khazanah-sastra-indonesia-modern

Masihkah Ada Roman dalam Khazanah Sastra Kita Sekarang?

Berita Buku – Masihkah ada roman dalam khazanah sastra kita sekarang? Pertanyaan ini diinspirasi oleh sebuah tulisan karya Northrop Frye yang berjudul “Anatomy of Criticism: Four Essays” dalam buku Theory of the Novel: A Historical Approach karya Michael McKeon yang terbit pada tahun 2000. Dalam artikel itu, Frye membahas tentang genre di mana pada salah satu bagiannya, ia membedakan antara genre roman dan novel dalam perkembangan sastra di Amerika Serikat. Dua istilah itulah yang kemudian membuat saya terperanjat untuk melihat kembali dalam konteks ke-kini-an dan ke-disini-an. Mengingat bahwa buku itu telah berumur lima belas tahun, dan bahkan umur artikel Frye lebih tua lagi sebab terbit pada tahun 1957. Dalam rentangan waktu lima belas tahun—bahkan lebih itu—bisa jadi apa yang disampaikan dalam artikel itu sudah tidak relevan lagi dengan realitas sosial yang ada pada masyarakat sekarang ini. Tentu saja, selain dimensi waktunya, kita harus memperhitungkan dimensi tempat yang dimaksudkan dalam artikel itu.

Bagi sebagian besar penikmat sastra dewasa ini yang berasal dari generasi tahun 80-an ke sini, istilah novel lebih familiar dibandingkan dengan istilah roman. Satu-dua-tiga teman yang saya inbox dengan pertanyaan, “Adakah roman dewasa ini?”, malahan balik bertanya, “Roman itu lebih tebal dari novel, bukan?” Tentu saja, jawaban itu menguatkan pernyataan saya di atas. Tapi, dapatlah kita maklumi ketidakfamiliaran itu sebab adanya beberapa alasan. Pertama, sejak tahun 90-an, pembelajaran sastra di sekolah sudah mengurangi kajian mengenai karya sastra klasik Indonesia yang didominiasi oleh karya sastra berbentuk roman, tetapi lebih menonjolkan pada kajian karya sastra Indonesia modern, terutama cerpen dan novel.[1] Roman klasik, seperti Sitti Nurbaya atau Salah Asuhan, sudah tidak menarik lagi bagi guru-guru untuk jadi bahan apresiasi muridnya sebab ada kesulitan dalam mengajarkannya, yakni sebab ketebalannya dan bahasa yang digunakannya sudah sangat berbeda dengan bahasa anak sekarang ini.

Kedua, di pasaran, jika kita perhatikan buku-buku yang dijual di toko-toko buku, buku-buku sastra yang dihasilkan para penulis kita dewasa ini didominasi oleh novel. Berbagai jenis novel dihasilkan para penulis kita, beberapa di antaranya memperoleh kepopuleran luar biasa sebab diangkat ke layar lebar. Artinya, pasar sendiri hanya menyediakan novel untuk dibaca, bukan roman. Jadi, anak-anak kita dan kita sendiri hanya bersentuhan dengan novel, novel, dan novel lagi.

Mengapa penulis-penulis itu tidak tertarik menulis roman? Mungkin mereka tidak memahami roman itu seperti apa, sebab selama ini, mereka hanya berkenalan dengan cerpen dan novel meskipun mereka membedakan cerpen dan novel pun sebatas pada panjangnya, jumlah katanya, atau banyaknya halaman. Dalam salah satu tulisannya, H.B. Jassin pernah membedakan roman dan novel. Menurutnya, roman itu menceritakan seluruh sisi kehidupan tokoh utamanya, sejak kecil, remaja, dewasa sampai si tokoh utama itu meninggal dunia[2]. Sebaliknya, novel itu menceritakan salah satu sisi kehidupan tokoh utamanya di mana akan terjadi perubahan atau peralihan nasib yang akan dialami si tokoh utama itu. Dari penjelasan Jassin itu, kita dapat memahami mengapa buku sastra klasik kita, yaitu Siti Nurbaya tergolong sebagai sebuah roman, sebab tokoh utamanya meninggal dunia. Akan tetapi, buku karya Armijn Pane berjudul Belenggu termasuk novel, bukan sebuah roman, sebab dalam Belenggu tokoh utamanya (Tono, Tini, dan Yah) tidak ada yang meninggal dalam cerita tersebut.

Jadi, masih adakah roman dalam khazanah sastra Indonesia modern?

Menurut saya, masih ada meskipun yang saya baru ketahui hanya satu judul, yaitu Namaku Teweraut. Roman ini karya Ani Sekarningsih dan memperoleh penghargaan Hadiah Sastra Buku Utama Tahun 2002 dari Menteri Pendidikan Nasional. Bahkan, roman ini memberi judul tambahan: Sebuah Roman Antropologi dari Rimba-rawa Asmat, Papua.

Wallahu a’lam

Mampang Prapatan, 19 Mei 2015

[1] Beruntungnya, pembelajaran itu masih menyinggung tentang hikayat Melayu lama, pantun, dan gurindam. Hikayat Melayu Lama pun biasanya hanya cuplikan atau potongannya saja yang dibahas.

[2] Beberapa definisi tentang roman dapat dicek pada Soetarno (1982), Van Leeuwen (dalam Nurgiyantoro, 2002), Virginia Wolf dan H.C Batos (dalam Tarigan, 1984).

, , ,

Satu tanggapan ke Masihkah Ada Roman dalam Khazanah Sastra Kita Sekarang?

  1. M Ridwan Adi P 18 September 2015 pada 19:07 #

    Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai sastra, menurut saya studi mengenai sastra merupakan ilmu yang
    menarik juga banyak hal yang bisa dipelajari di dalam pembelajaran bahasa.
    Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai beberapa sastra
    yang bisa anda kunjungi di http://www.lepsab.gunadarma.ac.id

Tinggalkan Balasan