kepergian-ayah-meninggalkan-kami

Menatap Kepergian Ayah dari Balik Pintu

Tak seperti biasanya, hari ini seisi rumah bangun terlalu dini. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Sejujurnya aku tidak mau bangun dari dunia mimpiku. Aku tidak rela melepaskan kisah asmara yang sudah kurangkai sejak semalam bersama gadis pujaan dalam mimpiku. Akan tetapi, karena ibu selalu memanggilku dari dapur, aku pun bergegas meski agak berat mataku tuk dibuka.

Kulihat ibu sedang sibuk di dapur. Menanak nasi, masak air, menggoreng tempe, dan pokoknya sibuk sekali. Sementara Riko, kakakku sedang asyik membuat kopi. Jujur ketika aku masuk ke ruangan itu, aroma kopi yang sedang dibuat oleh Riko membau sampai di penciumanku. Itu membuatku serasa kesetrum. Nikmat. Sedap.

“Kak, boleh minta secangkir, gak”, tanyaku sambil melirik ke cangkir yang sudah terisi cairan hitam yang nikmat itu.

“Enak aja. Buat sendiri!” pintahnya kepadaku.

“Ya, gitu aja sewot. Pelit amat sih jadi orang”, ocehku dengan nada yang sengaja kubuat cukup tak terdengar.

Tiba-tiba ayah muncul dari kamar mandi. Kelihatannya dia sudah bersih. Sejenak aku berpikir dalam hati: ayah mau ke mana ya, kok pagi gini udah mandi? Tidak seperti biasanya. Kalau mau ke kantor, biasanya ayah siap-siap jam 6.30. Tapi kok pagi ini, udah siap-siap gitu. Ini kan masih jam 5.00. Ayam tetangga saja belum pada berkokok semua. Ya, paling cuma satu dua gitu.

“Ayah, mau ke mana sih. Kok siapnya pagi sekali, sih?” tanyaku penuh penasaran.

Dia tak menyahutku. Dia masih sibuk memperbaiki dasinya yang miring. Kemudian membenarkan posisi ikat pinggang kesayangannya. Pernah suatu waktu ikat pinggang itu hilang atau lebih tepatnya ayah lupa tempat di mana dia menyimpannya. Seisi rumah pun dibuat panik olehnya lantaran ayah berteriak tak karuan ketika ikat pinggang itu tak ditemukan. Dan ternyata, ia menyimpannya di gantungan kamar mandi. Akulah yang menemukannya. Ayah orangnya memang begitu. Setiap barang kesayangannya tak boleh hilang dari tatapannya. Apalagi soal ikat pinggang yang sekarang dia kenakan itu. Maklumlah, ikat pinggang itu dia beli di Paris, sewaktu masih kuliah di sana dulu.

Setelah kulihat dia selesai berkemas, aku pun kembali bertanya soal penasaranku.

“Ayah mau pergi ke mana pagi-pagi begini?”

Dia menatapku penuh kasih sayang. Tatapannya sangat sejuk dan menyenangkan.

“Oh, iya ayah lupa memberitahukan kepadamu kemarin. Ayah mau pergi ke Paris hari ini dan mungkin selama sebulan di sana. Ada panggilan dari mantan dosen ayah dulu. Katanya ada pekerjaan yang membutuhkan jasa ayah”, jelasnya kepadaku.

Ayah memang orang sangat cerdas dan pandai. Dia salah satu mahasiswa yang terhitung hebat di kampusnya. Bahkan dia juga mendapat predikat cum laude ketika menamatkan pendidikan S2-nya di kampus tersebut. Dia memperoleh gelar doktor di bidang sains di usia muda, kira-kira 25 tahun. Pantaslah kalau saat ini dia diundang oleh mantan dosennya untuk suatu penelitian atau semacamnya.

“Wah, ayah senang ya bisa ke Paris lagi”, jawabku singkat.

”Seandainya saja….”.

“Ayo nak, kita sarapan, ibumu sudah memanggil tuh”, dia memotong pembicaraanku.

Ah, memang ibu selalu saja begitu. Padahal aku belum selesai berbicara dengan ayah. Niatku tuk ikutserta (ke Paris) tak sempat disampaikan kepada ayah lantaran ibu sudah berseru dari meja perjamuan.

**

Seperti biasa, sebelum sarapan kami sekeluarga senantiasa mengucap syukur kepada Empunya kehidupan. Syukur atas hari dan nafas baru yang telah Dia berikan. Syukur atas segala perlindungan yang telah Dia anugerahkan kepada kami semalam. Dan syukur pula untuk segala rahmat dan berkat-Nya serta segala rejeki yang kami nikmati.

Suasana meja makan penuh akrab. Canda ria dan ayah asyik mengisahkan pengalamannya sewaktu kuliah di Paris dulu. Pernah suatu ketika, katanya, ia sempat pacaran sama bule Belanda yang kebetulan adik tingkatnya. Ia mengisahkan bagaimana perjalanan asmaranya bersama bule itu. Penuh romantis dan gimana gitu… Tapi sayang katanya, kisah asmaranya itu mesti kandas karena si bule kedapatan sedang berduaan dengan teman karib ayah sendiri. Akhir kisah, ayah pun kembali ke Indonesia (waktu itu) dan bertemu dengan ibu yang kini duduk di sampingnya dan lagi asyik menyeruput cangkir kopi paginya.

“Ayah, jangan lupa ya, pesananku!”, ucap Riko di sela-sela canda.

“Oh…..itu. Pastinya ayah gak lupa dong,” sahut ayah enteng.

“Lho, kamu Vino gak pesan sesuatu gitu dari Paris?” tanya ayah sembari memandangku penuh kasih sayang.

“Emmm….aku mau apa ya. Oh, iya ayah, aku pesan perlengkapan basket aja deh. Soalnya nanti di sekolahku bulan depan kan ada turnamen gitu”, pintaku penuh harapan.

Kulihat ayah menganggukkan kepalanya, tanda iya setuju atas permintaanku. Sudah hampir 10 menit kami menghabiskan waktu tuk sarapan. Ayah akan chek in sekitar 30 menit lagi. Kami pun bergegas-gegas menyiapkan diri tuk mengantar ayah ke bandara. Sebelumnya, kulihat ibu sibuk merapikan meja makan dan Riko pun membantu ibu mengangkat piring kotor dan lainnya ke tempat pencucian. Sementara aku, sibuk membantu ayah mengangkat koper dan barang-barang bawaannya lainnya ke mobil. Setelah semuanya beres, kami pun sekeluarga tancap gas. Yang nyetir Riko, kakakku.

***

Perjalanan menuju bandara tidak terhamat macet. Ya, masih pagi begini biasanya kendaraan tidak terlalu banyak yang berseliweran di jalanan. Sekitar 15 menit berlalu, kami pun tiba di bandara. Pukul 6.00 pagi. Bandara tampak ramai oleh pengunjung, entah yang mau berpergian maupun mereka yang sekedar mengantar sanak keluarganya, termasuk kami saat ini yang mengantar ayah yang hendak pergi ke Paris.

Akhirnya waktu tuk chek in pun tiba. Kami mengantar ayah sampai pada pintu ruang tunggu. Selanjutnya ayah sendiri yang menangani barang bawaannya. Kulihat ayah dari balik pintu dan melambaikan tangannya kepada kami. Kami semua pun sontak membalas lambaiannya. Seketika, ayah pun hilang dari balik pintu. Dan segera setelah itu, kami keluar dari bandara dan kembali menuju rumah. Ayah telah pergi menuju Paris. Kami semua berharap perjalanannya lancar dan selamat sampai tempat tujuan.

Setibanya di rumah, ibu kembali sibuk membersihkan rumah. Aku dan Riko berbagi tugas. Aku membersihkan piring kotor dan perkakas lainnya, sementara Riko menyapu dan membersihkan lantai rumah. Ibu sibuk mencuci tumpukan pakaian kotor yang sudah sejak tiga hari belakangan ini tidak diperhatikan.

Setelah semuanya beres, aku dan Riko betah di depan televisi. Kebetulan hari ini libur dan seperti biasa acara yang disajikan pastinya menarik dan spesial (liburan). Dan seperti biasa aku dan Riko suka sekali untuk menonton serial acara yang tersaji di chanel SCTV. Acara cinta romantis gitu. Sebenarnya, kalau boleh jujur aku lebih suka nonton acara di chanel Indosiar. Tapi karena Riko yang pegang kendali, remot, jadi aku nurut aja sama dia.

Seusai acara yang disajikan di chanel kesayangan kami, Riko iseng-iseng pindah ke chanel Metro TV. Padahal dia sudah tahu, chanel ini hanya menyajikan acara seputar berita-berita dan informasi yang terjadi di dunia. Membosankan sekali. Aku pun berusaha merebut remot tv darinya, tetapi dianya kerasan. Ya, sebagai adik aku pun selalu mengalah.

Tiba-tiba……

Aku dan Riko menatap lekat televisi itu. Mendengar dengan seksama sebuah berita yang ditayangkan di chanel itu.

Sebuah pesawat, Garuda Indonesia, keberangkatan Indonesia-Paris, pagi tadi telah terjatuh. Dipastikan bahwa semua penumpang yang ada di dalam pesawat tersebut meninggal dunia, tewas. Tidak ada satu pun yang luput dari kecelakaan naas itu. Penyebab jatuhnya pesawat tersebut belum dapat dipastikan.

Aku dan Riko bergeming. Seluruh diri kami kini dirasuki oleh firasat buruk yang amat…

Sontak, Riko teriak histeris memanggil ibu yang lagi asyik membilas cuciannya. Ibu pun dengan segera menuju ruang tengah, tempat di mana kami lagi ketakutan. Ruang itu dipenuhi aroma ketakutan. Jangan-jangan, pesawat yang terjatuh itu adalah pesawat yang ditumpangi ayah menuju Paris pagi tadi.

“Ada apa?”, tanya ibu dengan nafas tersengal.

“Bu, tadi pagi ayah numpang di pesawat apa?”, tanya Riko dengan penuh penasaran dicampur firasat buruk.

“Garuda Indonesia”, jawab ibu.

“Memangnya ada apa?”

Mendengar jawaban itu, aku dan Riko tak mampu membendung rasa pahit dan sakit yang bergejolak di dalam diri. Aku dan Riko menangis penuh histeris. Sementara ibu kebingungan. Setelah mendengar penjelasan dari Riko, barulah ibu pun ikut histeris. Kami semua menangis penuh histeris.

****

Setelah mendapat informasi dari pihak kepolisian dan bandara, kami pun bergegas menuju bandara tuk menjemput jasad ayah. Pahit sekali rasanya tuk menerima kenyataan tersebut. Padahal baru kemarin, kami sekeluarga mengantar ayah menuju bandara, dan kini kami harus menjemput ayah dalam keadaan tak bernyawa. Bagaimana mungkin ini dapat diterima. Aku tak mampu menahan tangis. Juga Riko.

Hatiku sangat perih kalau mengingat kembali lambaian tangan ayah kemarin. Ternyata itu merupakan lambaian terakhir darinya dan sebagai ucapan selamat tinggal tuk selamanya.

Peti jasad ayah pun muncul dari dalam bandara dibopong oleh beberapa orang. Ketika peti itu di hadapan kami, aku berusaha tuk membendung rasa sakitku. Tapi, Riko dan ibu sepertinya tak sanggup tuk menerima kenyataan itu. Dan tiba-tiba, ibu pun pingsan seketika itu juga. Selanjutnya, tidak tahu apa yang terjadi sebab mataku menjadi gelap seketika.

BACA JUGA:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan