literasi-digital-dunia-maya

Literasi Digital

Tak lagi bisa disangkal, kini adalah era digital. Jari-jari (digitus, Lat.) dinyana sebagai “aktor utama”nya. Hanya dengan sepasang jempol, ribuan massa bisa turun ke jalan. Buktinya? Tahun 2014, ribuan mahasiswa Hongkong yang disebut pro demokrasi turun ke jalan. Konon katanya, gerakan mereka bersumbu dari pesan-pesan yang disebar lewat media sosial. Contoh lain yang tak kalah mentereng adalah Arab Spring. Media sosial memainkan peran penting untuk menggelombangkan protes dari ribuan demonstran. Indonesia juga tidak ketinggalan. Aksi Damai 411 tempo hari yang berlanjut dengan aksi bela islam hari ini, bertali api dari “suntingan” pidato Ahok yang tersebar diceruk-ceruk ruang maya.

Fenomena ini menggambarkan beberapa hal. Dunia daring  ternyata bukan sekedar gaya hidup. Ruang maya ini terbukti berpotensi sebagai penggerak manusia di ruang nyata. Dia mampu menggugah kesadaran banyak orang untuk melakukan sesuatu yang konkret. Ini dimungkinkan karena informasi, dalam berbagai bentuknya, berselancar bebas dan cepat memasuki kamar-kamar pribadi tanpa perlu mengetuk pintu dahulu. Bahkan lebih jauh, kebudayaan yang dipelihara ribuan tahun, dengan sekejap bisa diranggasnya dengan rupa yang baru.

Kemampuan dunia digital untuk menggalang pergerakan menuntut kewaspadaan kita. Alasannya, jangan-jangan nanti kita diajaknya melakukan hal yang tidak-tidak. Contoh tersederhana, lihat saja gaya berbahasa netizen di media sosial. Gaya bertuturnya seperti tidak berbudi pekerti Indonesia. Kita tengok juga serentetan konflik horizontal di seantero Nusantara. Banyak yang tersundut dari media sosial. Artinya ada infiltrasi budaya dan perilaku dari dunia digital, yang kalau tidak disaring, berdampak buruk bagi kehidupan individual maupun sosial.

Jika begitu, bagaimana seharusnya kita berdigital ria?

Literasi Digital

Kata kuncinya adalah saring; menyortir antara yang baik dan buruk. Dalam konteks dunia digital, maka informasi menjadi sesuatu yang harus dipilih dengan telaten. Kemampuan untuk menapis berita dan data, dewasa ini, menjadi syarat penting bagi para pengguna internet. Tanpa ini, tatanan kebudayaan masyarakat kita akan cepat digunduli. Kecakapan menyeleksi dan mengolah konten didunia di gital inilah yang dikenal sebagai literasi digital.

Paul Gilster disebut-sebut sebagai orang pertama yang membidani istilah ini. Lewat bukunya Digital Literacy (1997), kosakata ini diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber nan luas yang diakses lewat piranti komputer. Beberapa ahli memang masih memperdebatkan pengertian ini. Tapi terlepas dari perdebatan itu, kalimat pentingnya adalah “memahami dan menggunakan informasi.”

Selanjutnya, ada baiknya kita mempertimbangkan pendapat Douglas A.J. Belshaw. Dalam tesisnya What is ‘digital literacy’? (2011), dia mengemukakan delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu 1) kultural: pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; 2) kognitif: daya berpikir dalam menilai konten; 3) konstruktif: mereka-cipta sesuatu yang asli dan aktual, 4) komunikatif: memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; 5) kepercayaan diri yang bertanggung jawab (confident); 6) kreatif: melakukan hal baru dengan cara baru; 7) kritis dalam menyikapi konten; 8) bertanggung jawab secara sosial (civic).

Aspek kultural, kata Belshaw, menjadi elemen terpenting. Memahami konteks pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten. Latar situasi pengguna akan sangat menentukan cara dan makna perilaku di dunia digital. Apabila penggunanya seorang politisi, contohnya, tentu setiap unggahannya akan dipahami berbeda; dibanding masyarakat biasa. Jadi, tak berlebihan jika prinsip hermeneutika, “context is the king” berlaku juga.

Dari kedua teori ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan sesuatu. Literasi digital adalah kearifan yang berkaitan dengan kecakapan teknis dalam mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi. Hal ini berkenaan dengan kecerdasan mental. Dia menuntut keterampilan emosional, moral, dan akal dalam memahami dan mengolah data. Selain kreativitas, kesadaran dan tanggung jawab merupakan elemen yang harus didahulukan. Sikap dan karakter di garda terdepan sebelum berselancar di dunia maya.

Jika begitu, bagaimana kita di Indonesia? Terbangunkah sudah literasi digital?

Masih Bermasalah

Ada beberapa elemen yang menarik untuk ditelaah dalam konteks dunia digital di Indonesia. Pertama, elemen confident dan civic. Perilaku masyarakat digital yang bertanggung jawab di Indonesia, baik secara individu dan sosial, bisa dikata dalam kondisi yang memprihatinkan. Ujaran kebencian, makian, dan tudingan masih jadi komponen utama interior ruang maya kita. Tanpa matang perhitungan dampak sosialnya, Buni Yani, umpamanya, secara ugal-ugalan menyebarkan “garapannya” lewat akun Facebook. Entah disadarinya atau tidak, “karya”nya itu berdampak serius mengundang konflik dalam masyarakat.

Kedua, kita tidak kritis terhadap konten. Adalah rahasia umum jika kita adalah masyarakat yang mudah terhasut. Arus pendapat umum dengan enteng menyeret kita pada pusaran kesimpulan yang tergesa. Sikap-sikap politis kita, misalnya, disetir oleh apa yang jadi tren di media sosial. Sebagai contoh, kita begitu yakin kala media daring menyebut Hillary Clinton akan menang mudah atas Trump. Tapi tiada sangka, nyatanya semua itu berjungkirbalikan. Ada juga perbincangan yang marak di warung-warung kopi, kalau buntut dari aksi 411 adalah kudeta Jokowi. Adakah data akurat tentang itu? Barangkali hanya media sosial yang mengatakannya.

Lemahnya daya kritis adalah bukti kita belum terpelajar. Terpelajar, kata Pram, cirinya adil sudah sejak dalam pikiran. Artinya seorang terpelajar harus selalu mencurigai apa kata orang banyak. Dia harus bimbang pada pendapat umum. Dia harus meragu sebelum membuktikan. Apakah ini membuktikan lemahnya daya kognitif kita? Entahlah, belum ada ilmu yang bisa menjelaskannya.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, hal ketiga adalah kepiawaian berkomunikasi. Jika mengamati media sosial, sulit menemukan karakter bangsa Indonesia yang (katanya) terkenal kesantunannya. Apalagi kalau sudah berbicara tentang agama dan politik. Beugh, ngeri-ngeri sedap! Sentimennya apalagi kalau bukan primordialisme. Lebih jauh lagi, J. Kristiadi dalam analisis politiknya di harian Kompas menyebutnya dengan istilah ressentiment (1/11/2016). Sebuah sikap yang menghalalkan segala cara, mengafirkan orang, bahkan melululantahkan dunia untuk membela kebenaran-kebenaran subyektifnya demi masuk surga. Ini pertanda kita belum cerdas dalam memahami sifat komunikasi di dunia digital. Kurang bijaksananya kita berbicara di ruang maya, mungkinkah jadi pertanda iliterasi akut?

Bagaimana dengan kreativitas dan daya konstruktifnya? Ah, sudahlah, semakin segan diri ini menilai.

Tak berlebih rasanya jika J. Sumardianta mengatakan bahwa kita masih baru belajar membaca, belum menulis (Habis Galau Terbitlah Move On, 2014). Belum tamat budaya membaca, peradaban digital sudah melanda. Baru saja keluar dari pintu berlisan, berkicau 140 karakter sudah memasyarakat. Segerundel Facebook, Twitter, blog, dan portal berita membanjiri bak tsunami. Kita terkejut secara budaya. Sudah pasalnya, orang terkejut tak lagi waspada.

Tapi tak apalah, toh tak ada kata terlambat. Hiruk-pikuk dunia digital adalah situasi konret kita sekarang. Kita tak boleh lari; harus dihadapi. Ayo, mari kita berbenah! Literasi digital memang harus segera diwujudkan. Dia perlu dikembangkan dan dibudayakan; apalagi dalam suasana pilkada seperti sekarang ini. Pertimbangannya, perilaku di dunia maya ternyata berdampak di dunia nyata. Jika ribut di media sosial, maka besar peluang berimbas pada dunia nyata. Menunda untuk percaya dan daya saring terhadap informasi harus dirapatkan. Kita harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran. Hanya dengan inilah, literasi digital bisa dibudayakan.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan