anak-anak-masa-lalu-damhuri-muhammad

Masa Lalu dan Kritik Modernitas

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Kampung yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang tak menarik tiba-tiba dijadikan sebagai dunia yang lekat bersama kita. Melalui kumcer Anak-Anak Masa Lalu (2015) kita diajak untuk memunguti yang tercecer dan tercerai berai dari tubuh kita. Kampung, masa lalu adalah bagian dari tubuh pengarang yang coba dihadirkan kembali melalui cerita-ceritanya. Meski secara terang diakui pengarang, masa lalu, dan kampung justru menghadirkan sakit dan perih, tetapi dari itulah, justru pengarang meneroka-nya menjadi cerita yang menakjubkan.

Kita bisa menengok pengakuan pengarang di buku ini : “kampung yang sejak lama hendak saya hindari untuk berpulang kepadanya, namun kenangan masa kecil itu rupanya telah menjadi fosil dalam kepala saya. Setiap kali saya hendak merancang sebuah cerita, fosil-fosil itu bagai mengepung saya, mendesak saya untuk memberi nyawa, hingga akhirnya semua cerita yang saya teroka terkepung dalam arus deras kenangan tentang kampung halaman” (h.119).

Dunia kampung tentu masih lekat dengan hal yang berbau tradisi, mitos, sampai dengan pergunjingan. Pergunjingan di kampung memang tak semenarik seperti di layar kaca kita. Tetapi di kampung, setiap orang bisa jadi penggosip atau sebaliknya orang yang digosipkan dengan begitu cepat. Kampung lekat dengan yang sosial, yang jamak itu. Di kampung kita mesti hidup dengan kehati-hatian dan penuh toleransi. Gosip, pergunjingan di kampung kemudian menjadi ide menarik di cerita Damhuri seperti di cerpen Banun.

Di cerpen Banun kita menemui bagaimana dendam personal yang ada di kampung justru menjadi gosip yang menuntut seorang nenek tua harus bersabar dan berteguh kepada nasib dan prinsipnya sebagai seorang petani. Gunjingan itu pun tak pernah berhenti sampai kepada anaknya, untunglah si nenek mau membuka kisah sebenarnya kepada anaknya. Mengutip salah satu bagian cerpen, “Ia (nenek) menjelaskan kata “tani” berasal dari “tahani” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti “menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dari bercocok tanam “ (h.26). Sifat dan keteguhan Banun itulah yang kemudian membuatnya menjadi semakin kaya dan terpandang di kampungnya. Dari itulah, ia mendapat gunjingan yang tak sedap dari orang yang tak suka dengan menjulukinya “Banun kikir”.

Di cerita lain, kita akan menemui betapa mitos menjadi hal menarik tatkala dihubungkan dengan yang modern. Di cerita berjudul anak-anak masa lalu yang juga menjadi—judul kumcer ini—kita akan menemukan bagaimana cerita pembangunan jembatan kemudian ditautkan dengan kisah dan mitos anak-anak yang mati dikorbankan dan dimasukkan ke dalam beton jembatan. Cerita ini justru menjadi sindiran bagi modernitas dan pembangunan yang selama ini justru mengorbankan rakyat kita.

Bila ingin menemui mitos dan cerita tentang orang sakti, kita bisa menengok cerita berjudul Badar Besi yang mengisahkan bagaimana orang kemudian begitu percaya dengan batu yang membuat kebal. Melalui kisah ini, kita bisa melihat di masa sekarang pun batu tetap dipercaya dan digandrungi karena ada kekuatan di dalamnya. Melalui cerita ini kita semakin diajak untuk tak mengelak antara yang modern dan yang lampau. Simak saja cerita bertajuk Dua Rahasia, Dua Kematian. Cerita diawali dengan mitos dan kepercayaan orang desa bahwa seorang adik tak boleh melanggar kakaknya dalam urusan pernikahan. Sebab mereka percaya akan ada musibah ketika pantangan itu dilanggar. Cerita ini ditutup dengan pasangan sejoli yang belum menikah ini harus menghadapi kematian di kota Jakarta. Penyesalan orangtua pun menjadi tak terperi ketika mendengar anaknya harus mati bersama kekasihnya. Ada keyakinan dan keinginan pengarang untuk mencoba menautkan antara kepercayaan orang kampung dengan hal yang modern.

Masa lalu bagi penulis justru menjadi mata air imajinasi yang unik. Hal yang sebenarnya berbau kampungan seperti mitos, takhyul, justru dikemas dengan menarik oleh penulis menjadi cerita yang bisa kita resapi. Penulis seperti ingin menegaskan bahwa yang lampau, yang lalu, justru merupakan bagian dari tubuh kita saat ini. Selain itu, keteguhan dan prinsip orang kampung tak melulu merupakan sikap yang rendah seperti di cerpen Rumah Amplop. Di cerpen ini kita justru menemukan sikap dan keteguhan seorang nenek yang harus mempertahankan prinsipnya untuk tak mau menerima uang dari anaknya yang berasal dari uang suap. Rumah amplop menjadi cerita yang menghantam dan menohok kepada situasi masyarakat kita yang menganggap orang kampung bisa dibeli dengan uang.

Meski cerita-cerita ini ditulis bertahun yang lalu, namun daya tarik dan daya pikat cerita ini tetap memikat kita. Penulis justru menjadikan masa lalu yang traumatik, kampungan menjadi cerita yang mengkritisi sikap dan modernitas kita.

anak-anak-masa-lalu-damhuri-muhammadJudul Buku: Anak-Anak Masa Lalu
Penulis: Damhuri Muhammad
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: Juni 2015
Halaman: 121 halaman
ISBN: 978-979126046-6

*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi, Pengasuh MI Muhammmadiyah Kartasura

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan