sumber gambar dari www.creativitypost.com

Membuat Cerita yang Menarik

Berita Buku – Menarik itu relatif. Jika ada seseorang yang bilang kalau Harry Potter adalah seri anak-anak yang terbaik, maka bisa juga ada yang tidak menyukainya. Kalau ada yang tidak suka dengan novel-novel Ahmad Tohari, pasti ada saja yang suka. Semua sebenarnya tergantung dari kepuasan pembaca.

Lalu bagaimana caranya untuk membuat cerita yang menarik? Andrew Stanton, orang di balik kesuksesan Toy Story, film animasi besutan Pixar yang dirilis oleh Disney, membagi tips untuk menulis cerita yang menarik. Dia adalah salah satu dari tim penulis cerita untuk film anak-anak itu, yang sudah meraih berbagai penghargaan—dan kalau menurut saya sendiri, tidak bosan untuk menontonnya berkali-kali. Meskipun tentu saja film animasi tidak sama dengan karya tertulis lainnya; animasi mempunyai gambar yang bisa bergerak, penuh dengan warna dan lagu-lagu, sedangkan cerpen maupun novel tidak, namun pada dasarnya film animasi mempunyai naskah terlebih dulu sebelum dibuat.

Simak beberapa tips dari Andrew Stanton berikut ini.

Agar seseorang tertarik, maka orang itu harus peduli terlebih dulu. Begitulah menurut Stanton. Dia menyebut bahwa orang yang tiba-tiba berhenti pada satu saluran di televisi setelah sekian lama menari, maka orang itu sebenarnya tertarik pada desain, dan bukanlah suatu kebetulan. Jika diterapkan dalam cerpen maupun novel yang ingin kamu tulis, maka hal yang harus kamu lakukan adalah membuat pembacamu peduli dengan desain yang kamu buat. Misalnya, dari judul terlebih dulu.

Membuat karakter. Buatlah seorang karakter yang mempunyai motivasi, “sebuah tujuan utama yang mereka coba raih secara tidak sadar”. Stanton menggambarkannya melalui tokoh Woody dalam Toy Story I. Woody ingin selalu melakukan hal terbaik untuk pemiliknya, Andy.

Dan jangan lupa, buatlah karakter itu menjadi disukai. Awalnya, Woody mungkin terlihat egois, tapi lama kelamaan keegoisannya berkurang dan dia bahkan mau bekerja sama dengan Buzz untuk kembali kepada Andy. Hal itulah yang membuat penonton menjadi suka pada Woody.

Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari membuat tokoh Srintil yang suka menari, akan tetapi sebenarnya dia hanya ingin menjadi seorang ibu yang mempunyai anak. Meskipun tentu saja akhirnya dia menjadi gila, perjalanan motivasi si Srintil tetap menarik untuk diikuti sampai akhir cerita.

Menurut Stanton, “Jika hal-hal menjadi statis, cerita pun mati, karena hidup ini tidak pernah diam.” Seperti kehidupan yang tidak pernah bisa ditebak. Tentunya hal ini akan membuat pembaca menjadi selalu penasaran dan khawatir, dan ingin selalu mengikuti cerita sampai akhir.

Maka buatlah hal-hal dalam cerita tidak diam. Konflik satu berakhir, muncul lagi konflik yang lain. Dalam Toy Story I, selalu ada saja halangan yang harus dilalui Woody dan Buzz untuk kembali pada Andy. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, semuanya seolah-olah akan berakhir—Srintil kelihatannya akan dinikahi, dan hal ini membuatnya bahagia karena dia akan menjadi ibu seutuhnya. Namun ternyata dia malah dijual, dan membuat pembaca menebak-nebak apakah Srintil akan bunuh diri? Tidak. Srintil dijadikan gila di akhir cerita.

“Tema yang kuat selalu hadir dalam cerita yang diceritakan dengan baik”. Maka, sebelum menulis, ada baiknya untuk menentukan tema terlebih dulu. Dalam semua film-film Toy Story, menurut saya, tema sebenarnya adalah kembali; kembali pada Andy, anak pemilik mainan. Sedangkan dalam Ronggeng Dukuh Paruk yang mempunyai beragam tema, menurut saya, tema sebenarnya adalah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dari sudut pandang rakyat kecil. Tema yang beragam itu saling berhubungan itu membentuk semacam ikatan dan menjadi satu kesatuan cerita yang kuat.

“Cerita terbaik menanamkan rasa kagum”. Maka, buatlah pembaca kagum dengan cerita Anda. Dalam Toy Story, yang membuat penonton merasa kagum adalah ceritanya, karena diceritakan dari sudut pandang mainan kecil yang dianggap diam saja. Sedangkan dalam Ronggeng Dukuh Paruk, yang membuat saya kagum adalah latar cerita dan karakter si Srintil.

Stanton mengatakan bahwa pada tahun-tahun pertama mereka tidak berhasil karena peraturan mereka sendiri. Yakni tidak ada lagu, tidak ada cerita cinta, dan tidak ada sebuah desa yang bahagia. Kemudian, mereka “melanggar” peraturan itu dan berhasil membuat sebuah film yang bagus. Menurutnya, “…bercerita mempunyai pedoman tertentu, bukan peraturan yang harus diikuti dengan keras”.

Untuk membuat sebuah cerita yang menarik, jangan terlalu kaku ketika menulisnya. Jangan menulis dengan peraturan semisal “si tokoh utama harus mati”, atau, lebih ekstrem lagi, membuat cerita disesuaikan dengan pengalaman hidup kita sendiri tanpa ditambah-tambahi. Jika ingin menulis kisah inspiratif, hal itu bisa dilakukan. Tetapi, jika ingin menulis novel atau cerpen yang pada dasarnya adalah karya fiksi, maka hal itu sebaiknya dihindari. Sebuah cerita sebenarnya sudah mempunyai alur sendiri ketika ditulis, tinggal di tangan sang pengaranglah bagaimana cerita itu akan berjalan dan berakhir.

Sumber:

ted

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan