dominasi-maskulin-pada-novel-eka-kurniawan

Kritik Sastra: Dominasi Maskulin dalam Novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”

Kajian tentang relasi laki-laki dan perempuan, sampai saat ini, masih tetap jadi diskursus menarik. Persoalan kesetaraan dan keadilan gender masih tetap jadi isu utama. Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin bisa dikata sebagai sejarah kultural tertua peradaban manusia. Perbedaan tubuh, khususnya alat dan jenis seksual, merupakan bidan utama lahirnya hierarki. Kejantanan adalah kebanggaan dan simbol keperkasaan.

Dalam tradisi, kejantanan sering disimpulkan lewat banyak sifat dan tanda. Seseorang  dianggap jantan kalau kuat, bernyali, dan jago berkelahi. Bahkan, ada anggapan ekstrem. Jantan adalah laki-laki berpenis besar dan tahan lama bercinta. Kita bisa mengatakan ini konyol. Tapi suka atau tidak, penilaian ini tertanam dalam sistem masyarakat kita kini.

Novel Eka Kurniawan, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” (2014), mengambil tema tentang ini. Dia seperti tak segan bicara tentang kemaluan. Dia sedang melabrak keseganan budaya timur untuk membicarakan ini secara terbuka. Terlihat kalau Eka sedang berusaha membongkar nilai-nilai yang masyarakat anggap sebagai pamali.

Dengan mengambil objek kemaluan, Eka sebenarnya sedang membicarakan tentang arti kejantanan. Dia ingin menafsir ulang tentang arti jantan. Namun, ada yang janggal. Alih-alih ingin merombak tatanan makna, Eka malah terpenjara dominasi maskulinitas a la patriarkat. Terkhusus lewat tokoh perempuan bernama Iteung. Kritik ini ingin membuktikan itu.

Interpretasi Novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”

Tokoh utama novel ini bernama Ajo Kawir. Dia mengalami disfungsi pada alat kelaminnya. Pengalaman traumatis disebut sebagai penyebab “aib” itu muncul. Organ genitalnya gagal ereksi. Eka menyebutnya: “mengerut”.

Kondisi ini berdampak pada kehidupan sosial Ajo. “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.” kata Iwan Angsa sekali waktu (hlm.1). Ajo Kawir memang digambarkan senang berkelahi. Seolah, itu dipakainya sebagai ajang pembuktian keperkasaan. Walau mengalami “kerutan”, setidaknya dia berharap masih bisa membuktikan kualitas maskulinnya.

Plot terus bergerak. Suatu ketika, Ajo Kawir bertemu dengan Iteung. Perempuan berparas elok dengan aplikasi jurus silat yang terpasang di otaknya. Momennya ketika Ajo berniat melenyapkan Pak Lebe; seorang pengusaha tambak. Hajat itu muncul karena Ajo memvonis Lebe sebagai laki-laki tidak terhormat. Berdasarkan laporan, dia senang mencurangi perempuan. Sifat “jantan” Ajo Kawir sontak muncul. Karakter “mulia” laki-laki untuk melindungi perempuan sebagai “kaum lemah” bercampur dengan amarah.

Iteung , sebagai pengawal Pak Lebe, tentu tidak tinggal diam. Dengan kemahirannya berkelahi, dijalankannya tugas untuk menjaga sang juragan. Dia berusaha menggagalkan usaha percobaan pembunuhan itu. Perkelahian pun tak dapat dihindari. Ajo Kawir mulanya enggan balas menghajarnya (hlm. 49). Hingga akhirnya, pikirannya pun berubah. Iteung tampaknya tidak main-main. “Baiklah”, kata Ajo Kawir, “kadang-kadang perlu juga menghajar perempuan.” (hlm. 50).

Itulah awal kisah roman mereka berdua. Singkat cerita, bahtera pernikahan bersandar juga. Iteung tahu dan bisa menerima “kekurangan” suaminya. Tapi ternyata, betul kata orang bijak, sabar pun punya batas. Sang istri ternyata tidak puas dalam kehidupan seksual.  Selama ini, dia hanya dilayani jari tangan saja. Tak terhindarkan lagi, jalan pintaslah pilihan akhir: selingkuh. Budi Baik, preman anggota Tangan Kosong, berperan sebagai orang ketiga.

Kenyataan itu adalah empedu yang harus ditelan Ajo Kawir. Dia tak bisa menerimanya. Seolah tak ada opsi lain sebagai jalan keluar; dia pun pergi. Dia memutuskan menelantarkan pernikahannya yang masih belia. Jakarta menjadi tempat pelarian. Sopir truk jadi profesi di ibukota. Sang pendekar berubah jadi pengecut: kabur dari kenyataan.

Iteung menyesali semuanya. Namun, sesalnya meluap dengan unik. Dia menumpahkan rintih sedihnya dengan membunuh Budi Baik. Sebuah pembuktian cinta pada suami yang telah pergi. Alhasil, dinding dingin penjara menjadi tembok ratapan.

Pendek cerita, Iteung check-out dari hotel prodeo. Sekeluarnya, dia tidak serta-merta bertobat. Penjara sebagai penjera tampaknya gagal sukses menjalankan peran. Dia langsung membunuh dua orang polisi penyebab pengalaman traumatis suaminya. Harapnya, dia bisa membabat akar sebab penyakit suaminya. Akibatnya, Iteung check-in lagi.

Bagaimana kisah Ajo Kawir selanjutnya? Dia berubah jadi sosok yang lebih filosofis. Katanya “Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.” (hlm. 189). Kehidupan dimaknainya begitu murung. Kemaluan digubahnya menjadi sentral dari kehidupan. Beberapa peristiwa mendukung pandangannya itu. Ajo Kawir selalu bertanya pada burungnya perihal persoalan sukar kehidupan. Dia mengakui bahwa kelaminnya adalah gurunya sekaligus penasehatnya (hlm. 201).

Berkat bantuan “gurunya”, Ajo Kawir mulai bisa mengendalikan kesenangannya berkelahi. Figurnya mulai sabar tak mudah terbakar amarah. “Sang rabbi” mendidik kalau kejantanan tidak selalu dipentaskan lewat perkelahian.

Lewat kisah dramatis berseling misterius,  Ajo Kawir memaafkan Iteung. Mereka membesarkan anak hasil selingkuh  Iteung dan Budi Baik. Namun, Iteung harus balik masuk penjara atas kasus pembunuhan dua polisi sebelumnya. Herannya, di suatu pagi, Ajo Kawir bisa ereksi lagi. Namun, mengerut kembali karena Iteung, kekasih hatinya, tidak lagi di sampingnya. Kerutan pun meringkuk menunggu.

Dominasi Maskulin

Maskulinitas merupakan sebuah konstruksi budaya. Sebuah kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar. Itu  berakar mendalam, mendasar, yang dipelajari, dan dianggap sebagai universal yang terbukti dengan sendirinya. Gunanya menginformasi tindakan-tindakan seseorang dalam ranah tertentu. Ini dinamai doxa.

Pierre Bourdieu mengungkapkan ini dari hasil penelitian etnografi terhadap masyarakat Qubail (Kabylia). Hasil risetnya dicatat dalam bukunya “Masculine Domination” (2001). Dia mengungkapkan secara gamblang cikal bakal terbentuknya struktur sosial masyarakat berbasis gender. Semua berpangkal dari hasil konstruksi sosial atas tubuh.

Maskulinitas memang mendominasi struktur masyarakat kita saat ini. Penilaian yang diyakini benar walau di dalamnya terkandung unsur kekerasan. Lebih jauh, tatanan itu juga dilestarikan jauh dibawah sadar (hlm. 1).

Pada kebudayaan Mediterania, konsep “honor and shame” sangat sentral. Perbedaan organ biologis, dalam hal ini organ seksual, dijadikan sebagai justifikasi alami. Budaya dominasi, kata Bourdieu, dimulai dari paradigma “phallonarcissistic”. Sebuah pemujaan terhadap penis (hlm. 6) sebagai sumber kekuasaan. Penis dianggap sebagai salah satu organ tubuh yang sangat menentukan kehormatan.

Laki-laki dicap sebagai yang terkuat dari perempuan karena penis. Penis lebih jumawa posisinya karena dia berdiri diantara dua telur (testikel). Sementara, telur adalah analogi dari kesuburan perempuan. Posisi di atas telur dianggap sebagai pendudukan terhadap perempuan. Itu diartikan menjadi sebuah kekuatan dominasi laki-laki pada perempuan (hlm. 13).

Kondisi ini semakin dikukuhkan dalam mitos posisi hubungan seksual masyarakat setempat. Posisi yang menempatkan laki-laki di atas perempuan. Hal yang merupakan cerminan relasi dalam struktur sosialnya. Laki-laki di atas menunjukkan sifat aktif. Sebaliknya, perempuan bersifat pasif dalam peran sosialnya.

Berangkat dari inilah peran dalam struktur sosial ditetapkan. Laki-laki sebagai pribadi yang kuat, aktif, serta menduduki jabatan penting dalam struktur sosial. Sementara, perempuan sebagai kaum yang lemah cukup hanya dalam wilayah domestik saja.

Kesimpulannya, semua bermula dari pemaknaan alat kelamin. Penafsiran terhadapnya menjadi dasar dari sebuah peran dan jabatan struktur sosial. Sebuah cikal bakal patriarkat.

Internalisasi Dominasi Maskulin dalam Novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”

Sejak awal, novel ini kental dengan asumsi “kejantanan” konsumsi para patriarkat. Mulai dari niat Ajo Kawir untuk membuktikan kejantanan yang telah hilang. Itu ditunjukkan lewat pembelaannya terhadap perempuan yang dicurangi oleh lelaki bernama Pak Lebe. Sesuatu yang  dianggapnya sebagai usahanya untuk menegakkan keadilan (hlm. 48). Dengan kata lain, melindungi perempuan sebagai tanggung jawab laki-laki.

Contoh paling kental adalah pembuktian kejantanan dengan cara berkelahi. Perilaku itu dianggap sebagai tanda kejantanan yang paling mudah dilihat. Berkelahi adalah usaha untuk mengalahkan. Tujuannya untuk menundukkan lawan. Pemenang adalah penguasa dan lebih perkasa.

Kemudian, Eka mencoba untuk menghilangkan kesan maskulinitas. Setidaknya, terlihat ketika si “burung” berubah jadi guru bagi Ajo Kawir. Dia tidak mau terpancing provokasi si Kumbang. Orang yang habis menggebuki keneknya, Mono Ompong, dalam pertarungan satu-lawan satu (hlm. 201). Eka seolah sedang ingin menunjukkan bahwa ada transformasi kejantanan yang semakin dewasa. Simbol kejantanan adalah kesabaran, bukan lagi amarah untuk mendominasi.

Apalagi jika melihat Iteung. Eka seperti sedang membalik konsep maskulinitas. Perempuan itu seolah merepresentasikan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa kuat; perempuan juga. Mahluk yang dianggap lemah ini pun bisa berkelahi. Bahkan, membunuh pun dia bisa. Perempuan juga bisa mendominasi dan menundukkan. Pendek kata, Eka mencoba menarik sebuah ekstrem ke ekstrem lainnya. Mungkin, dia berharap akan terjadi keseimbangan.

Namun bisa dikata, usaha ini sebenarnya gagal. Kenapa? Eka sejatinya masih berdiri pada dasar asumsi maskulinitas versi kebudayaan patriarkat. Pertama, dia masih menggunakan alat kelamin sebagai titik lompat dalam merekonstruksi maskulinitas. Sesuatu, yang menurut Pierre Bourdieu, sebagai cikal bakal dari dominasi itu sendiri.

Kedua, sentralisasi dari alat kelamin malah semakin menguat. Buktinya ketika Ajo Kawir mendakunya sebagai “guru” dan “penasehatnya”. Nuansa bahwa organ tubuh (alat kelamin) menjadi dasar dalam keputusan-keputusannya semakin mengental.

Ketiga, kontras paling mencolok terlihat pada Iteung. Perempuan jago berkelahi dan bisa mendominasi laki-laki. Dia digambarkan punya kemampuan untuk membunuh tiga orang laki-laki. Satu diantaranya adalah preman dan lainnya polisi. Iteung juga terjebak dalam karakteristik dominasi maskulin. Dia “dipaksa” bersaing dalam kriteria penilaian laki-laki. Seolah, kesetaraan perempuan bisa dicapai jika bisa memenuhi standard penilaian dari laki-laki juga.

Artinya, standard penilaian yang dipakai Eka masih berkelindan di pusaran nilai-nilai patriarkat. Alih-alih ingin meruntuhkan, Eka malah terjebak pada pemujaan terhadap maskulinitas. Dia malah menginternalisasi dominasi maskulin pada setiap tokohnya. Terkhusus kepada Iteung yang terpenjara oleh standard penilaian laki-laki.

Apalagi kemudian, hasrat terpendam Ajo Kawir untuk tetap bisa “normal”. Jika niatnya ingin sehat, sebenarnya tak mengapa. Tersirat, dari keseluruhan cerita, motif dibalik keinginan menjadi “wajar” adalah kejantanan. Hal yang semakin mengukuhkan ide-ide maskulinitas. Seolah, jika alat kelamin lesu, maka belum jadi laki-laki sempurna.

Kesimpulan

Ide utama dominasi maskulinitas adalah usaha untuk menundukkan yang lain. Sifat yang sejatinya tidak melekat pada gender-nya. Nilai yang justru hadir karena konstruksi sosial atas tubuh biologis itu sendiri.

Baik Iteung dan Ajo Kawir adalah tokoh yang haus akan dominasi. Ajo Kawir meninggalkan Iteung karena menganggap dirinya gagal “mendominasi” istri. Sementara Iteung, dengan kemampuan silat, merasa bisa memperbaiki kesalahannya dengan menguasai manusia lain.

Disinilah letak internalisasi dominasi maskulin dalam novel, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.” Peribahasa yang berbunyi, “serigala dengan anggur” menggambarkan novel ini. Ungkapan itu berarti gagalnya seseorang meraih maksud dan tujuannya. Alih-alih ingin memberi warna baru dalam kerangka penilaian maskulinitas, Eka malah semakin meradikalkannya.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan