lelaki-tidak-bersalah-malah-dipenjara

Lelaki yang Dipenjara dan Kehilangan Kekasihnya

Kedatangan tahanan kali ini, rasa-rasanya tak seperti napi yang lain. Sosoknya kurus seakan tak terurus. Pakaian lusuh yang dikenakan, lebih kusut dari baju yang tak pernah disetrika. Tak ada wajah sangar apalagi kumis lebat memanjang. Tak satupun tampang jahat kecuali disebut pelaku Pokemon. Kau tau, istilah Pokemon hanya dikenakan bagi mereka yang berani kepada kaum hawa. Tak ada tempat aman bagi pelaku kejahatan terhadap wanita. Tidak juga lelaki yang baru pindah ini.

“Kenapa dia satu sel dengan kita, Black?” tanya Asrawi kepada Karman. Sayangnya, kulitnya yang hitam mengkilap, membuatnya dipanggil Black.

“Kamar mereka sudah penuh, Wi. Untuk sementara mereka tinggal di sini.”

“Berarti, banyak pelaku Pokemon sekarang?”

“Mungkin. Tanyakan saja ke orang itu. Dia yang jauh lebih pengalaman daripada kita.”

Lelaki ini menoleh. Lalu membuang muka ke arah jendela yang sebenarnya tak pantas disebut jendela. Hanya lubang kecil agar para penghuni di dalam tak mati sia-sia.

“Kurang ajar! Bocah baru sudah belagu!” Asrawi berdiri. Menghampiri lelaki ini lalu menarik kerah baju yang sudah lusuh itu.

“Dengar! Di blok ini, Black adalah raja. Kau harus patuh dengan perintah raja.”

“Raja bukan Tuhan yang harus kutaati.”

“Dasar sombong! Kau itu bukan manusia. Hanya berani ke perempuan saja,” Asrawi memicu kekisruhan. Cepat-cepat kutahan Asrawi yang mulai hendak memukul lelaki ini. Aku tak mau petugas menghukum semua orang di dalam ruangan.

“Biarkan saja, Wi. Biarkan lelaki ini merasakan sendiri bagaimana melaratnya menjadi pelaku asusila di penjara.”

Semenjak siang itu, lelaki yang belakangan ini kuketahui bernama Ersan, selalu menjadi korban kekerasan sesama kawan. Entah disuruh mencuci baju, terkadang dipukul ramai-ramai. Memang begitulah seharusnya. Sebagai satu-satunya kategori kejahatan yang tak bisa diterima akal, pelaku seksual memang diperlakukan bak binatang. Kau tau kenapa? Sebab mereka memperlakukan wanita seperti binatang saat menyetubuhinya.

“Sepertinya, kau sedang memikirkan sesuatu?” tanya Bagas, sahabatku. Ah, sebenarnya dia penasehat hukum yang ditunjuk Majelis Hakim. Sewaktu proses persidangan, aku memang tak didampingi pengacara. Tak mampu bayar mereka. Dan Bagas inilah yang membela di persidangan. Tak hanya itu, dia sudah menjelma sebagai sahabat. Buktinya, setiap Sabtu selalu meluangkan waktu membesukku.

“Tak ada. Hanya penasaran saja,” ujarku saat melihat Ersan duduk sendiri. Dan memang dia selalu menyendiri. Tak pernah kulihat dia bercengkerama dengan narapidana yang lain.

“Orang itu?” Bagas menoleh ke arah Ersan. “Kau kenal?”

“Dia satu sel. Kasus Pokemon.”

“Pasti jadi bulan-bulanan.”

Tak kujawab pernyataan Bagas. Pikiranku tengah sibuk mengingat kedatangan Ersan. Sedari awal pindah ke sel 11, tak sekalipun kujumpai Ersan dibesuk. Ya, tak pernah kudengar dia dijenguk.

“Apa ada yang salah dengan ucapanku?” Bagas menatapku heran.

“Aku penasaran saja, Gas. Kau tau, semenjak pindah, tak sekalipun kudengar dia didatangi tamu.”

“Ah, paling-paling kau yang tak dengar pengumumannya. Siapa juga yang mau cerita kalau setiap hari selalu dipukul dan ditendang-tendang? Dia tak punya tempat cerita, Sam.”

“Maksudnya?”

“Begini, Sam. Seburuk-buruknya manusia, dia juga butuh untuk didengarkan. Karena tak selamanya manusia itu butuh solusi. Nah, sekarang bayangkan. Buat apa dia cerita ke teman-teman di sel seandainya dibesuk, kalau setiap hari kalian pukul dan dicaci maki?”

Aku manggut-manggut. Yang diucapkan Bagas sangat bisa dibenarkan akal. Aku sudah mengalami. Merasakan bagaimana Bagas menjelma sebagai kawan yang mendengar segala keluh kesahku saat memasuki lapas. Ya, pengacara di depanku ini sudah menjelma sebagai wadah yang menampung segala perasaanku selama di penjara.

***

Menjadi narapidana, bukan berarti selalu dikurung dan tak pernah merasakan panas matahari. Bagi kami yang hidup di penjara, waktu luang dapat dirasakan dari pukul enam pagi sampai pukul empat sore. Di rentang waktu itulah, kami berada di luar sel. Ada yang duduk membaca koran, olahraga, belajar membaca Qur’an atau ikut kegiatan di Binaan Kerja seperti mengelas dan membuat kerajinan tangan. Tentu tak sedikit yang hanya duduk lalu pindah duduk ke tempat lain. Bercengkrama dengan napi lain.

Menjelang senja, kami akan digiring kembali memasuki sel yang sebenarnya sudah tak muat lagi menampung banyak orang. Entahlah. Seakan pemerintah menganggap kami bukan sebagai manusia. Bayangkan saja. Ruang tak seberapa besar harus memuat belasan orang. Sangat-sangat tak muat.

“Black, Ersan diamuk,” seru Asrawi saat mendapatiku bersantai di bawah pohon.

Tiba-tiba saja aku ingin melihat kejadian yang tengah berlangsung. Bukan untuk menyumbang pukulan. Bukan. Bukan itu, Kawan.

Setelah tiba di dekat kamar mandi, Ersan tengah dikerumuni Ajis dan anak buahnya. Mukanya memar dan memerah.

“Cukup, Jis! Lepaskan orang itu!”

Ajis melihatku heran. Ia tersenyum sinis.

“Aku tak salah dengar, Sam? Kau memintaku berhenti? Kau tak lihat dia sudah merusak kehormatan seorang perempuan? Kita pantas merusak mukanya ini.”

“Kita bukan Tuhan, Jis. Tak pantas membalas.”

“Hey, sejak kapan kau berubah jadi ustad?” ujar Ajis nyinyir.  Dia melangkah mendekat. “Kalau kau tak terima, mari kita selesaikan berdua.”

“Tak ada gunanya aku meladeni lelaki sepertimu.”

“Jangan sok suci, Sam. Kau itu jauh lebih buruk daripada aku. Kau itu seorang pembunuh. Pembunuh saudara sendiri hanya karena harta. Apa kau lupa, agama saja melaknat pembunuh,” teriak Ajis lantang. Merangsang amarahku yang sedari tadi ditahan.

“Aku memang pembunuh. Tapi setidaknya aku tak membawa nama agama saat membunuh,” jawabku meninggi. “Apa kau tak lihat di koran-koran? Berapa banyak orang yang memukul bahkan merusak warung sambil mengucapkan takbir? Berapa banyak orang yang membuat kisruh sambil menyebut nama Tuhan? Siapa yang buruk sekarang? Aku atau mereka?”

Ajis terdiam. Orang-orang yang bergerumul juga diam. Kesempatan ini tak akan kusia-siakan.

“Kita ini punya salah. Karenanya kita berada di sini. Di penjara. Tapi bukan berarti kita paling buruk. Masih banyak orang yang jauh lebih buruk dari kita di luar sana. Sangat banyak. Menyebut Allahu Akbar tapi memukul orang. Itu bodoh namanya. Sangat bodoh. Sudahlah! Ersan dan pelaku seksual lainnya juga manusia. Sudah seharusnya kita memperbaiki diri mumpung di sini. Jangan tambah buruk. Sekarang, aku minta kalian bubar. Daripada kita dapat masalah.”

Orang-orang menatap tak nyaman. Sambil membubarkan diri, mereka menengok ke arah Ersan yang menyeringai kesakitan.

“Aku tak butuh pertolonganmu.”

Sudah kutebak ucapan Ersan bakal keluar seperti ini.

“Apa aku terlihat seperti menolongmu?” balasku kemudian.

Ersan tak jawab.

“Aku memang bukan seorang pemuka agama. Tapi, sebaiknya kau renungi perbuatanmu selagi di penjara,” ujarku tegas sambil berlalu.

Asrawi yang menunggu di dekat tembok, berjalan pelan di depanku.

“Aku bukan pelaku Pokemon!” seru Ersan. Terpaksa langkah kaki terhenti.

“Aku terpaksa mengaku sebagai tersangka, agar kakakku tak dipenjara,” imbuhnya lagi.

Kali ini, kudengar suara tersendat. Ya, Ersan menangis. Pemandangan yang sesekali saja kujumpai.

“Kau dijebak?” tanyaku hati-hati. Ersan tak jawab. Ia sesegukan.

Ersan melihatku sebentar. Sebelum menatap langit yang tak sepenuhnya terang.

“Malam itu aku datang ke kantor. Pacarku kerja di tempat kakak. Dia lembur. Tiba-tiba aku mendengar teriakan seorang perempuan di sebuah ruangan. Saat itulah perbuatan itu terjadi. Kakak gelagapan melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Dia langsung kabur sambil membenahi baju. Sedang aku, yang kacau balau melihat peristiwa itu, hanya membuka kemeja lantas menutupi tubuh pacarku. Sayangnya, beberapa orang keburu datang dan melihat kami berdua.”

“Kenapa kau tak katakan yang sebenarnya?” tanyaku agak geram.

“Apa yang bisa dipercaya dengan anak yang dipandang nakal, Sam? Keluarga sudah terlanjur menganggapku sebagai orang tak benar. Mereka tak percaya saat kukatakan yang sebenarnya.”

“Orang tuamu?”

Ersan tersenyum miris.

***

Aku tak tau, mengapa pagi ini terasa lebih nyaman dilewati. Bukan lantaran Bagas yang selalu datang lalu mendengarkan ceritaku. Bukan. Bukan itu.

“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?”

“Tak lah. Aku cuman berterima kasih kau sudah membuatku membuka mata.”

“Hey, tak perlu berterima kasih. Lihat sekarang! Ersan sudah bisa tersenyum.”

Aku mengangguk. Mengiyakan ucapan Bagas. Usai Ersan bercerita sore itu, aku memikirkan cara agar ia bertemu dengan sosok yang dirindukan. Dan aku berhasil meminta bantuan Bagas.

“Apa yang kau ucapkan sampai-sampai perempuan itu berkenan datang kemari?”

“Biasa saja. Hanya soal kesempatan. Mungkin, ini pertemuan terakhir mereka berdua.”

“Lah, kemana perempuan itu pergi?”

“Katanya, dia bakal ke luar negeri. Entahlah.”

“Kenapa tak tinggal di sini? Menunggu Ersan.”

“Perempuan yang sudah merasakan kekerasan seksual, memiliki tekanan batin yang sangat kuat, Sam. Apalagi, kekasihnya yang tak salah justru dipenjara. Alangkah baiknya, untuk sementara waktu dia memulihkan keadaannya terlebih dulu.”

“Ya, kau benar. Biarkan mereka berdua menjalani hidup yang sudah digariskan Tuhan.”

Bagas tersenyum. Mengulurkan sebungkus nasi yang pasti dibeli di depan lapas. Sudah kuhapal kebiasaan satu ini.

“Terima kasih, Gas. Buat semuanya. Terima kasih telah menjadi kawanku saat tak satupun keluargaku membesuk sampai sekarang.”

Lagi-lagi Bagas tersenyum. Kau tau, selama tiga belas tahun di penjara, baru pagi ini aku mengucapkan terima kasih kepada seseorang.

Sumber gambar: Pixabay

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan