Melampaui Era Pasca-Kebenaran

Beberapa tahun terakhir ini, hal ihwal seputar dunia maya (virtual) menjadi sesuatu yang tak asing bagi kita. Kini, internet dan media sosial menjadi teman akrab dalam aktivitas sosial masyarakat setiap hari. Digilitasi, tak dapat dimungkiri telah merangsek masuk dalam tiap aspek kehidupan kita dan merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Berdasarkan hasil survei Asosiasi jasa Internet Indonesia (APJII) dan poling Indonesia 2016, diperoleh data bahwa 132,7 juta orang atau lebih separuh separuh penduduk Indonesia (51,8 persen) telah menggunakan internet. (Kompas.com 24/10/2017). Sementara itu, Sri Widowati, Country Director Facebook Indonesia, juga membeberkan bahwa angka pengguna aktif bulanan jejaring sosial Facebook di Indonesia hingga Oktober 2016 sudah mencapai 88 juta jiwa. Angka ini naik 4 juta jiwa dibanding bulan terakhir 2015 silam dan niscaya sudah sangat jauh bertambah pada awal tahun ini. (Kompas.com 26/10/2016).

Animo dan keterlibatan luas masyarakat dalam berinternet dan bermedia sosial tentu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sendiri. Ruang publik kita kini diperluas tidak semata dalam ruang tradisional, tetapi juga dalam ruang virtual. Dalam dan melalui internet, segala pekerjaan dan urusan menjadi lebih efisien dan efektif. Namun, teknologi, bagaimana pun juga memiliki mata pisau ganda. Selain menerima banyak manfaat positif, masyarakat yang rajin berselancar di internet juga bisa memperoleh banyak dampak negatif. Kini, salah satu bahaya besar di era internet yang membayangi seluruh pengguna internet (netizen) secara global ialah apa yang disebut oleh para ahli sebagai politik pasca kebenaran (post-truth).

Politik Pasca-Kebenaran

John Mansford Prior, dalam kata penutupnya pada buku karya Otto Gusti berjudul Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi (2017: 166-180) mendefinisikan politik pasca-kebenaran sebagai “Budaya politik di mana hampir seluruh opini publik dan narasi politik di media telah terputus dari kebijakan publik, dari fakta-fakta nyata.” Landasan politik pasca-kebenaran bukan kebenaran faktual dan objektif, melainkan pada daya tarik emosi dan perasaan masyarakat. Yang diperhatikan adalah sensasi untuk memperoleh dukungan masyarakat banyak. Kata “pasca-kebenaran” sendiri, secara etimologis merupakan pengindonesiaan atas kata bahasa Inggris post-truth. Istilah ini menjadi populer terutama sejak akhir 2016 lalu ketika dipilih oleh Oxford Dictionaries sebagai word of the year. Selain dapat diterjemahkan sebagai “pasca-kebenaran”, hemat penulis, arti lain yang paling sederhana dan tepat dari kata post-truth adalah “kebenaran tanpa fakta” atau “kepalsuan yang direkayasa sebagai kebenaran.”

Dalam tulisannya berjudul “Pengorganisiran Merespon ‘Pasca-Kebenaran” di Harian Indoprogress (26/11/2016), Irwansah berpendapat bahwa kata ini menjadi populer karena aneka kejadian politik sepanjang tahun 2016 yang terjadi di kancah global. Ia mengambil dua contoh penting yakni Peristiwa Brexit dan Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS. Pada awal 2016 silam, rakyat Inggris melalui referendum memilih ke luar dari Uni Eropa. Insiden ini kemudian disusul dengan aneka drama pergantian kepemimpinan di negeri monarki konstitusional tersebut. Kemudian, lewat proses referendum (yang populer dikenal Brexit), Inggris mengambil jalur memisahkan diri dari blok politik perdagangan bebas regional Eropa.

Sementara itu, pada akhir 2016 lalu, Amerika Serikat, negara adidaya lain yang mengusung prinsip demokrasi liberal, memilih Donald Trump sebagai presiden baru mereka. Trump, yang selama kampanye menjanjikan Make Amerika great again dengan menempuh jalan proteksionisme dan konservatisme sektarian (berbasis rasial dan agama) menang secara mengejutkan. Di Indonesia, dua kasus ini tak jauh berbeda dari kasus pengadilan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dipicu oleh tayangan sepotong kliping video yang telah disunting secara tendensius pada You Tube.

Dari ketiga kasus di atas, tampak ada unsur kesamaan bahwa salah satu faktor penyebabnya ialah keterkecohan masyarakat dalam mengambil pilihan yang dilandasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan. Sentimen publik digiring berdasarkan keyakinan emosional dan bukan faktual. Masyarakat telah terjebak dalam hoax (berita bohong) yang diproduksi oleh dan untuk kepentingan tertentu. Kini, melalui media sosial seperti Facebook, You Tube dan Twitter pergerakan informasi menjadi cepat dan tak terkontrol. Lalu lintas informasi yang tak terkontrol ini juga menyebabkan begitu kencangnya Hoax dan Fake News dalam masyarakat. Hoax adalah manifestasi terbaru dari era pasca-kebenaran. Melalui hoax, rezim pasca-kebenaran dapat berdiri kokoh dan serentak dapat pula membawa masyarakat ke jurang kehancuran dan ancaman perpecahan.

Sikap Kritis Masyarakat

Terhadap fenomena mencemaskan ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana tindakan dan sikap kita dalam menghadapi kemelut politik pasca-fakta atau pasca-kebenaran ini? Pada pertanyaan ini kita dapat menjawab singkat: sikap kita harus jelas dan tegas yakni dengan setia pada kebenaran. Namun, bagaimana kita bisa setia pada kebenaran jika nilai kebenaran itu sendiri sudah dipelintir sedemikian rupa sehingga menjadi bias dan kabur? Bagaimana kita dapat bertarung di era pasca-kebenaran jika kebenaran dan kepalsuan seakan tak memiliki batas yang jelas; jika hoax dan fake-news justru dianggap sebagai data faktual?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini ada dalam sikap mental kita untuk berani berpikir dan bersikap kritis. Menurut Reza A.A Wattimena (2012:119) bersikap kritis berarti orang mampu mengambil jarak dari berita yang dijumpainya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian secara tepat atas informasi tersebut. Dalam berinternet, sikap kritis ini, hemat penulis dapat dilakukan dengan dua cara; pertama, sikap kritis dapat dibangun dengan senantiasa melakukan cross-check atau verifikasi terhadap pelbagai berita atau informasi yang ditawarkan oleh situs tertentu atau oleh jaringan pertemanan. Verifikasi bisa dilakukan dengan membandingkan isi informasi yang diperoleh dengan informasi dari sumber-sumber lain. Setelah mengecek secara cermat, barulah diambil sikap terhadap informasi tersebut. Prinsip cross-check dan verifikasi ini penting agar kita tidak secara gampang dan serampangan dalam membagikan informasi di media sosial dan dengan demikian justru menjadi agen hoax bagi yang lain.

Kedua, sikap kritis juga dapat terealisasi jika masyarakat tidak sekadar menjadi “viewer” melainkan menjadi “reader” di media sosial. Artinya, setiap berita yang ada harus dibaca secara mendalam dan kritis dan bukan sekadar dilihat sekilas, bahkan hanya memperhatikan pada bagian judul. Jika artikel atau informasi dibaca secara mendalam dan komprehensif maka masyarakat tentu akan dapat memilah dan memilih secara cermat dan tepat apakah informasi itu berisi fakta atau sebaliknya merupakan berita yang pasca-fakta (hoax).

Dua langkah di atas berlandaskan suatu sikap dan semangat dasar yakni sikap kritis terhadap realitas. Di era pasca-kebenaran ini, kebenaran dan kebohongan kini saling bertautan erat. Sesuatu yang benar bisa dianggap salah dan yang salah bisa diamini sebagai yang benar. Manipulasi dan distorsi fakta bukan tidak mungkin menjadi panorama yang akan selalu menyertai kita. Oleh karena itu, berpikir dan bersikap kritis harus menjadi budaya yang diterapkan oleh segenap elemen masyarakat. Dengan membudayakan sikap kritis kita optimis bahwa sindrom politik pasca-kebenaran yang kini melanda dunia secara global tidak akan dapat lagi menyeret kita terlalu jauh ke dalam jurang mautnya.

 

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan