lelaki-harimau-eka-kurniawan

Lelaki Harimau

Moralitas sesungguhnya bagian yang paling rumit dalam diri manusia. Keputusan-keputusan yang diambil terhadapnya sering menyisakan kita sebuah tanya, “Sebenarnya (si)apa itu manusia?” Sejarah manusia dibangun diatas pilihan-pilihan moral yang tak jarang membuat kita terkejut, tercengang, dan mungkin marah. Kita sering heran dan berusaha mencari-cari alasan, entah untuk membenarkan atau menyalahkan, “Kenapa dia tega melakukan itu?” Padahal, dibalik sebuah keputusan moral, tersimpan banyak peristiwa yang berkelindan yang sering membuat kita akhirnya terdiam, tak mampu memutuskan, apakah sebuah tindakan bisa dibenarkan atau disalahkan.

Nama Eka Kurniawan sebenarnya asing buat saya. Penulis jebolan jurusan filsafat UGM ini menarik perhatian karena status Facebook seorang teman yang “provokatif” dengan memajang foto salah satu novelnya. Sejak saat itu, karya-karya Eka  yang lain selalu menunggu antrian untuk segera dibaca.

Tampaknya tidak berlebihan jika Ben Anderson menjuluki Eka Kurniawan adalah titisan Pramoedya Ananta Toer. Itu terlihat jelas dari tema novel yang diangkatnya selalu berputar pada persoalan realitas sosial yang dihadapi manusia dalam kesehariannya. Tema-tema yang diangkatnya serasa dekat dengan keseharian, semisal tentang kemiskinan, kemelaratan, dan berbagai dampak psikologis yang dihadirkannya.

Novel “ Lelaki Harimau ” diawali cerita tewasnya Anwar Sadat, seniman kaya karena harta warisan mertuanya. Margio, putra tertua Komar bin Syueb, yang sesehari akrab dengan potret kekerasan rumah tangga adalah pembunuhnya. Alur yang dibuat maju mundur membuat Eka Kurniawan sepertinya fasih merawat penasaran, “Kenapa Margio membunuh Anwar Sadat?”

Karakter setiap tokoh utama dalam novel ini penuh dengan pergulatan psikologis. Margio yang benci pada ayahnya selalu berkeinginan untuk membunuhnya. Sebuah hasrat yang janggal dalam konteks ketimuran dimana orangtua selalu dipandang terhormat. Belum lagi jika melihat Nuraeni, ibunya, sosok perempuan, yang entah waras atau tidak. Perempuan yang menghadapi tamparan dan bogem mentah suaminya dengan pasrah dan diam, membuat kita heran apakah tangisnya ketika Komar bin Syueb mati adalah sebuah kebahagiaan atau kesedihan. Begitu juga Anwar Sadat, lelaki dermawan tapi hidung belang yang disukai warga, meninggalkan tanya kenapa dia mati dengan leher hampir terputus. Bukan karena dibacok dengan golok, tapi dirobek dengan gigi.

Dunia yang kita tinggali sekarang ini adalah dunia yang irasional. Semakin maju peradaban, semakin dibuat kita heran betapa kacaunya dunia yang kita tinggali ini. Kita sering terhenyak dan bahkan cenderung memaki seseorang yang rela membunuh demi uang seribu. Tapi pernahkah kita berhenti sebentar dan bertanya, “Apa alasan dibaliknya? Apa peristiwa panjang yang melatarinya? Betulkah ini hanya persoalan uang seribu?”

Dunia dengan keputusan-keputusan moral yang irasional seperti dunia kita sekarang ini, membuat novel ini jadi relevan untuk kita baca dan renungkan. Novel ini menggambarkan kepada kita bahwa kenekadan irasional itu adalah puncak gunung es. Peristiwa-peristiwa sederhana dan bahkan sering tidak diceritakan, merangkai itu semua dan menuntun manusia pada pilihan-pilihan tindakan moral yang irasional. Cerita-cerita dibalik layar itu akhirnya memaksa manusia lebih berpihak pada sisi buas kebinatangannya daripada akalnya. “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.”

Eka Kurniawan tampaknya sedang berkonflik dengan kenyataan getir ini. Dia seolah ingin mengatakan, “Sabar, jangan terlalu cepat memaki.” Manusia jadi binatang bukanlah sebuah fenomena asap tanpa api. Eka Kurniawan mengangkat sebuah konteks kemiskinan sebagai latar belakang ceritanya. Komar bin Syueb, seorang tukang cukur dengan tiga anak di rumahnya, dimana salah satu diharapkan kematiannya. Kontras dengan Anwar Sadat yang kaya karena nasib, membuat Nuraeni rela jadi pembantu di rumahnya yang puas “digaji” hanya dengan semangkuk sayur. Jika saja kesenjangan ini tidak ada, mungkin Anwar Sadat masih hidup. Mungkin juga Margio akan jadi pahlawan desa karena harimau putih yang tinggal dalam dirinya menitipkan kepadanya kewajiban untuk menjaga desa.

Dimasukkannya mahluk mistik harimau putih dalam cerita ini bisa berefek ganda. Dampak positifnya, mahluk mistik ini memberi efek kejut tersendiri. Dia memberi pembaca sebuah alasan “rasional” kenapa Anwar Sadat bisa mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Mahluk mistik ini seolah jadi representasi intervensi dunia spiritual untuk memecahkan masalah-masalah manusia. Mahluk mistik ini jadi kekuatan untuk melawan dari kelas masyarakat yang lemah, tak punya harta, apalagi kuasa.

Tapi disisi lain, masuknya mahluk gaib ini seolah mengingkari karakteristik realisme sosial yang menjadi dasar dari novel ini. Realisme sosial yang berangkat dari pemikiran materialisme Marxis, sejatinya menolak segala hal yang berbau magis. Segala konflik sosial, seharusnya diselesaikan secara logis. Apalagi jika melihat kenyataan, tentu sudah tidak banyak lagi orang percaya pada kekuatan takhyul begitu. Walau memang harus diakui, kepercayaan takhyul ini tidak bisa dikatakan sepenuhnya sudah punah dalam tradisi masyarakat kita.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, masuknya sosok harimau putih justru menciptakan sebuah efek ganda: sebuah paradoks. Harimau putih itu hadir seperti gula dalam takaran yang tepat dalam secangkir kopi. Sehingga, rasa pahit kopi dan manis gula bisa berpadu padan dengan harmonis menciptakan rasa yang khas.

Satu hal yang paling menonjol dari novel Eka Kurniawan, seperti juga dalamnya yang lain,  novel “O”, adalah kemampuan dia mengajak kita melihat kenyataan sosial, yang sering membuat kita mengerutkan kening, dalam cara sederhana. Masalah-masalah yang diangkatnya sebenarnya merupakan problem filosofis yang rumit. Dalam “Lelaki Harimau” dia mengangkat sebuah tema filsafat yang diakui tak ditemukan jawabannya oleh para filsuf, yaitu problem of evil. Tapi novel ini tidak akan menyajikan istilah-istilah filosofis yang mengharuskan kita membuka kamus terlebih dahulu agar bisa memahaminya. Eka berhasil mengurai kerumitan itu dalam cara yang sederhana.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kemampuan Eka Kurniawan bermain dalam plot maju-mundur tampaknya berhasil merawat penasaran. Plot seperti ini membuat cerita tidak mudah ditebak. Dengan cara ini, Eka memberi pembacanya kejutan-kejutan yang sebelumnya tak terpikirkan.

“Lelaki Harimau”, novel yang sudah diterjemahkan keberbagai bahasa ini berhasil mengingatkan saya kembali bagaimana nikmatnya membaca sebuah karya sastra.[]

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan