ilustrasi-klise

Klise

Matahari telah separo merekah, bu guru muda menatap senyum di depan cermin. Menata lipatan kerudungnya kesana kemari agar terlihat simetris. Dan sesekali melirik kalau-kalau penampakan wajahnya terlihat miring. Setelah yakin semua beres, diraihnya tas gendong yang terlihat berat berisi laptop, buku catatan kecil, charger, dan peralatan make up ala kadarnya. Sepatunya telah rapi menanti di depan pintu, berharap sang empunya segera menjulurkan jari jari dalam bungkusan kaos kaki.

Motor bebek second yang dicicil tiap bulan selama lima tahun menderu menerjang embun dan alang-alang. Ia menyukainya, aroma embun dan rumput pagi, serta tumpukan jerami di kiri kanan jalan milik petani yang usai panen. Pagi ini seperti biasa, ia menuju SD tempatnya mengajar dan menghabiskan waktu separo hari.

Tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya,  Bu guru Hajar, guru muda tanggung yang selalu ceria dan bersemangat. Baru saja ia menyandarkan kaki standar motor, anak-anak berseragam putih merah telah menghambur mendekatinya. Mesin motornya masih menyala, dan anak-anak itu menjulurkan tangan mungil mereka sambil menyapa riang.

“ selamat pagi bu,.”

“selamat pagi..”

Bu guru muda disambut dengan suka cita, dan membalas dengan ramah tamah.

“ selamat pagi bu,..”

“iyaa,. Selamat pagi,. Awas dek itu knalpot panas, jangan dekat- dekat..”

Katanya sembari tersenyum dan menarik lengan seorang gadis kecil yang rambutnya diikat kebelakang dan mengenakan bando hello kitty. Sambutan hangat itu berlangsung tak lebih dari tiga menit, bu guru melanjutkan langkahnya menuju kantor.

“ wah, sudah mruput Bu Hajar ini..” sapa seorang rekan.

“ah iya Pak, kebetulan hari ini tidak kesiangan bangun..” jawab Bu Hajar yang disambut renyah tawa rekan seprofesinya. Ia berjalan memutar dan bersalaman dengan semua yang ada dalam ruangan itu.

Bu guru muda ini bukanlah seseorang yang istimewa, hanya gadis bersahaja yang menghabiskan masa mudanya lebih dewasa dari kawan sebangsanya.  Bagaimana tidak, saat teman seusianya tengah menikmati masa muda dengan plesir dan menyenangkan hati, ia telah harus berdiri di hadapan puluhan mata dan mengajarkan satu dua kata atau huruf.  Memang tak sulit, namun kadang ia juga merasa jenuh sebenarnya.

Di sela-sela mengajar handphonenya berdering pelan, sebaris nama tertera pada layar kecil itu. Hikmal, sebuah nama yang mengembangkan senyum tipis pada bibir bu guru muda. Siswa-siswa kecilnya berbisik dan terkikik geli melihat bu gurunya tersenyum-senyum sendiri.

“ cieee bu guru jatuh cintaa…”

Celoteh dari wajah-wajah mungil lugu, yang mereka tahu hanyalah apa yang terlihat, senyum yang menunjukan kebahagiaan dan suka cita. Tanpa tahu, sang empunya senyum punya banyak rahasia.

Betapa kebahagiaan yang sempurna, usia muda, karir sebagai pengajar mulia, dan pria idaman yang akan mempersunting dengan segera. Kehidupan tak seindah apa yang terlihat oleh mata, tak semudah membayangkan dan menilai belaka. Pada kenyataannya, banyak yang memilih untuk tersenyum dan terlihat baik-baik saja, untuk sekedar menutupi apa yang menjadi gejolak perih dalam dada.

Hajar, ibu guru muda yang kehidupannya tampak luar biasa bahagia, ia masih sejenak memandangi layar handphone, serta sesekali menggerakan ibu jari mengusap-usap layar yang dingin. Ia memang tersenyum, namun jauh dalam benaknya ada sesuatu yang berkecamuk, mengikis setiap ketegaran yang selama ini ia bangun.

Waktu berlalu bersama lamunan panjang dan tawa-tawa kecil. Matahari sudah teramat panas untuk sekedar menghangatkan. Bu guru muda, kembali menyusuri jalan diantara ladang-ladang dan tumpukan jerami. Bedanya, aroma segar di pagi tadi tak ia temui kembali, berganti dengan angin gersang yang menerpa wajahnya dengan sangar. Waktu siang seakan mewakili perasaannya yang kalut.

Tapi mengapa? Bukankah hidupnya begitu sempurna? Terlalu tak bersyukur jika ia mengeluh dan terus mengumbar sesal bukan?

Sekali lagi, hidup tak semudah yang terlihat dan dibayangkan. Tak ada yang tahu bagaimana seorang Hajar yang menghabiskan sisa hari-harinya bersama keadaan monoton, mungkin membosankan bagi orang lain, namun berbeda bagi Hajar, keadaanya saat ini adalah segala kebahagiaan yang ia miliki.

Belum lagi langkahnya melewati garis pintu, hawa sesak telah menyambut dengan semerbak.

Gambaran rumah sederhana dengan pekarangan sempit yang ditumbuhi berbagai macam tanaman, sayur, bunga, rumput, ilalang, gulma atau mungkin bahkan spesies tanaman yang belum diketahui klasifikasinya. Sampah plastik bekas bungkus makanan ringan bertebaran di lantai semen. Buku, tas, ikat pinggang, berserakan di antara sela dan sudut ruang. Keadaan yang tak nyaman oleh siapapun yang memandang.

Di sisi lain, seorang gadis kecil tenggelam bersama tumpukan buku dan kertas-kertas buram. Zahra, gadis itu adalah adik bu guru Hajar. Gadis yang sejak usianya belum genap dua tahun sudah harus merasakan pahit kehidupan, tak ada ingatan tentang gendongan seorang ayah atau semacamnya hingga kini saat ia menginjak remaja. Tepat di seberang gadis itu, duduk seorang wanita dengan rambut memutih menyelimuti sebagian kepalanya. Ia belum begitu tua, namun keadaan memaksanya menjadi lebih tua dari usianya. Hajar melangkah melewati pintu tengah, tepat di ujung ruangan, satu bilik bergorden biru. Dalam bilik itu seorang pria terbaring, kurus, kaku. Sesekali tangannya bergerak untuk meraih tongkat yang ia gunakan untuk meluruskan kakinya sendiri.

Jika melihat sesaat pada keadaan ini, rasanya seperti melihat drama ironi yang setiap hari tayang di tv swasta. Gambaran tentang kehidupan yang memprihatinkan, jauh dari kemegahan.

Inilah sisi lain seorang Hajar, guru belia yang selalu bersemangat. Inilah kehidupan nyatanya, bersama seorang adik cerdas yang setiap saat merengak padanya hanya untuk sebuah permen. Seorang ibu yang selalu kelelahan dan mengeluh sepanjang hari tentang cobaan yang tak kunjung usai, dan seorang ayah yang menghabiskan hari-harinya di atas dipan, kadang berteriak dan menangis minta dicekik hanya karena kantung kencingnya belum dibuang. Miris memang.

Hajar menuju bilik kecilnya, menenggelamkan semua perasaan tak nyaman yang melintasi sel-sel sarafnya. Inilah hidup. Bagaimanapun rasanya, harus tetap terus berjalan. Tak mungkin menginginkan ini berhenti, atau hidup juga akan berhenti.

Ia tahu, ini tak mudah. Ia tahu, pandangan orang lain terhadapnya pasti berbeda-beda.

Hajar tak pernah menyesali apapun, ia menikmati hidupnya. Tak banyak yang tahu. Dibalik rengekan adiknya, keluhan ibunya, atau teriakan ayahnya yang lumpuh, banyak hal membahagiakan yang ia dapatkan dalam rumah kecil ini.

Tak perlu mewah, sederhana saja. Seperti saat ini, ketika ia keluar dari kamarnya. Ibunya telah menata piring, nasi, sayur, tempe goreng dan sambel bawang di atas tikar. Adik kecilnya telah menunggu penuh harap.

Tak ada kebahagiaan mewah yang Hajar impikan, hal-hal kecil seperti makan bersama saat ini adalah sesuatu yang selalu membuatnya bahagia. Dalam lingkaran keluarga kecil itulah setiap rasa bisa dibagi, keluh kesah, pedih, suka cita, semua sama rata, sama rasa.

Tak perlu ada yang disembunyikan, di sinilah Hajar tumbuh, belajar menjadi pribadi yang tegar. Kuat untuk dirinya, adik, ibu, dan ayahnya.

Inilah kebahagiaan yang untuk orang lain memuakkan, inilah rahasia dibalik semangat dan keceriaan Hajar. Tak ada yang tahu, betapa bahagia begitu sederhana.

Inilah hidup, terlalu klise jika menganggap keterbatasan adalah sesuatu yang menyakitkan, dan keberadaan adalah suatu yang membanggakan. Tak ada yang tak mungkin, tak ada yang terlalu sulit, nyatanya semua masih baik-baik saja. Hajar tersenyum, ia bahagia dengan segala keadaanya. Guru muda yang bersahaja, banyak hal yang tak ia acuhkan, karena hidup ini bukan melo drama.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan