melangkahi-luka-kisah-nyata-intoleransi

Melangkahi Luka

Melangkahi Luka

Kerukunan antar umat beragama menjadi kendala di masyarakat kita dewasa ini. Bertebarnya ujaran kebencian di media sosial setidaknya jadi bukti. Sadar atau tidak, kegemaran ganjil ini bisa melukai banyak orang. Kekhawatirannya adalah retaknya persatuan dan kesatuan bangsa yang sejak dulu dibangun di atas kebinekaan.

Buku ini berisi selusin kisah para tokoh yang berpengalaman dengan fenomena intoleransi di Indonesia. Di dalamnya terkandung kisah nyata. Ceritanya dekat dengan keseharian kita. Misalnya, kisah orang yang pindah agama, menikah dengan pasangan beda keyakinan, petaka para korban penutupan rumah ibadah, dan sebagainya.

Kisahnya dituturkan dengan renyah  dan sederhana. Dia jauh dari peristilahan rumit. Kalimat dan alineanya ditulis pendek-pendek. Ini sangat membantu pembaca untuk menikmati untaian cerita yang tersaji. Apalagi bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan tulisan panjang-panjang.

Sampulnya pun menarik. Paduan warnanya memikat mata; enak dilihat. Sayangnya, menurut saya, bungkus buku ini tidak mewakili isi. Kulit muka buku yang menawan, tidak diimbangi pesan yang kuat sebagai penghantar sebelum mendalami inti.

Bisa dikata, ini buku bernyali. Dia berani mengangkat tema-tema yang “pantang” dibicarakan. Seperti kisah Anggi Febryanto Hasiholan yang berkonflik batin dengan ibunya karena harus pindah agama. Ada juga tuturan berjudul, “Belajar Menjadi Lembut”; yang bercerita tentang “pertobatan” seorang mantan ketua FPI. Lain lagi paparan tentang umat agama “minor” semisal Ahmadiyah, Bahaa’i, Yudaisme di Indonesia, korban penyegelan Gereja, kekerasan karena suku, dan pengalaman mantan anggota NII (Negara Islam Indonesia).

Titik menariknya, buku ini tidak menghakimi. Dia tidak memutuskan benar dan salah. Cerita dirangkai hanya untuk menyibak fakta. Dia mencoba membuka mata kita pada kenyataan. Justru dari situlah kita diajaknya bercermin, memeriksa segala duga sangka, dan mencoba mengobati diri sendiri.

Buku ini jauh dari kesan teoritis. Dia hanya berkisah. Inilah yang menjadi kekuatan utamanya. Karya tipis ini memilih langgam yang pas dengan kebudayaan Indonesia. Kita adalah masyarakat yang “ngobrol”, belum berdiskusi teoritis, apalagi berdebat. Gaya bercerita memang cocok untuk masyarakat kita. Apalagi wacana intoleransi di Indonesia sesak oleh kaum intelektual yang biasanya filosofis dan rumit.

Senada dengan Obertina Johanis dalam tulisannya dibuku ini, “Menyentuh Rasa”. Perempuan korban penutupan Gereja ini mengatakan, “Masalah kemanusiaan tidak bisa didekati hanya dengan berlaku sebagai orang rasional.” Dikatakannya itu tidak menyentuh kedalaman rasa. Dengan bercerita, buku ini berusaha mengisi kekosongan para intelektual. Mereka yang sering fokus pada keilmiahan data, tapi sering lupa pada jeritan nurani korban.

Ada satu hal yang perlu mendapat perhatian serius perihal buku ini. Bacaan ini, menurut saya, lemah dalam memaparkan konflik psikologis para lakonnya. Padahal, kekuatan gaya menulis bercerita justru di situ. Penulisan ilmiah, yang dingin mati rasa, mustahil menghasilkannya. Bagi saya pribadi, bacaan ini belum berhasil menyampaikan pergumulan jiwa setiap tokohnya (kecuali untuk kisah “Menyentuh Rasa” dan “Surat Untuk Gie”). Cerita di dalamnya belum sanggup memainkan emosi pembaca. Sesuatu yang saya harapkan, sebenarnya.

Catatan penting lainnya adalah buku ini luput menguak muara intoleransi di Indonesia. Tak segar lagi jika mengatakan akar intoleransi hanya karena “mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Ujungnya, semua kisah dalam buku ini tak lebih curahan hati semata.

Terlepas dari semuanya, saya bahagia atas hadirnya buku ini. Ini memperlihatkan bahwa bukan hanya para cendikia yang berusaha memajukan kerukunan antar umat. Buku ini adalah suara akar rumput; medan di mana kerukunan umat beragama itu diperjuangkan. Suara-suara ini memberi harapan bahwa ada banyak orang yang sedang berjuang untuk kedamaian. Nada harmoni dan kisah cinta kemanusiaan masih berdendang merdu di tanah pusaka Indonesia. Damailah Ibu Pertiwi!

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan