manusia-es-di-kutub

Manusia Es 1

Jakarta, 1996 Masehi

Kenapa selalu hujan kalau bulan Februari? Kau tidak akan menemukan jawaban yang tepat, tidak seperti saat kau bertanya kepada pembantu rumahmu mengenai musim apa yang paling dia sukai. Dia akan menjawab dengan santai; awal musim penghujan.

Katakan pembantumu dulunya tinggal di sebuah desa kecil, sebuah keluarga petani sederhana dengan beberapa kebun kecil untuk menanam singkong dan bawang, sawi dan sedikit kunyit. Pembantumu, waktu dia masih seumuranmu sekarang suka sekali memelihara ayam betina dengan kandang di belakang rumah dekat bedeng sawi itu. Dalam hitungan bulan, ayam itu bertelur lalu menetaskan anak-anaknya yang kemudian tumbuh besar. Lalu ketika malam tahun baru, ayahmu mengambil salah satu dari ayam-ayam itu, seekor ayam jantan muda misalnya, sebagai santapan perayaan pergantian tahun.

Pada malam tahun baru, di dalam keluarga pembantumu jarang terdengar seorang menyapa kepada yang lain; “Selamat tahun baru, sayang. Besok pasti lebih baik.” Mereka hanya menikmati; apa yang diberi dan apa yang diambil. Semua hal mengalir dengan teduh, tanpa gaduh kecuali sedikit pertengkaran mungkin yang berakhir ketika matahari terbenam.

Saat kabut tersingkap pada bulan purnama, di luar rumah mereka seekor anjing melolong tinggi, lengkingannya hampir mencapai permukaan bulan. Seluruh keluarga tidur diam-diam tanpa khawatir, bahkan ketika keesokan hari terbangun menemukan anjing yang sama telah mati, mereka menguburkannya dengan layak.

“Sedih sekali.” Kata ayah pembantumu.

“Mungkin sebuah pertanda.” Kata sang ibu.

“Sudah waktunya mati barangkali.” Sahut sang ayah lagi, sementara pembantumu yang masih kecil hanya menitikkan air mata. Tetapi mereka sudah belajar bahwa yang mati memang sudah ditakdirkan, yang masih hidup hanya perlu bersyukur.

Lima atau enam dekade kemudian, pembantumu tinggal bersamamu di ibukota dengan kenangan masa kecil yang terbungkus rapi di dalam memori pribadinya. Saat kau bertanya, dia akan menjawabmu; awal musim penghujan, satu atau dua minggu setelah musim panas menyusut. Ada kemasan dalam ingatannya tentang saat-saat semacam itu; tentang jamur-jamur kuping yang tumbuh di bangkai pohon, tentang wangi tanah, tentang kunang-kunang di dalam toples yang dia tangkap sewaktu mengerubungi dahan damar.

Memori semacam ini tidak akan mudah terkelupas, sekalipun rumahmu di ibukota sering kebanjiran dan pembantumu barangkali trauma setiap kali musim hujan datang.

Pada februari 1996 masehi, di Jakarta hujan seolah tidak mau berhenti. Aroma kota terperangkap dalam tekanan udara yang menyusut turun, kecuali bau-bau sampah busuk dalam got-got tersumbat masih akan tercium saat hujan mereda. Tetapi karena kau tinggal di Jakarta sekarang, saat hujan mereda tidak bisa serta merta kau berlari keluar melihat pelangi atau apa, kau harus melongok terlebih dahulu dari jendela kamar. Bisa jadi di luar sementara turun banjir.

Dulu sekali sewaktu Belanda masih menjajah, sebelum Batavia dipanggil Jakarta, kota ini pernah diimpikan menjadi duplikat Amsterdam; banyak parit dibangun, tembok kota dan kanal-kanal. Terusan dibangun untuk mengalihkan sungai Ciliwung, disebut sebagai Kali Besar yang membelah kota. Batavia diharapkan ditata menjadi kota pelayaran, malah mendapat sebutan singkat “Venesia dari Timur.” Namun, semua jadi berantakan saat kota bertumbuh pesat dan tumpang tindih.

Banjir yang diharapkan bisa dikendalikan malah tetap di sini, seperti lagu lama pengiring hujan.

Jakarta 1996 Masehi, di situlah rumahmu tumbuh di tengah gempuran banjir. Hujan bukan masalah, namun benjir adalah petaka. Jakarta bagai negeri kutukan saat hujan datang; kemacetan adalah kutukan harian dan banjir adalah kutukan musiman.

“..baiklah pemirsa, bagi anda yang berada di jakarta dan sekitarnya, hujan sedang turun sekarang. Silahkan mencicipi sepiring kacang rebus dan teh panas sambil menunggu berita lanjutan tentang banjir di kota. Jangan khawatir, Jakarta 1996 akan tetap berdiri seusai banjir. Kita hanya perlu menunggu tim penyelamat datang dengan perahu karet membawa bahan makanan serta obat-obatan. Selamat menikmati akhir pekan anda bersama keluarga!!”

Tetapi, yang fenomenal dari tahun 1996 itu bukan cuma banjir besar.

Di pelosok kota yang becek dan tergenang banjir, untuk pertama kali orang berbicara mengenai manusia es.

Manusia-manusia es itu di sana; hidup dan bernapas, tertawa dalam kesepian, hidup dengan hati yang beku. Bahkan manusia es yang satu berbicara tentang manusia es yang lain tanpa sadar bahwa diri mereka perlahan-lahan mendingin. Jakarta 1996 dihuni banyak manusia es yang berjalan-jalan di mall, minum malam hari di pub, membayar hotel dan tidur selama dua hari dengan seorang gadis. Dan orang di dekatmu bisa jadi adalah manusia es.

******

Selanjutnya Manusia Es 2

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan