ingat tentang Bapak. Ingatan pria paruh baya ini sudah berangsur-angsur menghilang. Pikun. Namun Bapak tetap aku ingat, sebagai bagian terbahagia dalam hatiku.

            Kesenanganku tak berlangsung lama. Kerusuhan di kota tempat tinggal kami menyisakan mayat-mayat manusia yang bergelimpangan. Orang yang tak tahu rimbanya pun sangat banyak saat itu. Salah satunya Bapak. Bapak hanyalah seorang pendatang tak identitas. Aku yakin Bapak tak akan pernah meninggalkanku begitu saja. Jadi aku simpulkan Bapak telah meninggal. Mayat orang yang tidak beridentitas akan berakhir sebagai bahan praktek di Universitas. Atau dibiarkan membusuk di jalanan, bersama mayat-mayat yang lain. Aku sangat bersyukur bila ada yang sudi menguburkan Bapak. Hilangnya Bapak mengubah kehidupanku. Saat itu aku masih berusia enam tahun. Saat itu juga aku berubah dari mamalia menjadi reptilia.

            Perlu beberapa hari bagiku untuk sadar bahwa Bapak tak mungkin kembali. Sejak saat itu aku hidup seorang diri. Kerusuhan belum juga berakhir. Itu memaksaku untuk bersembunyi di sudut-sudut. Bersembunyi dari santapan makhluk-makhluk raksasa haus darah. Aku hanya keluar di malam hari untuk mengais sisa-sisa makanan. Makanan basi, sampah, bahkan muntahan sudah menjadi hidangan istimewa bagiku. Hingga akhirnya kerusuhan mulai dapat dikendalikan, jalanan menjadi tenang, dan aku tidak perlu sembunyi lagi.

            Orang-orang akan merasa iba jika melihat kucing kecil yang kelaparan. Namun tidak demikian dengan reptil. Jika mereka melihat seekor anak biawak atau ular di depan mereka bukan rasa iba, tapi amarah, ketakutan, dan tatapan jijik yang kami dapatkan. 

            Itulah yang aku alami. Dengan perut kosong dan tampang yang amburadul, aku jalan tak tentu arah dari satu kampung ke kampung yang lain. Tatapan sinis, jijik, takut sering aku jumpai dari penduduk kampung. Mereka juga mewanti-wanti anak mereka agar jauh-jauh dariku. Mungkin mereka anggap aku adalah monster mengerikan yang dapat menelan bulat-bulat anak mereka. Padahal aku sangat lapar, sempoyongan berjalan, dan tidak ada yang mempedulikan.

            Aku menyukai restoran dan rumah makan. Tempat sampah mereka berisi sisa-sisa makanan yang masih enak. Terkadang jika aku beruntung, si pemilik memberiku makanan makanan sisa di malam hari. Tapi aku tak bisa hidup di sana selamanya. Aku harus berpindah. Berpindah untuk bertahan hidup.

            Reptil-reptil kecil menemukan teman-teman sebaya yang mampu saling melindungi dan menghargai. Mereka membentuk koloni baru, berkelompok untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan.

            Entah berapa bulan aku hidup menggelandang seorang diri. Hingga akhirnya aku menemukan kawan-kawan yang bertahan hidup juga. Mereka sama lusuhnya denganku, sama dekilnya, dan sama-sama dipandang menjijikkan oleh orang-orang.

            Aku bertemu tiga orang anak yang sebaya denganku. Seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Mereka Sri, Mail, dan Memet. Kami salaing tersenyum saat berjumpa. Sejak saat itulah kami berempat mulai berjalan bersama menyusuri kampung-kampung, hingga melewati kota-kota. Dimana kaki mungil kami melangkah, kami selalu tertawa. Walau perut lapar dan terik mentari menyengat, kami melaluinya dengan langkah yang tidak berat lagi. Memang benar bahwa kebersamaan mampu membuat kita melupakan penderitaan yang kita alami. Kami berempat sangat kompak, saling membantu dan menghargai satu sama lain.

            Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Perpisahan membuat kita kehilangan teman lama, tapi membuka peluang untuk mendapatkan teman dari, pengalaman baru.Entah sudah berapa lama kami bersama-sama hingga akhirnya satu demi satu mereka memilih jalan sendiri. Hingga hanya tersisa aku dan Sri. Di ujung perjalanan, sampailah kami di kota metropolitan Surabaya. Aku memutuskan memulai usaha saat itu, daur ulang sampah. Pengalamanku ikut Bapak hingga berumur enam tahun ternyata sangat membantuku.

            Keberuntungan dipupuk dari beribu-ribu usaha dan keringat yang jatuh. Lambat laun usahaku mulai menanjak, hingga aku dapat hidup dengan sedikit layak. Saat itulah aku menikahi temanku Sri. Pernikahan kami sederhana, hanya dihadiri teman-teman dekat dan beberapa tetangga. Aku sangat senang saat itu. Dalam pikiranku, aku kini sudah cukup memiliki semua yang aku mau, walau dengan keadaan yang sederhana. Tapi tetap saja aku sangat senang.

            Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Aku segera beranjak pergi dari rumah reptil. Keadaan juga sudah sepi, tak banyak pengunjung lagi di sana. Aku pun beranjak pergi, pulang ke rumahku.

            “Kau tahu siapa bapak-bapak yang di sana itu?,” bisik seorang tukang sapu kebun binatang kepada temannya.

            “Kau tak tahu? Dia pak Winarto, pengusaha sekaligus pemilik yayasan dan yatim piatu untuk anak terlantar. Dia cukup terkenal disini.” kata temannya.

 

                                                            ***

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan