buku-cak-nun-kapal-nabi-nuh

Memaknai Hidup Lewat Nasehat Cak Nun

Sekarang seperti tidak ada orang di sekitar kita yang melihat atau menyadari bahwa mereka sedang mengalami kebusukan zaman. Saya khawatir kalau ternyata saat ini kita belum sampai ke puncak kebusukan sejarah itu. (hlm 298)

Inilah salah satu kutipan Cak Nun yang secara tidak sadar ditujukan kepada masyarakat Indonesia saat ini. Sebuah nasehat keras yang didasarkan keadaan bangsa dan negara yang sudah darurat. Baik kondisi politik, sistem, birokrasi apalagi moral terasa sangat parah. Sejatinya, keadaan ini telah terjadi semenjak puluhan tahun silam, seperti yang diucapkan tokoh Sundusin bahwa “Ketimpangan ekonomi, kerusakan kebudayaan, irasionalitas politik yang dibungkus demokrasi sudah terjadi, tetapi tidak semunafik dan sehiprokit sekarang.” (hlm 300).

Keadaan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Adakalanya kita harus belajar dari kerangka kehidupan manusia seperti konsep Imam Ghazali. Dimana tubuh manusia ibarat sebuah kerajaan. Anggota tubuh seperti tangan dan kaki diibaratkan sebagai rakyat yang patuh terhadap raja. Nafsu menjelma sebagai hulubalang kerajaan yang berfungsi ganda. Terkadang, menjadi pegawai yang korup, tapi bisa menjadi pengawal yang setia. Adapun akal manusia berperan sebagai penasehat raja. Sedangkan roh adalah sumber kekuatan kerajaan. Lantas, yang menjelma sebagai raja adalah hati.

Menilik hubungan antara nafsu, roh, akal dan hati, ditegaskan bahwa satu-satunya raja di dalam kerajaan manusia adalah hati bukan akal, sebab akal akan selalu mencari alasan pembenar akan apa yang dilakukan manusia. Dan di buku inilah, kita bisa menemukan ramuan nasehat yang merupakan perpaduan antara empat komponen besar dalam tubuh manusia, dimana hati bertindak sebagai raja.

Tidak heran, jika buku seri Daur keempat ini sarat akan makna hidup yang mudah dipahami. Ibarat pendekar yang menguasai beberapa macam aliran, Cak Nun berhasil menjelaskan masalah-masalah yang dibahas dengan caranya yang khas.

Baginya, menjadi manusia harus pintar hidup bersama. Sebab banyak orang pintar hidup padahal tidak pintar sekolahnya. Dan banyak orang yang pintar di sekolah tapi tidak pintar hidup. Inilah salah satu makna rahmatan lil ‘alamien yang merangkul semua golongan. Bukan satu golongan.

Lain halnya seputar pemimpin yang tamak akan kekuasaan. Cak Nun menyindir dengan keras kalaulah manusia yang bernafsu menjadi pemimpin, menurut Tuhan, zalim dan bodoh. Lebih bodoh daripada gunung, lebih dungu daripada benda, lebih konyol daripada materi. Bahkan bodohnya dua tingkat di bawah hewan ternak. (hlm. 24)

Sebagaimana kita ketahui bersama, justru saat ini banyak pemimpin baik dari kalangan eksekutif hingga legislatif, akan mengucapkan syukur atas terpilihnya sebagai pemimpin negeri dan cenderung menghalalkan segala cara untuk merebutkan kursi tersebut. Mulai dari black campaign atau kampanye hitam yang notabene lebih menjurus ke arah SARA dan bahkan dengan beraninya menyampul politik dengan agama, hingga ke arah mengalahkan lawan dengan cara pembunuhan karakter.

Sungguh riskan melihat keadaan ini. Sebab kekuasaan yang diperebutkan sebenarnya mengandung beban yang mesti ditanggung, bukan sebaliknya. Sebagai ladang mencari rezeki apalagi memperkaya diri sendiri.

Tentu Cak Nun di atas sangat tepat ditujukan para pemipin atau para kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat kasus korupsi. Kepada mereka yang berlomba-lomba mencuri uang rakyat. Bahkan, dalam konteks pilkada yang dibungkus selimut demokrasi saja, mahar politik adalah soal lumrah. Sekiranya orang-orang yang berkinginan menjadi pemimpin tetapi justru tamak kekuasaan ini membaca maksud sindiran Cak Nun, tentu bakal merasa hina. Sebab sejatinya orang-orang busuk ini adalah orang-orang pandai di antara manusia yang diperbudak oleh nafsu untuk menjadi pemimpin dan mengatakan jikalau pemimpin itu amanah. Seolah-olah yang mereka lakukan adalah akselerasi nilai dari amanah Tuhan. Padahal, tujuan mereka hanya sebatas materi dan mendapuk kekuasaan.

Seharusnya, mereka perlu merenungi ucapan Cak Nun bahwasannya banyak manusia berlomba menjadi pemimpin, bahkan pemimpin besar dan puncak, padahal sangat tidak memenuhi syarat untuk itu. Manusia berpacu untuk menjadi paling hebat, paling unggul, paling kuat dan tinggi. Padahal, kehebatan, keunggulan, kekuatan dan ketinggian, didistribusikan oleh Allah kepada semua manusia dalam keseimbangan dan perimbangan. Semua itu akan terjungkir dan saling mengambrukkan jika diperbandingkan dan dipertandingkan. (hlm. 22)

buku-cak-nun-kapal-nabi-nuh

Judul: Kapal Nuh Abad 21 (Daur IV)
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Juni 2017
Cetakan: ke-1
Tebal Buku: 446
ISBN: 978-602-291-403-7

Oleh karenanya, buku setebal 446 halaman ini, tidak lagi berisi ceramah yang cenderung berat untuk dibaca. Selain bahasa yang digunakan sangat santun dan ringan, percakapan antar tokoh di dalamnya mampu menarik pembaca untuk menikmati nasehat Cak Nun dengan lapang dada. Sehingga pembaca dapat melihat banyak permasalahan dari berbagai pendekatan. Salah satunya, terkait kafir dan mengafirkan yang disinggung dalam buku lainnya yang berjudul Hidup Itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem. Cak Nun sedikit menyentil kehidupan masyarakat yang saat ini mudah tersinggung isu SARA. “Kita tidak bisa menuduh orang lain kafir atau muslim, karena kita tidak punya data tentang orang lain. Soal mengafirkan atau mengakui sebagai muslim itu adalah hak preogratif Gusti Allah. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha menjadi muslim” (hlm 216).

Menilik ucapan tersebut, tentu Cak Nun tak serta merta mendalilkan tanpa dasar. Sebab, nasehat tadi sejalan dengan ayat Allah yang menyatakan bahwa manusia cenderung menilai dari sisi luar, sedang Allah mampu menilai dari segi batin.

Di buku tersebut, Cak Nun juga menyindir pelaku korupsi dengan mengambil i’tibar dari kisah ashabul kahfi dimana mereka tertidur selama 309 tahun di dalam goa. Selama rentan waktu ratusan tahun, tidak seorang pun menemukan mereka karena menganggap goa tersebut sebagai sarang anjing. Kisah pemuda beriman yang ditolong Tuhan dengan cara ditidurkan ini menularkan prinsip dan semangat agar manusia senantiasa kuat dalam menjalani hidup dan tidak terkontaminasi zaman yang penuh pencitraan. Saat ini, sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jika di zaman Fir’aun sudah dapat ditentukan pihak yang dzalim, berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini, sangat sulit membedakan mana yang dzalim dan mana yang alim. Contohnya saat koruptor tertangkap, langsung pakai peci. Dan selama sidang berlangsung selalu memutar tasbih.

Tentu sindiran Cak Nun ini bukan permasalahan koruptor yang memakai peci dan bertasbih secara tiba-tiba, karena kita tidak boleh menilai atau menghakimi manusia dari luar. Justru Cak Nun menyindir pencitraan yang dilakukan mereka. Upaya mengaburkan perilaku buruk inilah yang disebut sebagai pemalsuan. Sedang pemalsuan bagian dari kriminalitas.

Inilah nasehat-nasehat Cak Nun yang tidak menjemukan. Beragam nasehat yang disampaikan sesuai takaran namun ringan. Hampir seluruh buku atau ceramah yang disampaikan Cak Nun memang menggunakan bahasa bumi. Termasuk dalam buku ini.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan