siap-koyo-di-kereta

Koyo dan Bangku Kosong

Saya membawa dua pasang koyo. Menempel dua di pundak, dua lagi di pinggang. Koyo-koyo ini melekat seperti lintah, bahkan saat bergesekan dan berdesakan di depan pintu masuk saya bisa merasakan keberadaan mereka masih seperti setengah jam lalu sewaktu memangsangnya. Rasanya menyerupai permen mint, tetapi pada kulit; campuran panas dan dingin.

Saat itu satu hari menjelang tahun baru cina, kereta penuh sesak. Di luar stasiun, pada lorong sempit yang menghubungkannya dengan jalan raya, orang-orang berdempetan dari dua arah berlawanan. Di loket, antrian tak beraturan tak henti-hentinya memanjang dan memendek. Hujan mengguyur sepanjang pagi dan di luar loket sekitar lima atau enam bocah menawarkan payung tanpa kata-kata. Salah seorang dari mereka menyongsong seseorang yang baru hendak keluar, memberikan payung terbukanya kemudian mengekor penyewa payungnya sambil mengigil.

Untuk melewati kepadatan semacam itu, dimana kita tidak mau berlaku kurang ajar dengan mendorong atau memotong jalur antrian hanya untuk sampai ke pintu masuk, kita harus menunggu, mencari celah, mendesak pelan-pelan dan karena kita adalah laki-laki maka jangan mencuri kesempatan dalam kesesakan ini.

Saya sampai di peron stasiun jalur tujuh. Hujan begitu deras dan payung-payung serta orang-orangnya mirip adegan pemakaman seorang penting di musim hujan (dalam film gangster). Ketika kereta tiba, pintu terbuka, keluarlah orang-orang dari dalam dan saling menabrak dengan penumpang yang hendak masuk. Walaupun telah ada poster mengenai antrian, yang mana semestinya penumpang keluar dibiarkan terlebih dahulu sebelum penumpang masuk melangkah ke dalam, kesemrawutan tetap terjadi. Saya ikut merangsek masuk karena menunggu antrian berakhir di pintu kereta berarti membiarkan tubuh basah kuyup.

Gerbong ke tiga masih ada satu deret panjang yang kosong. Saya duduk bersamaan seorang nenek dengan dua orang cucu lelaki; seorang sekitar lima tahun seorang lagi lebih muda. Dua balita itu tampak sehat dan lincah. Yang lima tahun merangkak di atas bangku lalu adik kecilnya berusaha naik ke atas punggung sebelum jatuh ke belakang, lalu keduanya tertawa. Si nenek menyuruh mereka diam. Setelah kakaknya duduk dengan melipat kaki rapat-rapat di samping si nenek, bocah paling kecil berjalan lenting-lenting ke arah pintu. Neneknya tidak tahu karena sedang melihat ke arah sebaliknya. Bocah kecil menjulurkan kedua tangan ke luar, menadah hujan kemudian melemparkannya ke lantai kereta. Beberapa kali sampai lantai semakin becek. Petugas keamanan datang dan membawanya kembali ke hadapan si nenek yang langsung menepuk punggung tangannya. Bocah kecil malah tertawa puas.

Kereta berjalan tidak lama kemudian. Semua tempat telah terisi semua. Saya begitu fokus pada dua bocah itu sehingga tidak melihat orang-orang lain yang memenuhi gerbong itu. AC menyala cukup kencang dan orang-orang mengeluh dingin. Seorang dari kami bertanya cukup keras apakah petugas tidak tahu kalau di luar sedang turun hujan. Dalam keadaan menahan dingin akhirnya saya menutup mata pura-pura tidur.

Tidak lebih dari sepuluh menit kereta berhenti di Cilebut. Saya bisa merasakan bahwa jumlah yang turun terlalu sedikit dibandingkan yang naik. Begitulah, kereta dari Bogor selalu penuh di pagi hari menuju Jakarta dan sepanjang perhentian-perhentian penumpang terus bertambah sampai semua pria terpaksa berdiri. Saya belum mau berdiri, setidaknya dua atau tiga stasiun lagi.

Kereta melesat. Berhenti di Bojong dan Citayam. Suara ibu-ibu di pintu masuk semakin membuat saya mengatup kelopak mata. Saya tidak sedang penat, tetapi dengan ketetapan hati untuk tidak mau menyerahkan tempat duduk kepada siapa pun yang baru naik.

Kereta tiba di depok. Saya buka mata dan melihat orang-orang yang berdiri sudah lebih dari cukup. Tetapi di luar kehendak siapa pun, di pintu masuk segerombolan orang berjejalan.  Si nenek yang tadi telah memangku cucunya yang paling kecil dan seorang pria setengah baya entah kapan duduk di sana mengapit cucu yang paling besar. Kedua bocah tersebut sama-sama mulai mengantuk.

Tepat sebelum pintu menutup otomatis seorang wanita muda yang mempunyai tanda-tanda kehamilan di balik pakaiannya masuk sambil mencari-cari tempat. Seorang pria berkemeja menggenggam sebelah tangannya dari belakang. Sejenak wanita hamil muda itu bersitatap dengan saya, dan di ujung tatapan saya tahu mesti berbuat apa. Dalam kereta yang penuh sesak, dimana kita duduk dan berdiri begitu dekat dengan orang asing, yang paling dibutuhkan seorang wanita hamil bukan lengan kekasih atau suaminya melainkan bagian dari bangku yang kita miliki.

Saya berdiri dan mempersilahkan dia duduk.

Meskipun udara dingin di dalam kereta sudah berkurang, di luar sana musim hujan terus bergulir. Berdampingan dengan saya adalah lelaki berkemeja tadi yang terus menggegam sebelah tangan wanita hamil muda. Meski begitu keduanya tidak saling memperhatikan; yang pria memandang keluar menembus jendela dan wanita hamil itu menulis sesuatu pada ponselnya. Si nenek mengelus dahi bocah di pangkuannya, bocah yang satu menguap lebar-lebar di depan pria yang mengapitnya.

Kulit wajah wanita hamil itu begitu halus dan kencang, pada bagian tulang pipinya terlihat bercahaya. Dari cara saya berdiri dengan tangan menggenggam pegangan yang tergantung di atas kepala saya bisa melihat wanita tersebut tanpa sepengetahuan orang lain. Perutnya yang tidak terlalu menonjol memungkinkan wanita hamil itu tidak tampak mengerikan, malah justru sebaliknya dialah wanita paling cantik untuk saat ini. Saya harus mengakui ini, bahwa pada fase kehamilan tertentu seorang wanita bisa lebih cantik dari biasanya, lebih menarik dari dua bulan sebelumnya. Dan meskipun menghamili seseorang mungkin sedikit menakutkan, demi melihat wanita hamil itu sesuatu telah menyala dalam tubuh saya.

Di cawang, keluarlah si nenek beserta kedua bocahnya menyisahkan sebuah tempat kosong di samping wanita hamil. Dari arah pintu tidak ada penumpang masuk. Lantas si wanita hamil menatap ke atas, kepada pria berkemeja lalu dengan mata dan senyumnya dia menyuruh lelaki itu duduk. Tetapi entah bagaimana reaksi wajahnya, pria berkemeja tetap berdiri. Dia hanya melengkungkan tubuhnya sebentar, membisikan ke telinga wanita hamil dan tidak mau duduk. Wanita hamil memaling sebentar pada saya, melihat kemungkinan saya mengambil alih satu tempat kosong di sampingnya. Dengan senyumnya dia benar-benar bibit unggul.

Kereta berjalan. Saya tahu apa yang mungkin sedang dipikirkan kedua pasangan itu tentang satu tempat kosong di hadapan saya dan si pria berkemeja. Satu tempat kosong yang kepemilikannya membingungkan; antara saya atau si pria. Dari kronologi perjalanan ini (saya rasa berlebihan), saya memang lebih berhak untuk duduk di sana. Tetapi dari sudut pandang tertentu, dan karena keberadaan wanita hamil itu, si pria berkemeja adalah yang paling tepat. Jika saya duduk, saya akan terkesan mencuri-curi kesempatan bisa dianggap kurang ajar. Jika pria berkemeja duduk, dia mungkin tidak mau terlihat egois dan tidak tahu caranya berterima kasih pada saya yang memberikan tempat kepada kekasihnya.

Perdebatan dalam hati kami bertiga (saya menebak kami sedang memikirkan satu hal yang sama) membuat satu tempat kosong itu tetap di sana. Saya dan si pria berkemeja berdiri di hadapannya dan tidak memberi kemungkinan kepada satu sama lain.

Di cawang seorang ibu dan anak gadisnya masuk, menenteng masing-masing satu kantong plastik belanjaan. Ibu itu melihat tempat kosong, namun menjadi gagu sebelum saya mengangguk dan menyilahkan. Maka perjalanan kembali normal, pria berkemeja melihat keluar, saya mencuri kesempatan memperhatikan wanita hamil itu.

Begitulah. Ketika kau masih muda kau berpikir selalu cukup kuat pada setiap situasi tidak menguntungkan yang membutuhkan pengorbanan dan sedikit ketulusan hati. Kalimat semacam ini memang tidak tepat, tetapi anggap saja kau mengerti maksud saya. Misalkan saja kita sedang dalam kereta, pada perjalanan lebih dari dua jam dari Bogor ke Tangerang, melewati  lebih dari tiga puluh rangkaian stasiun termasuk manggarai dan tanah abang yang sibuk, dan entah kenapa kita selalu kehilangan tempat duduk.

Jadi kau seharusnya sudah paham mengapa dua pasang koyo menempel di punggung saya. Tetapi bila kau tidak biasa dengannya, carilah sesuatu yang lebih mahal untuk menjaga punggung dan pundakmu tetap nyaman.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan