buku-lan-fang

Lan Fang dan Sastra Tionghoa

Almarhum Gus Dur, pernah mengatakan: dalam tujuan, saya sama dengan gereja yaitu melayani kemanusiaan, meskipun berbeda keyakinan. Apa yang diungkapkan Gus Dur di masa itu, memang dibuktikan pula oleh kerja dan ikhtiarnya. Semasa hidupnya, Gus Dur memang dikenal sebagai tokoh yang tak kenal lelah untuk menyuarakan kedamaian dan persatuan serta meneguhkan kerukunan antar umat beragama.

Hampir di setiap agama apapun di negeri ini, Gus Dur diterima dengan tangan terbuka. Ia bukan hanya dianggap sebagai pengayom, tetapi juga sebagai payung. Tak heran tatkala Gus Dur tiada, maka orang seperti kehilangan payung, dan membuat payungnya sendiri. Peranan Gus Dur bukan hanya dalam urusan agama, tetapi dalam membela hak-hak kaum yang lemah. Kita mungkin perlu menengok memori kita saat goyang inul sedang heboh-hebohnya, Inul pun seperti bersandar ke Gus Dur. Dan Gus Dur pun seperti menjadi pembela Inul di waktu itu yang terpojok, bahkan boleh dibilang disudutkan oleh kalangan tertentu.

Lan Fang dan Gus Dur

Apa yang dirasakan oleh Inul dialami pula oleh Lan Fang. Di buku ini, kental sekali hubungan batin antara Lan Fang dengan Gus Dur. Hingga ia merasa kehilangan seorang ayah tatkala menjalani imlek tanpa Gus Dur. Maklum, Gus Dur dianggap membawa angin perubahan dalam hal hubungan keagamaan terutama bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Semenjak Gus Dur menjadi presiden, para kaum Tionghoa seperti memperoleh angin segar, utamanya dalam menjalankan keyakinannya. Maka bisa kita lihat sampai sekarang, imlek pun menjadi milik bersama, seramai idul fitri. Hal ini tentu berbeda tatkala Lan Fang kecil merasakan imlek yang penuh kesendirian dan di dalam rumah saja merayakan bersama keluarga.

Lan Fang, adalah satu dari sekian nama sastrawan Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa. Karya-karyanya baik dalam bentuk puisi, cerpen maupun novel sudah banyak diterbitkan. Sebagai sastrawan yang merupakan keturunan Tionghoa, Lan Fang pun kental dengan adat, kebiasaan, dan tradisi masyarakat Tionghoa.

Kita bisa menyimak bagaimana Lan Fang menuturkan sastra Tionghoa di tulisannya berjudul Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala.  Sejarah sastra dunia menasbihkan Cina sebagai negeri puisi. Bila hendak diteliti, selama masa dinasti Tang ( 618-907) saja sudah tercatat kira-kira 2.200 penyair menghasilkan kurang lebih 50.000 puisi. Pada waktu ini, perkembangan puisi di Cina mencapai puncaknya dengan kelahiran penyair-penyair besar, seperti Wwang Wei, Linpo, Tu Fu, dan Po Chu I. Bahkan Po Chu I pernah menjabat sebagai ketua dewan pada tahun 841. Po Chu I juga dikenal sebagai politikus sekaligus penyair yang menguasai seni kaligrafi, melukis, dan pandai bermain catur.

Di tulisan lainnya berjudul Makam Suci di Bukit Lingzhan, kita bisa melihat Lan Fang bukan hanya menelusuri sejarah islam di Cina, tetapi ia juga melakukan peziarahan dengan mengunjungi makam suci di Lingzhan ini. Konon, di masa dinasti Tang (618-628 Masehi), Nabi Muhammad mengutus empat orang muridnya ke Cina sebagai misionaris. Masih di Cina, Lan Fang mengisahkan pengalamannya saat berkunjung ke masjid Qing Jing.

Esai-esai di buku Imlek Tanpa Gus Dur (2012) ini memang lebih banyak mengisahkan bagaimana pengalaman Lan Fang belajar, ikut seminar dan mengamati sastra indonesia dan Tionghoa. Menurutnya sastra Tionghoa mengalami pasang surut, dan masih memiliki kendala saat beberapa dari sastrawan Tionghoa yang di waktu itu dilarang menggunakan bahasa Cina oleh pemerintah Orba, menjadi kesulitan berbahasa indonesia. Kini, setelah rezim Soeharto runtuh, maka sastrawan Tionghoa bisa mengekspresikan karya-karyanya dan bisa dinikmati oleh pembaca Indonesia tentu saja dengan peranan penerjemah.

Nampak sekali di esai-esai yang lain, Lan Fang bukan hanya menuliskan esainya dengan lancar, tetapi juga menunjukkan keberfihakannya dan sikapnya yang kritis terhadap realitas sosial termasuk dalam urusan sastra. Sebut saja di esainya yang berjudul Dari Seniman kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim ia mengkritik bagaimana Gubernur berjanji mensejahterakan seniman tetapi pada kenyataannya prosedur dan birokrasinya terlampau ruwet sehingga janji itu hanya sekadar janji. Janji itu berupa asuransi kesehatan untuk seniman.

Lan Fang memang telah pergi, ia mewariskan tulisannya melalui buku ini. Meski esainya tak mencantumkan banyak referensi (buku), tetapi Lan Fang mampu mengajak kita memahami esensi yang disampaikan dalam tulisan-tulisannya. Lan Fang tak hanya menguasai wacana sastra Tionghoa dan membaginya kepada kita. Di tulisan-tulisannya, kita juga merasakan ada kelembutan dan nada keras yang ia sampaikan saat mengkritik realitas di sekitarnya. Salah satunya dalam hal sastra, maupun dalam realitas kebangsaan di negeri ini.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan