tokoh-tokoh-indonesia

Memerkarakan Tokoh

Seorang tokoh, selalu dipandang sempurna, tanpa cacat. Sering, perasaan demikian jamak dimiliki oleh kita. Padahal, saat kita memandang demikian, kita sudah menghilangkan rasa manusiawi kita. Seorang manusia, tentu tak bisa lepas dari cacat, dari khilaf, dari noda. Bahkan seorang nabi sekalipun mengakui, mereka hanyalah manusia seperti kita, hanya saja Tuhan membersihkannya. Dan kita tahu, seorang tokoh di mata kita, bukan lagi nabi, bukan malaikat.

Akan tetapi, kecenderungan yang dibawa oleh masyarakat kita selama ini, seorang tokoh tak boleh kurang, tak boleh cacat. Akibatnya, kita jadi terluka, tak objektif, cenderung menilai yang baik berlebihan. Disinilah, dilema kita saat memerkarakan tokoh. Inilah yang bisa kita baca saat Goenawan Mohamad menuliskan tokoh-tokoh di buku Pokok dan Tokoh (2011).

Hampir semua tokoh di buku ini nampak selalu sempurna, nyaris tak ada cacat, dan luka. Kita bisa membaca barisan kalimat-kalimat dipaparkan untuk menggambarkan Kartini. Diantara kalimat pujian itu ada pada sebaris kalimat berikut : Yang ingin saya katakan ialah bahwa bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis. Seolah-olah, Kartini sendiri merupakan seorang pembawa obor bagi feminisme di Indonesia. Bahkan di tulisan lain di buku ini saat Goenawan menulis Esai bertajuk Monginsidi, Chairil, Kartini. Ketiganya ditarik sisi menariknya saat ketiganya menjadi tua dan mati. Itu pula yang dilihat dari sosok Kartini. Ia seorang pejuang, ada ketidakberdayaan, atau barangkali persona yang justru dihadirkan Barat pada kita. Terlepas dari semua itu, akan susah menemukan bagaimana Kartini dipandang sebagai sosok yang cacat atau tak sempurna.

Apalagi saat kita membaca Hatta, kita akan merasakan nampak sekali Hatta sebagai sosok panutan, idealis, serta berpanggul buku. Kecintaan akan buku tak bisa ditampik dari cerita Hatta disini. Meski di tulisan lain saat menceritakan Syahrir, Goenawan memaparkan kegetiran serta sisi manusiawi Hatta yang lebih memilih anak kecil ketika di Banda Neira daripada buku-bukunya yang enam belas kotak, sebelum diserang oleh Jepang. Enam puluh tahun sesudah itu, Hatta menyesali peristiwa itu (h.18).

Jangan berharap mendengar kisah Hatta saat ia bersiasah dengan Belanda ketika menghadapi pemberontakan PKI di Madiun 1948. Atau ketika Hatta menjadi wakil perundingan di Den Haag saat menjadi utusan KMB (Konferensi Meja Bundar) saat mewakili Indonesia yang dicaci habis Tan Malaka. Kita tak bakal mendapati cerita itu. Tapi disinilah letak sudut pandang. Sejarah, begitu pula selalu memerlukan sudut pandang sebagai kacamata. Sebagai semacam teropong untuk melihat lebih dekat, tapi cenderung tak holistik, tak utuh. Disinilah, kita mendapati manfaat dari mempelajari sejarah, hingga kita tahu, dari sudut mana orang memperkarakan peristiwa, begitu pula saat kita memperkarakan tokoh yang sudah mati (menjadi sejarah).

Baca juga:

Bila di tiga tokoh awal Hatta, Kartini, dan Syahrir kita disuguhi cerita heroisme serta kegetiran seorang tokoh. Kita diajak untuk membaca Soekarno dan Pancasila yang dihimpunnya, yang digalinya. GM menyebut di halaman 33 bahwa dewasa ini cita-cita menegakkan Negara Islam mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Membaca cara GM menulis Soekarno seperti merefleksikan bagaimana sebuah cita-cita negara islam akan menjadi fenomena yang bakal terus menguat hingga mengakar kalau tidak diluruskan. Kita jadi ingat peristiwa di bulan Mei 2017 saat pemerintah hendak membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mengusung cita-cita sama yakni Daulah Islam. Ada memang pemaksaan yang tak membaca kembali kalau pancasila hanyalah semacam pandangan, atau alat untuk menjadikan kita satu visi dalam berkehidupan bernegara.

Di cerita tokoh-tokoh semacam Soekarno, Gus Dur, atau Nurcholis Madjid berkisah tentang ciri-ciri masing-masing orang. Kita diajak untuk menilai Gus Dur dari sisi humor, jenaka, serta cara dia menanggapi dunia di sekitarnya. Sedang dari Nurcholis Madjid kita diajak untuk menilai pribadinya yang tenang, halus, dan arif.  Begitu pula saat kita menyimak kisah Soekarno hingga Rendra.

tokoh-tokoh-indonesia

Judul Buku : Pokok dan Tokoh
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Tempo dan PT Grafiri Press
Cetakan : 2011
Halaman : 76 Halaman
ISBN : 978-979-9065-40-7

Dalam riwayat tokoh, kita sering diajak untuk melihat siapa si tokoh, sifat hingga pribadinya. Sedangkan Goenawan lebih banyak melihat pokok yang condong pada semacam kharisma, persona, ia membahasakan ini dengan kalimat membeku tapi tak menetap. Pada titik ini kita boleh memberi tepuk tangan kepada GM yang mampu menguak sisi yang membuat kita tetap takjub kepada tokoh yang dikisahkan oleh GM.

Tetapi sekali lagi, apa yang kita baca dari buku Pokok dan Tokoh (2011) karya GM ini hanyalah serpihan, secuil, petite =kecil. Dan tentu saja kita boleh tak bersepakat, tak sependapat, atau sekadar memberikan sedikit tambahan. Untuk itu suguhan GM sebagaimana kata pembuka di buku ini, bolehlah kita telaah lebih lanjut.

Pada akhirnya, buku yang dihadirkan oleh GM ini adalah sejumput kisah dari tokoh-tokoh yang ada di Indonesia, tentu saja masih banyak lagi tokoh yang lainnya. Dan tentu saja kita bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi sisi lemah Soekarno misalnya bisa kita lihat sebagai semacam humor cerdas seperti saat Rosihan Anwar menyuguhkan kisah Soekarno yang agak saru (kurang sopan) diceritakan dengan jenaka, manusiawi.

Begitu pula saat kita menemui wawancara Pramoedya yang menceritakan betapa mentalitasnya berubah menjadi pemberani, tak lagi penakut, serta penuh daya juang justru saat ia berhasil mengawini encik Belanda. Bagi saya, cerita-cerita itu manusiawi, menyajikan yang kurang, yang cacat, tanpa memandangnya utuh sebagai sebuah kecacatan. Saya tak menyebutnya sebagai pelajaran tetapi sebagai bagian dari sebuah cerita utuh tentang kehidupan manusiawi kita, bagian dari sejarah yang mesti ditulis.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan