korupsi-di-dunia-pendidikan

Korupsi dan Kesalahan Orentasi Belajar

Korupsi dan pendidikan merupakan hal yang amat berkaitan. Setidaknya hal tersebut yang cukup mengagetkan saya ketika membaca berita prosesi pengadilan kasus korupsi Bupati nonaktif Sri Hartini. Berita tersebut saya baca pada media cetak. Uang korupsi dikabarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai Rp 13 Miliar. Jumlah ini diantaranya diperoleh dari suap dan gratifikasi dari 148 kepala desa di klaten, dan 34 guru dan kepala sekolah. Suap yang diberikan merupakan “uang syukuran” untuk promosi jabatan.

Keterlibatan guru dan kepala sekolah dalam kasus suap dan korupsi merupakan hal yang sangat disayangkan. Hal yang dikhawatirkan dari fakta ini adalah bahwa ternyata sekolah tidak mampu lagi menjadi benteng moralitas dan pembangunan karakter manusia. Sektor pendidikan yang menghabiskan anggaran belanja negara sangat besar belum mampu sepenuhnya menjadi panglima moralitas. Tentu ini menjadi salah satu jawaban atas keheranan kita mengapa korupsi sejak zaman kolonial hingga sekarang tidak pernah sirna?

Keterlibatan bupati dan instansi pendidikan setidaknya menggambarkan dua faktor hubungan korupsi; kursi jabatan dan bangku sekolah. Kursi jabatan berkaitan dengan pekerjaan yang akan menjamin kesejahteraan materi seseorang kelak. Sedangkan bangku sekolah merupakan syarat untuk memperoleh kursi pekerjaan. Persoalan ini menciptakan logika belajar untuk bekerja, dan bekerja untuk makan.

Fakta diatas menggugurkan anggapan ideal bahwa sekolah tempat untuk belajar dan mencari ilmu. Bahkan terkesan ilmu dicari semata-mata untuk makan, bukan makan untuk mencari ilmu. Jika “makan”, jabatan, dan bangku menjadi sedemikian terkait tanpa adanya jarak, sudah barang tentu marwah keilmuan akan sedikit banyak dikorbankan. Keilmuan bukan menjadi sang surya yang mengarahkan pendidikan. Pendidikan menjadi semacam “sistem percaloan” yang menjajakan tiket kursi pekerjaan. Dan peserta didik secara buta menggantungkan nasib hidupnya pada sistem tersebut. ketergantungan seperti itu menyebabkan tumbuhnya perilaku korupsi sejak masuk gerbang sekolah.

Bibit korupsi yang muncul di awal sekolah bisa kita lihat dalam persoalan fenomena penyogokan bangku pendidikan. Hal ini sangat terasa dalam kehidupan universitas. Cerita demikian banyak saya dengar dari mereka yang mengeluhkan praktik penyogokan bangku kuliah. Pragmatisme menyuap bangku kuliah diakhiri dengan praktik jual beli skripsi oleh mahasiswa semester akhir. Praktik-praktik seperti inilah kemudian yang mereproduksi habitus korupsi pegawai publik yang hampir semuanya merupakan sarjana.

Penyimpangan pendidikan sudah menjadi sedemikian umumnya. Hal ini tentu perlu menjadi keresahan nasional yang kemudian diikuti dengan pertanyaan kritis apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Peningkatan mutu pendidikan selama ini masih bersifat sebatas materiil berupa pemberian alokasi anggaran belanja  besar dalam bidang pendidikan. Konsep dan filosofi pendidikan jarang sekali didiskusikan secara serius. Sehingga pendidikan tidak memiliki daya tahan terhadap perilaku amoral seperti korupsi.

Logika Swalayan

            Diskursus mengenai pragmatisme pendidikan pernah saya baca dalam sebuah buku berjudul “Pendidikan Rusak-Rusakan” (LKIS ; Cetakan pertama 2005) karangan Darmaningtyas.  Penulis mengutarakan bahwa logika pendidikan kita seperti supermarket. Sebagai pasar besar, kepentingan supermarket adalah bagaimana menarik pelanggan sebanyak-banyaknya untuk berbelanja di dalamnya. Banyaknya pelanggan yang berbelanja akan melipatgandakan keuntungan yang diperoleh.

            Hal yang sama jika kita mengaca pendidikan nasional kita, tak terkecuali kampus. segala upaya dilakukan untuk menarik semakin banyak masuknya peserta didik. Pertimbangan fasilitas dan kesiapan pendidikan sering diabaikan seperti pendirian program studi yang dipaksakan. Pertimbangan rasional sebatas logika penyerapan tenaga kerja dan penyerapan mahasiswa baru. Gejala ini membuat kesan Universitas merupakan intansi bisnis yang mengedepankan keuntungan yang diperoleh dari banyaknya mahasiswa masuk Universitas, daripada seleksi ketat demi pengembangan keilmuan dan mutu kemanusiaan.

            Persoalan pragmatisme pendidikan pernah menjadi perdebatan antara B.J. Habibie dan Fuad Hasan. Pada waktu itu, Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Tehnologi, sedangkan Fuad Hasan menjabat Menteri Pendidikan. Kemampuan pendidikan dalam menyediakan tenaga kerja siap pakai merupakan keberhasilan pendidikan bagi Habibie. Sedangkan bagi Fuad Hasan, kemampuan pendidikan untuk mendewasakan masyarakat merupakan keberhasilan pendidikan.

            Tidak dijelaskan siapa yang memenangkan perdebatan tersebut oleh Darmaningtyas. Namun yang jelas, arah pendidikan untuk melayani kebutuhan industri merupakan orentasi pendidikan yang terjadi saat ini. tidak sulit ditemukan, bagaimana Universitas membangun kerjasama dengan industri dalam hal tenaga kerja selain pengembangan riset yang nanti akan mereka manfaatkan. Kehidupan kampus yang demikian mengaburkan pandangan kita antara lembaga kursus ketrampilan ataukah Universitas.

            Konsekuensi pendidikan yang mengabdi pada kepentingan industri, mengakibatkan penyeragaman tanpa kontektualisasi latar belakang peserta didik. Pelajar semakin mahir berbahasa inggris dan komputer namun tidak mengerti manfaat besar ubi maupun jahe di kebun rumahnya. Generasi tani semakin habis hari demi hari, sawah menjadi pabrik, hingga kita harus mengimpor beras untuk makan.

            Jika Darmaningtyas melihat “logika swalayan” pendidikan menyebabkan kapitalisasi pendidikan, maka saya melihat dampak buruk pendidikan semacam ini dalam penumbuhan budaya korupsi. Selama kehidupan kampus masih didominasi logika kerja dan penetrasi industrialisme, selama itu kampus hanya akan mengurusi masa depan perut semata. Seyogyanya, fungsi kepala adalah sebagai moralitas pengontrol, namun jika kepala diabaikan, maka perutlah yang mengambil tindakan. Moralitas pun akan roboh dalam pendidikan, dan korupsi akan terus beranak pinak.

            Sudah saatnya pendidikan kita perlu dievaluasi melihat kasus keterlibatan instansi pendidikan dalam korupsi. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan jarak antara kampus dan industri atau pasar. Keilmuan yang harus menjadi kontrol ketat, dan untuk itu, kampus perlu memberanikan diri untuk tidak memiliki banyak mahasiswa. karya keilmuan lah yang akan menghidupi para mahasiswa kelak, bukan sebatas ijazah kelulusan.

Jika hubungan kampus dan pragmatisme kerja diberikan pembatas, kampus tidak akan menjadi instansi percaloan. Pragmastisme kerja disediakan dengan melalui kursus atau sekolah ketrampilan, bukan kampus. Dengan begitu, optimisme dan harapan musnahnya korupsi akan semakin terlihat besar.

 

Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Penulis juga mengelola Toko Buku Online Abjad Rakjad

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan