contoh-karakter-dalam-cerita

Menciptakan Karakter 2

Menggunakan Kaca Pembesar

Saya ingin sekali mempunyai kemampuan untuk menulis sosok seseorang di dalam buku fiksi seperti benar-benar ada dalam kehidupan. Menciptakan tokoh manusia yang manusiawi; jika tokoh penjahat maka dia tidaklah penjahat super, jika tokohnya baik maka tidak berarti dia malaikat.

Sudah biasa orang menciptakan sosok dalam fiksi dengan menunjukan segala tetek-bengek dari tokoh bersangkutan; mulai dari rambut keriwil hingga kaki pengkok, dari mata besar hingga yang buta, kurus kering dan berdada montok, bibir sumbing dan yang menor, berbaju kumal hingga yang bertahtakan intan permata. Sudah lumrah pula jika seorang penulis meneliti sosoknya dari cara merokok dan minum kopi, yang termenung di depan jendela melihat teluk dan yang blingsatan di tengah keramaian hendak mencopet. Jika kita meraih sebuah novel, maka kita bisa melihat karakter-karakter yang seperti ini. Dan, sudah tentu ini adalah cara penulis kebanyakan, khususnya penulis Indonesia menciptakan karakternya.

Pertanyaannya: apakah kita sudah cukup dibuat terkesan dengan kehadiran karakter bersangkutan? Barangkali kita akan terkesan dengan karakter yang ditampilkan penulis sebagai seorang gelandangan miskin yang mencari hidup dengan menyenangkan om-om atau seorang anak kecil yang harus kehujanan di lampu merah dengan kaleng rombeng. Tetapi, setiap hari dua atau tiga penulis telah menuliskan hal yang sama dengan cara yang sedikit-banyak sama, sampai-sampai saking biasanya karakter yang ada pembaca menjadi lupa bahwa karakter tersebut diangkat dari orang-orang sekitarnya. Imbasnya, nurani kita menjadi tumpul. Sebuah novel atau cerita sekedar dibaca saja tanpa ada sesuatu yang menggema di dalam hati kita. Kita mungkin baru saja membaca kisah tukang bubur yang menabung untuk anaknya yang sedang kuliah, tetapi ketika kita pergi ke Malioboro misalnya, di pinggir jalan sana ada seorang tukang bubur, dan karena cara penyampaian karakter di dalam novel tadi tidak begitu memadai maka kita melihat si tukang bubur di dunia nyata itu masih seperti hari-hari kemarin: tidak ada persepsi yang berubah, si tukang bubur di dalam novel hanya jadi semacam pajangan agar novelnya bernilai komersil. Jadi saya mau bilang, bahwa setidaknya sebuah karakter dalam buku mendapat penghargaan yang layak.

Saya lebih memilih membaca buku-buku dari penulis luar karena banyak dari mereka mampu membuat saya membandingkan si tokoh fiksi dengan tetangga saya yang janda, atau dengan kakek saya yang dulu pernah beristri tiga, juga membandingkannya dengan seorang teman masa kecil saya yang sekarang suka main perempuan. Sosok-sosok dalam dunia nyata saya terwakilkan oleh novel-novel luar itu. Saya pernah membaca novel The Kite Runner, lalu menulis hampir semua fragmen yang bersangkutan dengan sosok baba dalam novel itu. Saya bertanya-tanya kenapa si penulis, Khaled Hosseini membuat Baba sedemikian hidupnya. Pada akhirnya, sedikit yang saya tahu adalah Hosseini menulis segala sesuatu tentang Baba seperti menggunakan kaca pembesar. Dia tidak menyebut Baba sebagai pria besar yang kasar tetapi menunjukan hal-hal kecil yang mendorong pembaca untuk menyimpulkan bahwa Baba memang pria kasar. Dengan menggunakan kaca pembesar, dia seperti berhasil memisahkan seekor semut merah yang pincang dari kelompoknya.

Saya kemudian berprasangka bahwa kebanyakan penulis Indonesia telah semena-mena terhadap tokoh ciptaannya. Kita seolah-olah tengah membuat patung kayu dari sekumpulan ranting bambu, kayu nangka, belimbing, daun damar dan lain sebagainya. Kita menciptakan sosok seorang koruptor misalnya dengan menyisipkan perut gendut, mobil mewah, simpanan banyak, mobil sehari ganti dua kali sehingga sosok tersebut menjadi sedemikian korupsinya tetapi tidak manusiawi. Sama halnya dalam sinetron religi, kita menciptakan seorang yang sedang marah dengan cara yang sama; mata melotot, rahang tegang, gigi gemeletuk. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua orang yang sedang marah kelihatan demikian. Dan kita tahu itu tetapi tidak sanggup menciptakannya dengan benar.

Jadi, saya ingin menulis seorang tokoh dengan menggunakan kaca pembesar agar saya tahu dengan persis cara dia menyisir rambut, meludah, batuk, menggaruk leher, menelepon selingkuhan, berapa gajinya sebulan, dia pernah tidur dengan siapa, kenapa dia perlu membeli kapak dan kenapa dia lebih suka tikus daripada hamster.

Ilustrasi: google

, , , , ,

2 tanggapan ke Menciptakan Karakter 2

  1. willy 30 November 2014 pada 08:28 #

    salam kenal juga bung andy, tetap ditunggu ya tulisan2 tentang karakter. kita belajar bersama di sini. kalo tips menciptakan karakter itu, mungkin salah satunya kita bisa mengambil seorang di dekat kita sebagai percobaan. misalkan mas andy punya pacar, maka tulislah hal yang tampak dari dia secara detil. lama kelamaan kita akan terbiasa menciptakan tokoh yang manusiawi dalam fiksi. dan untuk ayu utami, dia memang keren, hehee

  2. Riyan Andy 19 November 2014 pada 20:03 #

    Bagus mas tulisannya, menciptakan karakter bagian 3 nya di tunggu yak.
    benar terkadang kita malah terlalu hanyut dlam penciptaan karakter, malah tidak manusiawai, misalnya tokoh protagonisnya malah kadang babals di gambarkan perfect seperti malaikat apalagi ketika menggunakan sudut pandang pertama selfie banget 😀 perlu pencerahan ini biar enggak narsis terus. ada tipsnya gak mas?
    saya juga sepakat kalau penulis luar dalam menciptakan karakter lebih mengena, tapi ada juga penulis dalam negri yang bagus Ayu Utami, saya baca bukunya yang berjudul “Cerita Cinta Enrico” aku terkesima merasa hidup disana, awalnya ragu baca buku itu, komentarku pas lihat cover dan judulnya : Alah paling teenlit dan klise, tapi ketika mulai membaca pembukaan aku mengalir dan gak taunya malah saya kejebak hingga tengah dan dibuat shock di akhir. Akhirnya komentarku “Buku ini keren abis, bajingan keren abis… keren abis”.
    Salam kenal
    Andy Riyan

Tinggalkan Balasan