memperbaiki-televisi

Memperbaiki Dunia Televisi Kita

Dunia televisi bukan lagi menjadi sebuah dunia yang asing bagi kita. Bila dahulu tak setiap rumah tangga memiliki televisi, kini hampir setiap rumah memiliki televisi. Televisi telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Saya masih memiliki memori melihat televisi di rumah tetangga, dengan rombongan adik-adik saya untuk menikmati film kesukaan saya setiap minggu pagi. Kini televisi bukan lagi sebuah kemewahan, setiap keluarga serasa menjadikan televisi sebagai sebuah kebutuhan yang penting dalam keluarga kita.

Kata “penting” disini diartikan sebagai sesuatu yang harus dihadirkan sebagai keluarga yang lain. Televisi telah menjadi sebuah keluarga baru di sebuah keluarga Indonesia. Lalu bagaimana mungkin kita akan menafikkan peran dan efek televisi sebagai sebuah keluarga baru di rumah kita?. Buku yang ditulis oleh Heru Effendy yang berjudul Berhenti Jadi Penonton Televisi (2014) ini menjelaskan bagaimana pengaruh televisi dalam keluarga kita. Televisi mau tidak mau harus dipandang sebagai dunia yang penuh kerumitan, penuh jaringan korporasi besar dan penuh dengan kepentingan di dalamnya. Penulis menilai bahwa televisi tak hanya sekadar menjadi sebuah media pengiklan terbesar dalam ruang keluarga Indonesia. Sebab dengan jangakuannya yang luas dan mendalam, televisi telah masuk ke dalam ranah paling privat di dalam keluarga di rumah kita.

Televisi telah memberikan provokasi, memberikan godaan dan rayuan melalui iklan untuk membuat etos konsumtif tak pernah habis. Dari urusan komunikasi, sampai kebutuhan paling privat sekalipun, dari ruang tamu, sampai ruang kamar mandi kita. Kita tak bisa melepaskan begitu saja pengaruh televisi melalui iklan yang ada di dalamnya. Pendapatan dan genjotan ini pun dipengaruhi oleh program-program yang dihadirkan di ruang televisi. Di titik inilah dunia televisi kita masih sekadar bernafsu dan mengisi programnya yang hanya mempertimbangkan sekadar rating tanpa memperhatikan aspek pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat. Masyarakat seolah dicekoki oleh acara-acara yang tak mendidik dan membuat dunia mereka masuk dalam hiperrealitas. Penulis mengisahkan bagaimana kisah reality show dan talk show kini sudah menjadi sebuah acara yang tak mendidik masyarakat dan membuat harapan palsu. Masyarakat menjadi berharap dan bermental malas. Acara-acara seperti kuis berhadiah dan acara renovasi rumah dadakan kemudian membuat kaum miskin berharap berlebihan dan membuat mereka justru tak bergerak dan bekerja. Selain itu, porsi program televisi lebih mengarah kepada hiburan semata. Televisi kemudian berubah dari perannya sebagai media untuk mendidik dan mencerdaskan pemirsanya. Meski demikian, ada beberapa televisi yang mencoba menjadi sebuah media untuk memberikan pencerdasan kepada masyarakat melalui program tv pemilu misalnya, atau talk show politik. Akan tetapi yang saat ini terjadi televisi masih tergantung kepada siapa pemilik modal dan kepentingan penguasa. Para perancang program dan pemilik televisi menurut penulis mesti lebih memperhatikan aspek dan pengaruh televisi yang begitu besar, sebab merancang acara televisi membutuhkan kepekaan sosial yang tinggi (h.10).

Sebagai negeri yang berpenduduk cukup besar dan Negara demokrasi, televisi memegang peranan penting dalam media pencerdasan masyarakat. Kita melihat hal ini sampai sekarang, paska pemilu presiden, televisi kemudian condong kepada dua kubu, dan kalau kita cermati, televisi sampai sekarang masih menayangkan berita tak berimbang yang seolah mengerucut kepada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Pada posisi inilah, pemerintah melalui televisi bisa menjadikan televisi sebagai medium dan ujung tombak komunikasi politik pemerintah dalam menangani semua isu sosial (h.62).

Menurut penulis ada beberapa cara agar kita tak hanya menjadi penonton melainkan menjadi publik yang bisa mengontrol televisi, dan mengurangi dampak negatif televisi. Pertama mendampingi anak kita menonton televisi, kedua membatasi siaran televisi, ketiga berhenti menonton televisi, keempat menonton siaran pada jam-jam yang ditentukan sendiri oleh kita. Selain keempat cara tersebut, sebagai praktisi yang bergiat di dunia pertelevisian, penulis menyarankan bahwa KPI sebagai lembaga yang mengontrol tayangan televisi kita lebih berfihak kepada kepentingan masyarakat, bukan hanya sekadar berfihak kepada kepentingan penguasa dan kepentingan penyiaran semata. Selain itu, penulis menyarankan bahwa pihak korporasi dan pemegang saham pertelevisian perlu untuk melakukan gerakan bersama yakni melalui orangtua melakukan proteksi dan control terhadap siaran televisi yang tak mendidik. Penulis menilai tentu orangtua pemilik televisi tak ingin anak-anak mereka terpengaruh dampak negatif televisi. Televisi memang telah masuk begitu jauh dalam alam bawah sadar keluarga Indonesia. Untuk memperbaiki dunia televisi itulah, penulis menyarankan agar kita menjadi pengisi dan pembuat film yang mendidik dan mengembangkan kreatifitas anak-anak kita. Sebab memperbaiki dunia televisi juga harus dimulai dari ruang terkecil yakni di ranah keluarga kita masing-masing. Buku ini tak sekadar memberikan deskripsi dan dampak negatif televisi, tetapi juga memberikan resep dan antisipasi agar kita bisa lebih mengontrol dan mengurangi dampak negatif yang dihadirkan televisi.

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Satu tanggapan ke Memperbaiki Dunia Televisi Kita

  1. pondokinfo.com 4 Juli 2016 pada 11:15 #

    Sebagai orangtua yang keduanya bekerja agak sulit untuk mendampingi dan membatasi anak untuk menonton tv karena dari pagi hingga malam, kebanyakan anak sekarang didampingi oleh asisten rumah tangga yang cenderung hanya “menjaga” bukan mendidik…justru biasanya anak2 nonton film2 tidak bermutu karena mengikuti ART (meskipun ada jg ibu2 rumah tangga yang “mengajarkan” anaknya menonton acara tidak bermutu).
    Untuk meminimalisir kecanduan anak thdp TV (terutama yang diasuh oleh ART) ada baiknya orang tua membelikan buku2 atau mainan edukatif sehingga mereka punya kegiatan yang lebih menyenangkan daripada menonton TV. Untuk ibu2 rumah tangga yang “kecanduan” sinetron/telenovela/seri India ataupun acara tidak mendidik lainnya sebaiknya sering diberi penyuluhan dan sosialisasi dampak buruk dari tayangan televisi yang tidak mendidik terhadap perkembangan anak.

Tinggalkan Balasan