manusia-dan-sejarah-masa-lalu

Manusia dan Sejarah

            Sejarah tak bakal ada tanpa manusia. Manusialah yang menemukan sejarah. Manusialah yang membuat dan menciptakan sejarah. Karena itulah, ia bukan sekadar subjek, tetapi juga sekaligus objek ketika ia telah mati.

            Kisah tentang manusia dan sejarah sebenarnya telah ada dalam kitab di dalam agama manapun. Mustahil, di kitab agama tak menyebutkan dan mengisahkan manusia. Sebagai sebuah sejarah, ia penuh dengan dinamika. Ada kalanya ia menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai teladan, sebagai sebuah cerita yang agung, dan ada pula yang mencerminkan tindak kekejian, kebiadaban, yang membuatnya menjadi sebuah cerita yang tak mengenakkan.

            Tahun 1997, HB Jassin menerbitkan buku terjemahan yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya. Buku itu berjudul Pikiran Tentang Manusia. Buku kecil ini berisi tentang betapa manusia tak hanya menjadi topik menarik, tetapi juga menelusuri mengapa manusia menjadi sosok yang begitu potensial, di sisi lain, juga membuat dunia ini menjadi lebih buruk dari yang sebelumnya.

            Sejarahlah yang mampu menjawab misteri itu. Sejarah mampu menunjukkan bak kaca benggala yang menguak bagaimana manusia ditampilkan di masa lampaunya. Bagi yang mau mengambil pelajaran, tentunya sejarah adalah mata air yang tak pernah surut. Tetapi bagi yang acuh dan mengacuhkannya, maka sejarah telah memberikan buktinya, kelak ia akan menyusul di barisan kisah manusia yang tersungkur dari peradaban.

            Buku P. Swantoro ini adalah kumpulan kisah tentang manusia. Dari berbagai negara, dari berbagai peristiwa, dari aneka sifat dan wataknya, penulis mencoba mengambil bagian yang menarik dari manusia sebagai objek sejarah.

            Bila beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi telah usai melakukan hukuman mati bagi terpidana narkoba, maka P Swantoro pun pernah menuliskan topik mengenai hukuman mati. Tak tanggung-tanggung, yang ditulisnya adalah tonggak, bagaimana manusia menjalani hukuman mati. Ia tuliskan Socrates, yang mati karena menenggak racun. Ia dihukum karena dituduh merusak generasi muda. P Swantoro juga menuliskan kisah tentang Thomas More  Perdana Menteri Inggris di abad XVI. Thomas More akan selalu dikenang karena telah menuliskan kitab klasik yang bertajuk Utopia.

            Tetapi betapa malangnya ia tatkala harus menjalani hukuman mati potong leher di usia 57 tahun. Ia menolak untuk menyetujui serangkaian tindakan yang tak sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Ia diminta untuk menyetujui tindakan Raja Inggris Henry VIII yang hendak menceraikan permaisurinya Chatarina asal Spanyol, dan mengawini  Anna Boleyn, dayang Sang Permaisuri (h.35). Karena mempertahankan prinsip itulah, akhirnya Thomas More pun dijatuhi hukuman mati.

             Tentu saja ada yang berbeda yang ditulis oleh P Swantoro, ketika menuliskan hukuman mati, meski kita tahu, objeknya adalah “manusia”. Ada kecenderungan P Swantoro meletakkan kisah muram tentang manusia ini sebagai sebuah kaca benggala bagi kita. Bahwa manusia itu pelik. Pantaslah kalau Pramoedya pernah menyinggung tentang manusia ini. Meski kita memiliki pengetahuan yang cukup banyak, manusia tetaplah tak sesederhana dengan yang ada di pikiran kita.

            Sepanjang buku ini, kita memang diajak untuk menelusuri dan menyimak pengisahan tentang manusia. Ada juga kisah seorang Gandhi yang menurut saya cukup menarik : Tetapi, sebenarnya Gandhi bukan seorang yang doktriner. Pemikirannya selalu mengalami perkembangan, proses, evolusi. Setiap senin, ia memaksakan diri untuk tidak bicara, dan menggunakan hari itu untuk melakukan instropeksi, untuk menulis, untuk menilai kembali gagasan-gagasannya. Apa sebenarnya hubungan semua itu dengan Mahatma Gandhi dan ajarannya?. Sekadar untuk menampilkan contoh, bahwa seorang pemimpin masyarakat yang sejati hanya bisa inspired, apabila ia mendahului menerapkan pada kehidupan pribadinya  segala cita-cita ideal yang dianjurkannya. Bahwa baginya “mengetahui berarti melaksanakan”.

            Betapa P Swantoro tak hanya membiarkan kita menyimak kisah yang diceritakan olehnya, tetapi juga mengajak kita berdialog, sembari merenungkan petilan-petilan kalimat yang mengajak kita berfikir.

            Ketika menuliskan kematian Indira Gandhi, pak Swantoro juga menyinggung mengenai betapa buruknya dampak pemaksaan. Pemaksaan apapun itu, termasuk pemaksaan terhadap kekuasaan, akan mengakibatkan dampak buruk bagi banyak orang. Karena itulah, Gandhi melakukan perlawanan terhadap segala bentuk pemaksaaan itu. “ Aku tidak berminat membebaskan India hanya dari belenggu Inggris. Tetapi aku bertekad memerdekakan India dari belenggu apapun. Tirani Inggris adalah terorisme yang dilancarkan oleh suatu minoritas untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah-tengah oposisi. Tetapi tirani kita adalah terorisme yang digerakkan oleh suatu mayoritas, dan karenanya,  lebih jahat serta lebih kafir daripada tirani yang pertama. Dari sebab itu, kita harus membuang jauh segala bentuk pemaksaan ……”.

            Bila mengingat seruan Gandhi ini, kita tentu ingat dengan fenomena kekerasan di masyarakat kita yang masih mudah terprofokasi dan terpancing emosinya tatkala menyinggung isu agama. Konflik yang bermotif agama inilah, yang mau tak mau menuntut kita untuk saling memaksakan kehendak satu sama lain. Di saat itulah, kita menemukan sejarah yang berulang.

            Di akhir buku, kita juga akan mendapati cerita tentang bagaimana Ronggowarsito moncer dengan syair Zaman Edannya, hingga cerita tentang demokrasi yang dibawa oleh Hatta.

            Sebagai sebuah karya jurnalisme, apa yang ditulis oleh P. Swantoro ini boleh dibilang langka di negeri kita. Metode jurnalisme-histori, layak untuk diteruskan, mengingat banyaknya manusia indonesia dengan berbagai peristiwa dan perannya yang ada di negeri ini. Sebab di era sekarang yang serba cepat inilah, manusia tetap menjadi topik yang tak hanya aktual, menarik, dan unik, tetapi juga sebagaimana yang ditulis oleh P. Swantoro, historia docet, ia akan memberikan pelajaran bagi kita.

            Sayang sebagai sebuah produk jurnalisme, apa yang ditulis oleh P. Swantoro ini boleh dianggap kurang membuat kita puas, sebab yang muncul hanya sepenggal-sepenggal, dan terasa kurang utuh. Inilah yang menurut saya menjadi catatan kritis untuk buku ini. Namun, buku ini telah menunjukkan keunggulannya, dalam rentang waktu terbit yang cukup panjang, buku ini tetap membuat kita enak membacanya.

 

*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan