kucing-hitam-putih

Kucing

Hujan telah reda. Dan, aku telah pulang ke rumah. Kulihat jarum jam akan menunjukkan pagi. Sementara, dalam benakku masih terselimuti kelam. Aku melihat lampu merkuri yang ada di depan rumahku lewat angin-angin pintu dalam rumah di tingkat atas. Lampu kelap-kelip. Ia tak hidup atau mati. Tak segera menyala-nyala. Seperti kegelisahan yang tak kunjung reda. Atau keraguan yang terus-menerus berada, meskipun tak ingin dinanti-nanti.

Orang-orang masih pingsan, atau barangkali mati. Pagi mulai menghidupkan mereka. Tak hanya oleh sinar mentari atau pagi itu sendiri, mereka hidup atau dihidupkan oleh jam weker yang ada di samping kamar tidur; oleh panggilan orang tua atau saudara; ataupun karena panggilan kerja. Ya, mereka rata-rata dihidupkan oleh pekerjaan yang menyelimutinya.

Ibu membangunkanku.

Kepalaku masih pusing. Aku melihat di sekeliling kamar dan jendela yang tirainya sengaja kubuka sejak malam. Murung. Ya, pagi sedang murung. Aku jadi malas bangun. Biasanya sorot matahari menembus dan memancarkan keceriaannya. ‘Barangkali, awan-awan menutupinya,’ pikirku.

Suara ibu yang mencoba membangunkanku masih saja terdengar di balik pintu kamar yang masih kututup. Aku mau tak mau harus bangun dan segera merapikan kamar tidur.

Aku memungut buku Faust tergeletak di samping bantal. Itu buku yang baru kubeli dan kubaca beberapa halaman setelah pulang larut malam. ‘Oh, Mephistopheles. Jika dirimu ada, akankah kamu akan turun ke bumi, dan menghadapku, lalu menawarkan sebuah kenikmatan-kesenangan padaku dengan syarat harus menyerahkan jiwaku padamu?’

Ah, pikiranku masih saja terbawa bersama buku itu.

*

“Ibu mau berangkat ke kantor. Nanti, setelah menyapu dan mengepel lantai, sayuran yang ibu beli dari pasar tadi, kamu masak.”

“Iya, Bu.”

Pesan itu menjadi penutup percakapan singkat antara seorang ibu dan anak. Dan, kini, aku menghadapi percakapan dengan ‘yang lain’, sendirian. Aku harus menyelesaikan tugasku. Pagi masih terlihat murung.

Aku menghidupkan radio. Memutar-mutar roda pencari gelombang radio dan berhenti di stasiun radio yang hanya menyuguhkan lagu-lagu pop, rock, RnB, dan jazz. Di situ, aku mendapat suguhan lagu Barat: Unconditionally dari Katy Perry! Lagu yang kusukai meski hanya bisa kunikmati sebentar.

Percakapan dengan ‘yang lain’ itu percakapan dengan kucing yang berwarna hitam putih yang kerap mendatangi rumah kami. Aku tak memiliki kucing itu. Tapi, sepertinya, ia memiliki aku, ibu, dan rumah kami. Ia datang sendiri ke rumah kami, dan pergi tanpa ambil pusing untuk ijin pada kami. Entah, kucing itu milik siapa, yang jelas, ketika aku ditinggal pergi ibuku, aku merasa tak kesepian. Apalagi, saat kucing itu tidur di atas karpet dalam kamarku, aku terkadang mendekatinya, lalu mengelus-elus dirinya, sedang ia hanya mengusapkan mukanya dengan salah satu kakinya, atau hanya menggeliatkan tubuhnya.

Dan, saat ia bangun, dengan mata yang masih terkantuk, lalu hanya berdiam diri di tempatnya, aku merasa bahwa dirinya sedang melamun atau mengalami kesuntukan seperti yang dialami manusia—tak hanya aku saja. Dan, pada saat itu, aku mendekatkan diri, berhadapan dengannya. Terkadang dengan duduk bersila, atau meniarapkan tubuhku, lalu aku berbicara padanya.

*

Kejadian itu seperti pada beberapa bulan lalu. Dimana, aku merasa kesepian-kesunyian. Dan, tanpa tujuan yang jelas, yang ada dalam benakku hanya ingin membaca buku. Aku mencari-cari buku di rak, menemukan Lu Xun dengan kumcernya berjudul Catatan Harian Orang Gila.

Penemuan buku Lu Xun, pengarang dari Cina yang terkenal dan dikagumi Mao itu seperti menjawab permasalahanku. Sebab, aku menemukan pengungkapan menarik dari Lu Xun, yang kemudian aku baca.

“… aku benar-benar merasakan alangkah sia-sianya semua ini. Pada saat itu, aku benar-benar tidak dapat memahami apa pun. Kelak, ketika pendapat seseorang bertemu dengan pembenaran, selayaknya hal itu dapat menyemangati dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika pendapat itu bertemu dengan kenyataan kontradiktif, hal itu pasti memantik bara perlawanan. Tapi, tragedi manusia terjadi tatkala ia mengeluarkan pendapatnya, mendendangkan suaranya kepada publik, dan tak ada satu pun tanggapan, entah persetujuan ataupun negasi. Seolah dia ditinggalkan di sebuah padang pasir yang tak bertepi. Maka kesepian pun menjelujuri duniaku.

Dan perasaan kesepian ini bertambah dari hari ke hari, membelit jiwaku seperti lilitan seekor naga raksasa yang berbisa. Tapi, hal ini tak membuatku merasa harus uring-uringan dan marah. Justru pengalaman ini membuatku merenung dan sadar diri bahwa aku bukan tipe seorang heroik yang bisa memediasi ragam pemikiran dalam satu gerak yang seayun seirama.

Tapi bagaimanapun, kesunyian ini musti kusingkirkan, karena sangat menyiksa. Aku melakukan banyak hal untuk itu, baik dengan melarutkan diri dalam semangat waktu maupun dengan menengok jendela sejarah masa lalu. Kelak, aku mengalami atau menyaksikan kesunyian dan kesedihan yang lebih hebat lagi, yang itu tak ingin kukenang-kenang, karena pasti akan menyisakan sakit yang mendalam. Namun usahaku untuk mematikan perasaan-perasaan itu tidak berhasil. Justru sebaliknya, aku kehilangan antusiasme dan semangat menyala-nyala dari masa mudaku.”

*

Pengungkapan darinya itu menjadi ulasan bagi diriku sendiri, menjadi cermin sekaligus penyaring hidup. Kesunyianku, memang barangkali memiliki kadar berbeda. Tapi, justru itulah, buku Lu Xun mampu menjadi mediasi perasaanku pada waktu itu. Yang pada saat aku membacanya, aku juga membacakan lirih di hadapan kucing hitam putih, yang setiap gerakan dari tubuhnya—baik kedipan mata, tubuh menggeliat, gerakan ekornya, atau dirinya yang sedang menguap—aku anggap sebagai bentuk tanggapan dari kata-kata atau sikapku.

Lalu, apa aku kerap kesepian-kesunyian,sehingga yang kulakukan untuk menepis perasaan itu harus dengan membaca? Dan tentu saja, apakah juga harus berhadapan dengan kucing hitam putih?

Jika aku memikirkan itu, ada benarnya bahwa aku mengalaminya. Dan, ada benarnya juga, aku harus berhadapan dengan kucing tersebut. Tapi, bukan hanya aku saja, yang nampaknya mengalami kesepian-kesunyian, yang sebagian besar hal itu dianggap semacam derita. Kamu atau mereka pun pernah mengalaminya. Yang tentu saja pengalaman yang aku dan mereka miliki berbeda-beda.

Dan, pengalaman itu tak akan pernah hilang, meskipun ibuku sudah pulang ke rumah.

Setiap hari menjelang malam, ibu baru pulang. Dan percakapan tentu saja, tak selalu hadir dengan lancar dan panjang. Inilah, persoalan, sejarah, ataupun warisan yang aku miliki. Dimana, persoalan, sejarah, ataupun warisan itu bermula dari perceraian.

Namun, aku tak ingin menceritakan perceraian itu. Atau memang aku sendiri tak tahu apa-apa mengenai masalah itu.

*

Aku melihat lagi lampu merkuri yang ada di depan rumah. Kini, tak lagi berkelap-kelip. Ia benar-benar padam.

Ah, atau barangkali hanya pingsan saja? Sebab, ketika turun hujan, aku mendapatinya hidup lagi, bangun lagi, meski harus mengalami kelap-kelip terlalu panjang; terlalu lama. Ia ikut memberi tanda bagiku, bahwa hidup selalu mengandung jeda dan titik. Lalu, kapankah aku mengalami jeda? Kapankah aku mengalami titik?

Kalender yang bersebelahan dengan komputerku dan selalu kulihat tak mampu memberi jawaban.

Dan, pada saat aku mempertanyakan tentang kehidupanku, kucing berwarna hitam-putih hadir tiba-tiba di bawahku. Ia mengitari kakiku. Sesekali masuk di antaranya, dan menggesek-gesekkan pada kaki, lalu menatap diriku. Sebuah tatapan seperti berharap sekaligus menantang.

‘Baiklah. Nampaknya, aku mengerti apa yang kau maksud,’ pikirku pada kucing itu.

 

Sukoharjo, 2014

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan