perempuan-orgasme

Membongkar Mitos Orgasme

Pernahkah kita selama ini mendengar perempuan bicara di kafe, di publik, tentang dirinya?. Apalagi tentang orgasme, rasanya hal itu cenderung dianggap tabu, dianggap tak wajar, dan dianggap kurang etis. Padahal, hal itu wajar. Mengapa perempuan membicarakan kenikmatan seks misalnya dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan aib?.

Sementara bila seorang lelaki berbicara di depan publik tentang tubuhnya, perilakunya, sampai pada urusan tubuh dan seksualitasnya dianggap biasa-biasa saja?. Persoalan ini menjadi penting, tatkala di negeri kita, masih banyak orang beranggapan dan membenarkan mitos ini.

Dalam masyarakat patriarki, amat sangat susah sekali bagi perempuan di dalam menunjukkan suaranya, tatkala ini berhubungan dengan hasrat dan kenikmatan seksual.

Tema tentang orgasme misalnya, keperawanan, sampai pada tema problema rumah tangga perempuan cenderung menjadi tabu dibicarakan di publik. Mereka kaum perempuan bukan hanya ditutupi oleh perasaan malu, tetapi membenarkan mitos yang selama ini ada dalam kebudayaan patriarki, bahwa bicara hal yang intim terlebih perkara seksual dianggap sangat-sangat tabu.

Akhirnya mereka pun hanya menunjukkan hal ini pada surat pembaca di suatu koran, di majalah, dan rubrik-rubrik konsultasi keluarga, itupun dengan nama yang disamarkan dan disertai berbagai editan kata-kata yang dianggap tak layak tampil atau terlalu vulgar.

Beruntung kita mendapati buku bertajuk the ‘O’ project. Buku yang ditulis oleh Firliani Purwanti ini banyak mengulas dan menguliti, mengapa mitos dan tema seksualitas perempuan begitu tabu dibicarakan di negeri kita.

Firli mulai ragu dan mencari mengapa perkara orgasme di indonesia cenderung sepi dari perbincangan. Orang masih menganggap urusan orgasme perempuan adalah urusan yang tak layak diperbincangkan, dan cenderung tabu. Selama ini, perempuan di Indonesia begitu banyak dibelenggu bukan hanya oleh ketidaktahuan mereka mengenai pentingnya orgasme, tetapi juga dibelenggu oleh tradisi atau adat.

Firli mencoba menelusuri melalui dokumen yang ada di buku, melalui wawancara, dan berbincang dengan para perempuan di negeri ini dari berbagai wilayah. Hasilnya mengejutkan, rata-rata perempuan di indonesia pernah merasakan sunat perempuan. Mereka meyakini, hal ini bukan hanya menjalani laku tradisi, tetapi juga menjalani perintah agama.

Dari sisi agama, sunat perempuan sendiri menurut mahzab Syafii bersifat wajib. Sunat perempuan dilakukan untuk mengendalikan hasrat seksual perempuan. Dari sisi ini, kita melihat bukan hanya tradisi, tetapi agama memang ikut serta dalam mengendalikan hasrat seksual perempuan.

Memang, di indonesia belum separah yang terjadi di Afrika yang melakukan sunat perempuan sendiri bahkan sampai meninggal dunia. Tentu saja ini terdengar ekstrem dan berlebihan, ketika perempuan diperlakukan sedemikian rupa, sedangkan lelaki sendiri cenderung tak mengalami perlakuan serupa untuk mengendalikan hasrat seksualnya.

Firli juga banyak membincangkan tema lain yang selama ini dianggap tabu, seperti keperawanan, Orgasme, hingga Civic Orgasme. Menurutnya, tema keperawanan penting dibincangkan sebab selama ini, kaum perempuan sendiri merasa bahwa ketika keperawanan mereka direnggut mereka lebih banyak bunuh diri dan merasa tak berarti dan tak berhak menjalani hidup karena sudah dianggap sebagai makhluk yang tak suci.

Hal ini berbeda dengan  kaum lelaki yang sulit mendeteksi apakah ia seorang jejaka atau seorang yang sudah tak jaka. Sebab laki-laki lebih tak terlihat ketimbang perempuan. Banyak contoh kasus, pernikahan begitu cepat hancur karena tahu bahwa perempuan yang dinikahi ternyata tak perawan atau dianggap sebagai telah dinodai.

Padahal, dari sisi kesehatan, keperawanan perempuan tak hanya bisa dilihat dari keluarnya darah saat hubungan seksual, tetapi juga ada perempuan yang memiliki selaput yang begitu tipis, sehingga darah yang keluar tak begitu tampak.

Bila hal ini terjadi pada perempuan, laki-laki cenderung langsung meninggalkan perempuan yang mereka nikahi itu. Hal ini menjadi tak adil bagi perempuan, sebab perempuan bisa saja tak suci karena diperkosa, karena pergaulan bebas, dan sebab lain yang bisa jadi tak diinginkan oleh perempuan.

Bila tema keperawanan tak lekas berakhir, maka pihak perempuanlah yang cenderung dirugikan dalam hal ini. Mereka mesti menanggung bukan hanya malu, tetapi juga putus asa menjalani hidup. Akhirnya banyak dari mereka justru terjun ke dunia gelap yang semakin membuat mereka semakin tersingkirkan dari kehidupan masyarakat.

Otoritas terhadap tubuh perempuan, mesti diwacanakan. Kaum perempuan mesti berdaulat terhadap tubuh mereka sendiri. Mereka tak perlu lagi malu, apalagi merasa tabu membincangkan apa yang menurut mereka menjadi kebutuhan dasarnya. Orgasme bukan hanya menjadi hak wanita, tetapi juga menjadi kebutuhan mereka. Sebab mereka layak untuk mendapatkan kepuasan seksual sebagaimana kaum lelaki.

Buku ini telah membuka lebar wacana mengenai orgasme, seksualitas dan juga tema-tema yang sering tabu dibincangkan oleh perempuan. Penulis berpengharapan, buku ini bukan hanya memberikan wacana dan bekal bagi perempuan, melainkan membantu para perempuan semua untuk mendapatkan haknya, salah satunya adalah mencapai orgasme.

Buku ini bertujuan agar setiap perempuan tahu, apa itu orgasme, bagaimana mendapatkannya, dan membuat keputusan yang bertanggungjawab berdasarkan pengetahuan tentang orgasme yang utuh dan kritis.

Sebagai buku yang mengulas orgasme, buku ini layak dikoleksi dan dibaca oleh laki-laki maupun perempuan, agar kelak mereka mampu mencapai orgasme yang maksimal ketika mereka menjalani hubungan rumah tangga (menikah).

Sayang sekali ketika di awal buku ini penulis membincangkan sunat perempuan, penulis cenderung tak utuh dalam bersikap. Penulis juga tak memaparkan secara detail mengenai informasi, kasus, dan pemahaman lebih jauh mengenai sunat perempuan ditinjau dari sisi agama. Tentu saja bila sunat perempuan di Indonesia tak begitu bahaya, apa implikasinya bagi orgasme perempuan indonesia?. Bila tak berimplikasi lebih jauh, tentu saja wacana sunat perempuan akan tetap berlangsung di Indonesia.

Padahal di buku ini juga diungkapkan pernyataan Lis Marcoes yang menilai bahwa bagaimanapun juga sunat perempuan di Indonesia membawa implikasi kepada mengendalikan dorongan seksualitas perempuan Indonesia (h.18). Saya pun seperti merasa tak klimaks membaca buku ini. Meski demikian, data dan referensi di buku ini patut mendapatkan jempol karena berani membuka sesuatu yang selama ini dianggap tabu oleh kebanyakan perempuan di Indonesia.

*) Penulis  buku Penjara Perempuan (2014), tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan