teori-marxisme

Menafsirkan Marxisme dan Setelahnya

Teori ideologi bermula dari marxisme yang mengutarakan bahwa gagasan tidak pernah netral. Dalam hal ini marx membagi dua hal pokok yakni basis struktur (cara manusia memenuhi kebutuhan hidup) dan suprastruktur (sistem politik, sosial, agama, filsafat,seni,budaya). Basis struktur akan selalu menentukan suprastruktur. Sejumlah pemikir marxis berbeda pendapat mengenai kata “menentukan” ini yang menimbulkan berbagai penafsiran dan memunculkan teori ideologi kontemporer.

Jauh sebelum para pemikir modern berpendapat bahwa ideologi adalah sebuah tameng atau tabir yang menutupi realitas, marx berpendapat bahwa ideologi adalah sebentuk ilusi kesadaran (in all ideology men and their circumstances appear upside down as in a camera obscura). Marx menekankan realitas materi sebagai titik tolak dari ilmu pengetahuan tapi realitas materi itu juga dipahami sebagai sejarah yang dibuat oleh manusia sehingga mudah diubah dengan aktivitas manusia itu sendiri, dengan kata lain tidak ada manusia yang bisa melepaskan kondisi sosialnya.

Buku Setelah Marxisme; Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer garapan Donny Gahral Adian mencoba mengajak kita menelusuri benang merah dan garis panjang sejarah teori ideologi kontemporer yang saat ini ramai dibicarakan dalam bangku-bangku akademik maupun dalam dunia wacana pergerakan di dunia ini. Buku ini menjabarkan dan menafsirkan sejumlah perjalanan panjang dari teori marxisme yang diangggap sebagai awal mula teori ideologi hingga pada para pemikir yang menafsirkan teori marxis dan melengkapinya.

Untuk memudahkan pembaca memahami dan menganalisa buku ini, buku ini dibagi menjadi tiga sub tema besar yakni kekuasaan, subjek dan diskursus. Pembagian ini juga merupakan jalan termudah membaca dan memahami teori ideologi kontemporer. Dalam sub pertama kekuasaan dibagi menjadi empat kategori yakni Karl Marx yang memaknai ideologi sebagai satu kesadaran palsu yang perlu dibongkar  karena menutupi suatu realitas, sedangkan Lukacs membaca bahwa ideologi adalah praktek kesadaran parsial lebih lanjut. Ia menjabarkan bahwasannya ada perbedaan yang nyata dan parsial antara kesadaran para kaum proletariat dengan kesadaran kaum borjuis yang menginginkan melanggengkan kekuasaan atau status quo. Berbeda dengan Gramsci yang menafsirkan perlu satu hegemoni untuk menjalankan satu ideologi. Sehingga, hegemoni inilah yang tanpa sadar membuat para kaum proletar dan pekerja tidak sadar bahwa mereka dihegemoni. Oleh karena itu, Gramsci menawarkan satu kontra hegemoni yang bisa menangkal hegemoni dari kaum kapitalis tersebut. Sedangkan Theodor Adorno menawarkan dialektika negatif. Dialektika negatif diperlukan dalam filsafat kritis, sebab dialektika pada masa sebelumnya tidak cukup dialektik, karena dialektika berarti sesuatu yang positif dengan cara negasi.

Menurut Adorno, gagasan dialektika lebih mengarah pada penutupan daripada keterbukaan. Tiga serangkai Hegelian “tesis-antitesis-sintesis”  dipandang Adorno sebagai penutupan. Adorno beranggapan dialektika semestinya adalah “negasi dari negasi”. Sehingga membuat dialektika terbebas dari sifat-sifat afirmatif, tanpa mengurangi determinasinya, dengan cara mempertahankan ide kontradiksi.

Pada sub yang kedua, kita diajak menelusuri konsepsi ideologi dari diri manusia sebagai subjek. Ada tiga pemikir dalam buku ini yang dikategorikan sebagai pemikir yang mendefinisikan ideologi sebagai subjektif diantaranya Louis Althusser, Slavog Zizek, dan Terry Eagleton. Menurut Althusser, bahwa sebenarnya, tanpa sadar ideologi bisa diartikan sebagai sesuatu yang tersembunyi, yang tanpa sadar mempengaruhi kita dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, gagasan-gagasan yang ditranformasikan yang secara tidak langsung memanggil kita atau bahkan mempengaruhi kita. Althusser menyebut ini sebagai apparatus ideology. Secara sederhana ini bisa digambarkan dengan peristiwa ketika seseorang di jalan memanggil orang yang belum kenal dengan menyebut “Hei, you there”.

Sedangkan Zizek memandang ideologi adalah sesuatu yang kita tidak mengetahui, tapi kita melakukannya. Zizek membaca, bahwa saat ini, tanpa sadar kita adalah subjek sinis yang artinya kita tetap berpegang pada situasi kesalahan, dan tidak menolaknya. Ini yang dipandang Zizek sebagai subjek. Bahwa ideologi adalah cara cara individu memahami hubungan mereka dengan masyarakat. Menurut Zizek, kita saat ini terbagi dalam tiga fase kesadaran menafsirkan realitas dalam tiga hal diantaranya imaginary, symbolic, dan real. Pada tahap ketiga inilah kita akan menemukan kesadaran kita dan pembacaan kita sebagai subjek yang telah benar-benar menemukan realitas yang sesungguhnya.

Lebih lanjut Terry Eagleton membaca  bahwasannya ideologi adalah produksi imajiner bagi subjek. Melalui teks –teks ideologi di produksi dan teks bukanlah solusi dari ideologi. Eagleton juga memandang sastra akan mengambil jarak dari ideologi, dan pada tingkat selanjutnya membuat semua bentuk ideologi terlihat bagi subjek. Bagi Eagleton teks adalah produksi dari ideologi tertentu, sehingga daya menentukan teks bukan sejarah, tapi ideologi. Dalam produksinya, teks sastra tidak tergantung pada sejarah.

Sub terakhir menjelaskan tentang diskursus. Dalam memaknai diskursus, Jurgen Habermas meneruskan pendahulunya Adorno yang mengartikan ideologi adalah ilusi sosial yang diperlukan, atau kesadaran palsu yang diperlukan secara sosial. Maka Jurgen Habermas membagi ruang publik dalam dua bagian yakni ide dan ideologi. Sehingga untuk membaca dan menafsirkan realitas, kita memerlukan rasionalitas komunikatif untuk membaca ruang publik tadi yang terdiri dari ide dan ideologi. Sehingga dengan rasionalitas komunikatif itulah, seseorang bisa menguasai dan menciptakan serta mendominasi ruang publik.

Berbeda dengan Jurgen Habermas, Roland Barthes menafsirkan ideologi yang dianalisis dengan istilah mitologi. Dalam menafsirkan mitologi diperlukan semiologi yakni ilmu tanda-tanda dalam budaya. Barthes mengatakan bahwa kita adalah subjek yang hidup dalam penjara rumah makna. Terakhir, Foucault mengatakan salah satu kekuasaan yang paling signifikan membentuk pengalaman kita adalah bahasa. Diskursus tidak hanya menerjemahklan realitas ke dalam bahasa tapi diskursus harus juga dilihat sebagai sistem yang mengonstitusi kita memandang realitas(dunia tidak hanya pijakan dari pengetahuan kita, tapi juga menentukan bagaimana cara memiliki pengetahuan). Batas bahasamu adalah batas duniamu.

 

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan