kekuasaan-perempuan-jawa

Kuasa Perempuan Jawa

            Setiap usaha menafsirkan buku, tidaklah terlihat mudah. Pada akhirnya ada yang kurang disana-sini, ada yang tercecer, tak lengkap, begitulah manusia, meski ia mengaku dan mendaku sebagai penafsir ulung, tetap saja, tak bisa mengalahkan ribuan para penafsir lainnya. Saat itulah, kita tahu, kemampuan menafsir berkait erat bukan hanya pada berapa banyak alat yang kita gunakan untuk menafsir (teori). Tetapi hal ini juga menyadarkan kepada kita, betapa tak sempurnanya pengetahuan manusia yang terbatas ini.

            Itulah mengapa, setiap kita membaca buku, seperti ada yang tak bisa kita selesaikan dalam peristiwa membaca. Ada yang terus berjalan setelah membaca, ada yang bergerak setelah kita meletakkan buku. Itu pula yang saya alami ketika membaca buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX karya Pater Carey dan Vincent Houben.

            Buku ini mengingatkan kepada ibu saya. Ibu tinggal di Blora. Di Blora itulah, perempuan seperti sosok yang tak ada bedanya dengan lelaki. Secara fisik, hampir tak pernah selesai kerja perempuan itu meski hanya di dapur, maupun di sumur. Anggapan perempuan hanya bekerja sebatas 3M, macak, masak, manak bertolak belakang dengan yang saya amati di Blora.

            Ada kecenderungan yang sama yang saya temukan di daerah Klaten, maupun Cilacap. Mereka, para perempuan itu, bukan hanya tak memiliki rasa putus asa untuk tak menggerakkan badan. Badan, tubuh dan pikiran mereka seperti tak pernah berhenti untuk bergerak. Apa yang saya saksikan perempuan tua berusia seratus tahun lebih adalah Simbah saya di Blora.

            Tangannya seperti sudah hampir terlepas tapi jari-jarinya masih kuat. Sekuat tubuhnya yang tak ingin dengan mudah terjatuh. Sebagaimana yang diributkan oleh orang-orang ketika mendapati kakek yang sudah uzur dan mendapat rekor muri, saya sempat berangan sebentar, mungkin kalau wartawan nemu simbah saya, ia juga akan memasukkan dalam rekor muri, dan menggeser kedudukan pria tertua di Indonesia.

            Tetapi angan-angan itu segera saya hilangkan. Membaca buku Carey dan Vincent saya justru menelusuri kembali bagaimana perempuan-perempuan dalam keluarga saya mempertahankan hidup. Salah satu yang saya baca, bukan hanya soal kemandirian, tetapi juga persoalan prinsip hidup. Mereka, memegang prinsip, bahwa tanah air, adalah tanah kematian. Dimana mereka lahir disana, maka mereka tak mau dipindah meski ditawari rumah bagus, dan sebagainya. Mereka lebih memilih diam di tanah kelahirannya.

            Selain itu, prinsip hubungan dengan alam seperti tak pernah lepas dari hidupnya. Nenek saya yang ada di Cilacap, mbah Kartini, tak bisa rasanya ia dipisahkan dengan rumahnya yang agak jauh dari tempat tinggalnya sekarang bersama anaknya. Meski satu desa, ia harus menyusuri sungai, membersihkan rumahnya, sampai dengan memberi makan ayam-ayamnya, ia lakukan sendiri. Meski jalan saja sudah membungkuk dan agak kesusahan. Tapi disitulah, ia tak mau diantar, ia lebih memilih jalan sendiri, dan anehnya tak memakai terompah (sandal).

            Peran perempuan jawa sebagai penjaga tradisi, pembimbing anak, sampai dengan penjunjung agama dan penggemar sastra sudah ada sejak jaman dahulu, sampai sekarang. Bagaimana perempuan itu menjaga tradisi terlihat pula dalam kehidupan nenekku yang ada di klaten. Nenekku almarhumah, bukan hanya seorang yang bisa memijat (dukun) tetapi juga terkenal memiliki kemampuan berbicara dengan makhluk halus. Begitu pula peran dalam menjaga tradisi, generasi nenekku adalah yang terakhir yang memelihara tradisi. Bukan hanya tradisi dalam hal umum di jawa seperti kelahiran, kematian, atau pernikahan, tetapi ia menekuni tradisi itu dari turun-temurun, dalam hal ilmu jawa.

            Sebagai pendidik anak yang baik, tentu saja anaknya, atau ayahku, sering sekali bertutur bagaimana sosok eyang yang juga keras mendidik anak-anaknya. Sehingga didikan tak hanya berisi tururan, ujaran, dan juga teladan dari mereka. Mereka juga memberi contoh sebelum menasehati atau memerintahkan. Apa yang mereka  ucapkan sering bernada pitutur jawa, khazanah kebudayaan jawa. Mereka memahami betul bagaimana jawa memiliki nilai-nilai luhur yang patut diwariskan.

            Kabar tentang kuasa perempuan jawa memang tak hanya terdapat dalam wayang, tetapi juga dalam sosok Nyai Roro Kidul, sampai dengan perempuan prajurit jawa di Keraton Surakarta, dan juga dalam kisah keraton Yogyakarta seperti Nyi Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo. Mereka bukan cuma kuat secara fisik, tetapi juga memiliki kemampuan dalam mewariskan kepemimpinan, tradisi, sampai dengan sastra. Peran perempuan yang berfungsi sebagai penghubung dan alat politik sampai dengan sosok perempuan yang menghubungkan istana dengan dunia pedesaan.

            Dalam tradisi jawa, labuhan sendiri sudah masuk dalam berbagai kajian literatur barat yang membuktikan bahwa sosok perempuan jawa (Ratu Kidul) begitu memikat bukan hanya karena relasinya dengan keraton, tetapi juga kekuasaannya yang ikut mempengaruhi keraton Yogyakarta.

            Begitu pula dalam urusan perang, dan militer. Kita bisa menyimak lebih jauh ulasan hal ini di bukunya Ann Kumar bertajuk Prajurit Perempuan Jawa. Buku itu memberikan kesaksian dan penelusuran kekaguman para lelaki barat ketika menyaksikan prajurit perempuan jawa di Mangkunegaran.

            Yang menonjol di buku Carey ini juga mengulas bagaimana keunggulan perempuan jawa dalam urusan uang. Kita simak pengakuan Ward Keeler di awal tahun 70-an yang dikutip di buku ini : “ Perempuan dianggap jauh lebih baik menyangkut urusan uang daripada laki-laki.  Para suami harus menyerahkan uang kepada istri-istri mereka, yang akan mengawasi dengan sangat hati-hati bagaiana setiap rupiah dihabiskan. Kemampuan mengelola uang adalah faktor kunci dalam menentukan derajat perempuan. Hal ini adalah aspek krusial kekuatannya, baik di dalam maupun di luar keluarga” (Keeler 1983:5-6).

            Pada kenyataannya sampai sekarang, baik urusan keuangan, maupun urusan mendidik anak, dan juga urusan luar, perempuan bisa menyeimbangkan antara tubuh dan fikirannya, sedangkan lelaki tak bisa untuk menyeimbangkan peran yang dilakukan selama ini. Kekuasaan perempuan jawa di masa Orde Baru, nampak sekali bagaimana peran Ibu Tien Soeharto, atau bagaimana peran Ibu Ani Yudhoyono yang dalam posisi sebagia istri kepala Presiden ikut memberikan peran sentral tak hanya dalam pemikiran, tetapi juga menjadi peredam dan pembawa kesejukan. Terlebih dimasa Soekarno. Begitu pula kalau kita melihat bagaimana Ainun Habibie, atau Megawati, yang secara pemikiran maupun dalam internal keluarga mereka ikut serta berada dibalik kesuksesan kaum pria.

            Konsep kekuasaan perempuan jawa yang digambarkan dalam wilayah domestik seperti kasur, sumur, maupun dapur sebenarnya menjadi kekuatan internal sekaligus keluar. Secara internal, berbekal pengalaman mereka juga mewarisi kemampuan dalam urusan dapur dan kasur. Hal ini berkait dengan kemampuan perempuan untuk memikat dan tetap memiliki daya tarik. Sampai dengan kemampuan memasak dan urusan dapur. Begitu pula dalam urusan sumur, hal ini diartikan bahwa tak bisa kiranya seorang lelaki berpenampilan baik, rapi, tanpa sosok perempuan yang ikut mempersiapkannya.

            Kita bisa melihat lebih jauh pada sejarah Ratu Boko misalnya yang ada di Yogyakarta, dan Ratu Kencono Wulan permaisuri Hamengku Buwono II yang memiliki kemampuan lihai dalam mengurusi persoalan keuangan. Perempuan-perempuan jawa tetaplah lebih kuasa. Kekuasaan itu tak hanya tercermin dalam urusan politik, kemiliteran, sampai dengan urusan dagang, dan keuangan. Buku ini mengangkat tema penting, ketika di tautkan dengan tema-tema dan dominasi wacana maskulinitas di jawa. Ternyata, perempuan juga bisa maskulin sebagaimana lelaki dalam berbagai aspek yang lebih luas tak hanya urusan domestik semata.

 

*)tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan