Melawan Lupa dengan Bercerita?

Hal menarik yang pernah diungkapkan oleh Doni Koesoema Albertus dalam buku Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (2011) adalah tentang ‘lupa’. Dan dewasa ini, ‘lupa’ telah menjadi penyakit bagi masyarakat kita, meskipun hal itu terkadang merupakan hal manusiawi yang setiap orang tak bisa terlepas atau melepasnya.

Lupa akan sejarah, pengetahuan, sosial, dan budaya, bahkan sampai yang bersifat transendental merupakan penyakit yang akan menyerang identitas dan eksistensi manusia. Kita bisa menyatakan hal itu, sebab, pada dasarnya setiap manusia terkonstruksi dan terselimuti oleh segala aspek tersebut. Dampak ini akan lebih masif lagi apabila dari pihak-pihak tertentu atau kita sendiri, justru kerap lupa atau malahan berusaha melupakan segala hal. Jika itu terjadi, maka akan mengakibatkan kehancuran adab dan budaya manusia—bisa kita sebut masyarakat chaos.

Ironisnya, apa yang telah dinyatakan dan dikonsepsikan oleh  para pemikir, ilmuwan, cendekiawan, dan pengamat pendidikan (seperti, Doni Koesoema Albertus) dari masa dahulu sampai sekarang, pada realitas sosialnya, betul-betul terjadi. Kehancuran adab dan budaya manusia dapat kita lihat secara kasat mata pada pascamodernitas ini.

Melawan Lupa

Ihwal tentang ‘lupa’ itu, yang pada umumnya dihindari oleh masyarakat pada zaman terdahulu dengan cara mengatasinya, yakni bercerita. Cara ‘tradisional’ ini dilakukan oleh orang-orang zaman Yunani kuno maupun nenek moyang kita. Dengan bercerita, orang atau masyarakat tak hanya menyuguhkan segala ekspresi, gagasan, peristiwa, dan pengalaman. Lebih fundamental, dengan bercerita—meminjam pernyataan Doni Koesoema lagi—masyarakat dapat meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat istiadat, perilaku, tata cara, dan lain sebagainya, yang menjadi kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi yang lebih muda.

Namun, cara ini berangsur-angsur mulai memudar pula. Kultur bercerita yang dilakukan oleh orang zaman terdahulu dibandingkan dengan orang zaman kini pun sangat jauh dan berbeda. Hakikat ‘cerita’ pun telah tereduksi oleh perkembangan dan ‘kemadjoean’ zaman, baik secara etimologis, epistemologis, maupun semantis. Perlu diketahui, bahwa masyarakat pada kala itu, tak kehilangan akal dan kesadaran. Mereka sadar akan perkembangan zaman serta keterbatasan dari budaya lisan tersebut. Maka tak ayal, manusia mulai mengembangkan bahasa sekaligus budaya tulis.

Budaya lisan (bercerita) dan budaya tulislah, yang merupakan bagian dari pendidikan melawan lupa. Saya memberi sedikit contoh, seperti Homerus yang mengarang Ilias dan Odysseus, Mpu Kanwa yang mengarang Arjuna Wiwaha atau Mpu Tantular melahirkan kitab Sutasoma. Mereka itu, merupakan contoh pujangga kuno yang hidup di zaman berbeda, yang masih kuat dengan budaya berceritanya dan sadar akan kebermanfaatan, kebermaknaan, dan kebernilaian budaya tulis. Dan, sampai pada waktunya, kegiatan itu semua mulai ‘terkekalkan’ lewat buku mulai era Guttenberg.

Buku pun menjadi jembatan bagi kita agar tetap terhubung dengan segala hal yang telah berlalu. Ia menjadi duta pengabar dan pewaris sejarah-budaya. Akhirnya, buku mulai menjadi produk, alat pertukaran budaya, dan perluasan pengetahuan, yang pada perjalanannya turut menentukan dan menghasilkan berbagai produk budaya serta teknologi, seperti televisi, film, gedung-gedung bertingkat, alat transportasi, dan lain-lain. Pada intinya, seperti yang pernah diungkapkan Robert Escarpit (2008) bahwa buku merupakan alat untuk melipatgandakan parole (ujaran) dan sekaligus menyimpannya.

Politisasi

Seiring dengan hal itu, barangkali kita semua telah mahfum bahwa upaya pem-buku-an, pada dasarnya bahasa yang diujarkan telah menjadi obyek yang ditempatkan. Meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, ‘kata menjadi suatu benda dalam ruang.’ Pada saat itulah, sebenarnya kedudukan bahasa dapat ‘diposisikan’, ‘diletakkan’, diperindah’, ‘dibentuk’, bahkan sampai ‘dipolitisasi’, ‘diembargo’, serta ‘diringkas dan diringkus’. Gejala ini pun sedikit demi sedikit mulai menyebar ke berbagai lini, elemen, dan segala kehidupan manusia, seperti berpidato, beriklan, membuat film, sampai dengan cara bersikap dan bertingkah lakunya manusia.

Kebetulan, saat rezim Orde Baru, segala usaha dan upaya untuk mengobyekkan bahasa, katakanlah mempolitisasi bahasa, dilakukan begitu masif—tak mengecualikan pada masa kini. Bahasa mulai direkonstruksi, didekonstruksi, bahkan direduksi. Lewat Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam dalam buku Menggugat Historiografi Indonesia (2005), pernyataan tadi diwujudkan oleh rezim Orde Baru melalui berbagai media, seperti buku-buku pelajaran—khususnya buku sejarah, film, museum, monumen, dan peringatan-peringatan hari bersejarah.

Wujud tersebut merupakan suatu pelupaan terhadap bahasa, sejarah, serta sosial dan budaya sebenarnya. Ini yang pada hakikatnya, termasuk pelupaan terhadap segala memoria (ingatan). Entah disadari atau tidak, kita sebenarnya diajarkan rezim tersebut untuk lupa. Akhirnya, ‘lupa’ mulai membudaya hingga mengakibatkan krisis modernitas seperti yang kita jumpai pada kehidupan sehari-hari ini. Dan inilah, yang menjadikan abad kita, seperti yang diramal-ungkapkan oleh berbagai pemikir: “akhir dari modernitas” oleh Gianni Vattimo; “akhir dari ideologi” Daniel Bell; “akhir dari Narasi Besar” oleh Jean-Francois Lyotard; dan sampai dengan ungkapan pujangga kita, Sutan Takdir Alisjahbana, begini: “abad perubahan segala nilai”.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan