tubuh-perempuan-dan-eksploitasi-seksual

Komoditas Tubuh Perempuan dalam Iklan

            Panggung politik negara Indonesia sedang diramaikan dengan isu-isu seputar pilkada serentak yang akan diadakan pada tahun 2018 nanti. Para kandidat dari masing-masing partai politik mulai melakukan gerakan-gerakan politik yang bertujuan untuk meraup dukungan dari warga masyarakat. Salah satu gerakan politik yang biasa dan sering dilakukan adalah kampanye. Para calon biasanya berlomba-lomba untuk mengadakan kampanye yang antraktif untuk dapat menarik perhatian dan dukungan dari masyarakat. Mereka tidak sungkan-sungkan mengeluarkan dana yang begitu besar untuk mendatangkan artis-artis terkenal dalam kampanye mereka. Biasanya artis-artis yang didatangkan itu adalah artis-artis perempuan yang cantik dan berpenampilan seksi. Dalam hal ini, kemolekan tubuh artis dipakai untuk menggaet masa voters (Madung, 2011:34)

            Realitas di atas merupakan salah satu contoh atau bentuk eksploitasi terhadap tubuh perempuan. Kampanye politik dijadikan sebagai instrumen bagi para politikus untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Dalam hal ini, tubuh perempuan dijadikan seperti komodoti yang dibeli oleh politikus itu dengan harga yang mahal dan dijual dengan harga yang murah karena hanya untuk menarik perhatian dan mendapatkan dukungan dari masyarakat (yang belum tentu juga memilihnya).

            Selain realitas yang ditampilkan di atas, masih banyak realitas lain dalam kehidupan masyarakat yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komiditi. Realitas atau fakta yang paling jamak kita temukan hampir setiap hari dalam kehidupan kita adalah realitas eksploitasi tubuh perempuan dalam iklan. Dalam iklan, tubuh perempuan kerap digunakan sebagai model untuk setiap produk yang ingin dipromosikan. Perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh kaum kapitalis rela memberikan bayaran yang cukup tinggi bagi perempuan yang membintagi iklan produk mereka guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, tubuh perempuan dibayar atau secara kasarnya dibeli oleh kaum kapitalis lalu kemudian dijadikan komoditi untuk dapat meraih keuntungan yang mungkin lebih besar dari bayaran yang diberikan terhadap perempuan itu. Di sini, tubuh perempuan dijadikan seperti barang yang layak untuk diperjualbelikan. Dengan kata lain, tubuh perempuan dijadikan seperti komoditi bagi kaum kapitalis untuk dapat meraup keuntungan dalam jumlah yang besar.

            Iklan pada dasarnya dibuat untuk menarik perhatian dari masyarakat untuk membeli suatu produk tertentu. Dalam bahasa Jean Baudrillard, iklan adalah sistem bujuk rayu (seduksi) yang diciptakan oleh kaum kapitalis untuk memancing minat dari masyarakat konsumer terhadap barang-barang yang diproduksinya (Ule, 2011:62). Pada setiap iklan terselip suatu kepentingan pihak pengusaha atau kaum kapitalis yang berusaha memanfaatkan media massa sebagai sarana promosi atau sosialisasi terhadap produk tertentu. Dalam usaha untuk mempengaruhi benak khalayak tentang gambaran terhadap suatu produk, strategi periklanan digunakan sehingga dapat membuat masyarakat terpengaruh atau memiliki ketertarikan terhadap suatu produk. Menghadapi pasar yang sudah jenuh, produsen harus menciptakan berbagai macam strategi bagi barang yang diproduksinya agar dapat habis dikonsumsi dan menghasilkan keuntungan. Salah satu strategi yang seringkali mereka gunakan adalah dengan menggunakan tubuh perempuan sebagai model dan objek utama dalam iklan.           

            Keindahan tubuh perempuan seringkali dijadikan obyek yang sangat menguntungkan bagi pelaku media (kaum kapitalis). Di dalam periklanan, perempuan dijadikan komoditi utama dan dijadikan simbol dalam seni-seni komersial. Pengeksploitasian secara besar-besaran dalam dunia periklanan sudah banyak terjadi. Menurut Suryandaru (2004), figur model iklan yang dianggap lebih mampu dimiliki oleh kaum perempuan. Oleh karena itu, sudah jelas terlihat bahwa perempuan dijadikan sebagai obyek utama dalam iklan karena dalam sebagian besar iklan menggunakan perempuan sebagai daya tarik utama untuk menarik para konsumen.   

            Ada cukup banyak iklan dalam televisi yang menjadikan perempuan sebagai obyek utamanya. Salah satu dari sekian banyak iklan itu adalah iklan kosmetik Citra. Dalam iklan itu ditampilkan seorang perempuan yang mengusap citra di seluruh bagian tubuhnya. Setelah menggunakan kosmetik Citra itu, kulit perempuan itu menjadi putih bersinar. Perempuan itu pun menjadi kelihatan sangat cantik. Karena keindahan dan kecantikan kulit yang dimilikinya, sang suami menjadi semakin mencintainya dan dengan penuh percaya diri membawanya ke pesta. Di tempat pesta itu, semua mata laki-laki menatap penuh kagum akan kecantikan istrinya dan si laki-laki itu tersenyum dan langsung memeluk perempuan itu dengan penuh cinta.

            Iklan kosmetik Citra ini sangat gamblang menampilkan tubuh perempuan hanya sebagai obyek dan komoditas yang digunakan oleh kaum kapitalis untuk menarik perhatian masyarakat terhadap produk Citra yang mereka ciptakan itu. Dalam iklan tersebut, keindahan tubuh perempuan hanya dijadikan sebagai bahan eksploitasi semata tanpa mengindahkan etika atau keberadaan perempuan di tengah masyarakat. Perempuan pun kemudian hanya dijadikan sebagai stereotip yang identik dengan tubuh dan seksualitas semata.

            Jika kita membuat analisis yang lebih jauh terhadap Iklan kosmetik Citra tersebut, ada beberapa hal mendasar yang mengindikasikan bahwa perempuan hanya sebagai obyek dan komoditi di tangan para kapitalis. Pertama, iklan produk tersebut mereduksi aspek kemanusiaan dari seorang perempuan hanya pada kecantikan. Perempuan diharuskan untuk selalu tampil cantik. Dengan kecantikannya itu, dia dapat memikat kaum pria. Hal inilah yang menarik dalam iklan. Dalam iklan, keindahan tubuh perempuan adalah segala-galanya dan merupakan keharusan bahwa perempuan harus memiliki tubuh yang ideal. Sedangkan perempuan yang terlahir dengan wajah yang bisa dikatakan tidak cantik dan memiliki tubuh gemuk dianggap sebagai perempuan yang tidak ideal, bahkan tidak pantas untuk dijadikan pendamping dari seorang pria.

            Kedua, perempuan hanya dijadikan sebagai objek ekploitasi seks. Penampilan tubuh perempuan yang cukup vulgar dan sensual seperti dalam iklan produk Citra di atas secara implisit mau menegaskan bahwa tubuh perempuan itu layak untuk dijadikan obyek eksploitasi seksual. Tatapan-tatapan mata dari para lelaki seperti yang dilukiskan dalam iklan di atas tentunya bukan sekedar tatapan kosong. Dalam tatapan itu, ada juga intensi untuk segera mengagahi tubuh yang molek dan sensual itu.

            Eksploitasi dan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditi dalam sebuah iklan tentu bukanlah suatu hal yang baik. Dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditi, maka kesakralan dari tubuh perempuan itu menjadi sirna. Tubuh sebagai hagios topos, tempat kudus yang di dalamnya Tuhan bertahta tidak dihargai lagi. Hal ini dipertegas lagi oleh Marleau Ponty bahwa dengan tidak lagi memposisikan tubuh perempuan sebagai subyek kesadarannya, maka kemurnian dan keluhuran tubuh perempuan sebagai insan ciptaan Tuhan ternoda dan terluka (Lilijawa, 2010:152). Oleh karena itu, segala bentuk iklan yang mengobyekan tubuh perempuan perlu ditinjau kembali. Kehadiran iklan dalam dunia televisi tentunya tidak bisa dilarang. Hanya yang mungkin perlu diperhatikan oleh para pengusaha yang memproduksi iklan adalah bahwa iklan itu tidak boleh melanggar atau melampaui norma-norma etis yang berlaku di dalam masyarakat.        

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan