burung-pak-kyai

Kisah Pak Kyai & Burungnya

Dongeng kisah Pak Kyai dan burungnya.

Alkisah di suatu negeri tanpa nama sedang terjadi kehebohan. Negeri yang pada mulanya titi tentrem karta raharja itu tiba-tiba bergejolak.  Orang-orang baik disingkirkan, nabi-nabi palsu bermunculan. Seorang wali yang memilih diam di hutan bahkan meramalkan negeri itu sedang kena kutukan. Menurutnya, kaum negeri itu sudah mirip kaum Luth. Banyak orang beribadat tapi tidak beribadah. Ada yang melakukan doa rosario sebelum ‘nglonthe’, membuat tanda salib sebelum ‘ngrampok’, ada yang khusyuk berdoa pagi siang malam memohon korupsinya tidak terbongkar dan ada pula yg membunuh sembari meneriakkan asma Allah.

burung-pak-kyaiPara penghuni negeri itu jelas terdiri dari berbagai suku & agama. Dan mereka sangat gemar membandingkan siapa yang lebih suci di hadapan Allah sekalipun sama-sama mencuri. Dan kegentingan memuncak persis serupa ketika Tuhan mengacaukan bahasa kaum pemuja menara Babel. Saling hujat, saling maki bahkan saling bunuh mulai terjadi di berbagai pelosok negeri.

Namun, sebagian orang beriman bersyukur bahwa Tuhan memang Maha Pengasih. Di tengah-tengah kesemrawutan itu, tiba-tiba seekor burung datang ke rumah-rumah penduduk dan berkotbah.

“Fajar baru telah tiba”, kata mereka.

“Berhentilah saling memaki”, ucap yg lain.

“Aku mendengar sendiri burung itu hinggap di pohon mangga dan menyampaikan pesan kepada kita agar saling menghormati satu sama lain.”

“Apakah kita tidak malu pada burung yang bahkan lebih tahu mana yang baik & mana yang buruk”, tambah lainnya.

Burung itu semakin terkenal & orang-orang yang bosan dengan kedengkian mulai memujanya. Ikon-ikon dibuat, ditaruh di ruang-ruang pribadi untuk mengingat keagungan Tuhan yang disampaikan lewat burung itu. Begitu gemerlap keindahan kicauan burung itu hingga sang raja pun tertarik untuk mendengarnya.

“Konon ada burung yang pandai berkotbah. Bisakah kalian menghadirkannya di hadapanku?” titah Raja.

“Ampun Baginda. Hamba rasa itu hanya takhayul saja.”

“Tapi rakyat sungguh percaya bahwa itu burung kiriman Tuhan untuk negeri ini.”

“Ampun Baginda. Akan saya cari di mana burung itu biasa hinggap.”

Mendengar Raja tertarik pada burung itu, rakyat semakin gegap gempita. Mereka mulai membuat pemujaan & persembahan-persembahan. Zaman pencerahan telah tiba, agama lama ditinggalkan, agama baru didirikan.

Pengawal Raja beserta rakyat yg memujanya terus mencari burung itu. Hingga ke laut. Hingga ke hutan. Dan bertemu dengan sang wali yang berdiam di jantung sunyi. Sebetulnya, ia seorang Kyai yang sudah memutuskan untuk menjauh dari keramaian dunia. Karena kemampuan spiritualnya yang tinggi seperti Gus Dur, maka orang-orang yang mengenalnya menganggapnya seorang wali.

“Wahai wali, kami utusan raja pergi mencari burung yang dikirim Tuhan untuk negeri ini.”

“Banyak burung di hutan ini. Semua dikirim Tuhan untuk negeri ini,” jawab sang wali.

“Bukan. Bukan sembarang burung Kyai. Tapi burung yang pandai berkotbah,” sergah salah satu abdi raja.

“Tidak ada burung yg pandai berkotbah di sini.”

“Kyai jangan sembrono. Ada saksi tetangga kami pernah mendengar kotbahnya di atap rumah.”

“Tidak ada burung yang bisa berkotbah di sini. Ada satu burung beo, itu di pojok belakang pohon.”

“Bukan burung beo Kyai. Burung beo hanya menirukan orang bicara.” sanggah hamba raja lainnya.

“Hanya satu itu burung di sini yang bisa berbicara menirukan suaraku ketika mengaji, ketika aku bermadah dan menirukan setiap kata yang kukeluarkan.”

Hamba-hamba itu mulai marah. Mereka merasa dipermainkan oleh wali yang dianggapnya hendak mencuri poplaritas burung pengkotbah.

“Bunuh saja dukun itu. Ia bukan wali. Ia dukun yang membuat kacau negeri kita ini.”

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

“Demi Tuhan, halal darahnya!”

Tanpa sempat membela diri, sebatang golok menyayat leher wali itu. Entah siapa yang memulai kericuhan hingga tubuh wali itu telah berubah menjadi daging cincang.

Hamba raja & rakyat bersorak sorai. Tak seorang pun memperhatikan ke mana burung beo Kyai terbang. Mereka tidak peduli lagi. Mereka pulang dengan gembira dan mulai membangun rumah-rumah ibadat dan membuat patung burung sebagai sesembahan baru mereka. Negeri penuh suka cita. Rakyat merasa tenteram dan damai.

“Benar kan. Kyai di hutan itulah biang kutukan negeri ini.”

“Betul Kang. Sejatinya ia bukan Kyai, tapi dukun pemuja siluman.”

“Atas ijin Tuhan, untung kita telah membunuhnya.” timpal hamba-hamba itu.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan