demokrasi-indonesia-pasca-reformasi

Mendesain Demokrasi untuk Indonesia Pasca-Reformasi

Panggung perpolitikan Indonesia, baik dalam ranah lokal maupun nasional tidak pernah sepi dari kontroversi. Litani permasalahan tanpa ujung senantiasa menyerang dunia politik kita. Demokratisasi ranah politik yang dicetuskan para punggawa reformasi belum mampu menyelamatkan konstelasi perpolitikan kita dari aneka persoalan yang kian menggigit. Kasus korupsi, money politics, politik transaksional, hukum yang timpang, ruang publik yang terdistorsi serta pelbagai pelanggaran HAM yang tak pernah terselesaikan masih menjadi realitas miris yang terus mengiris hati sekalian rakyat di negri ini. Di kala rakyat banyak berjuang mengatasi penderitaan dan kemiskinan, para elite politik justru gaduh dengan diri mereka sendiri. Dunia politik Indonesia pun tak ubahnya dengan panggung sandiwara yang menampilkan lakon komedi yang tragis. Imbasnya, lagi-lagi berujung pada situasi keterpurukan rakyat banyak.

Pelbagai permasalahan ini kemudian menuntut kita untuk bertanya: walau sudah menganut asas demokrasi, mengapa negara kita masih belum luput dari pelbagai belenggu persoalan politik? Mengapa agenda demokratisasi reformasi kita belum menciptakan kemaslahatan publik seperti yang dicita-citakan bersama? Desain demokrasi macam manakah yang cocok bagi Indonesia pasca-reformasi agar bermuara pada kesejahteraan rakyat banyak?

Dua masalah Dasar

Budi Hardiman dalam Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca-Reformasi (2014: 660-672) berpendapat bahwa ada dua masalah dasar yang menyebabkan mandeknya agenda demokratisasi dan reformasi dalam bidang politik di Indonesia. Pertama,demokrasi yang kita anut bukan merupakan demokrasi substansial, melainkan demokrasi prosedural dan elektoral. Menggunakan analisis Alexis de Tocqueville, yang memberi distingsi antara sistem demokratik dan etos demokratik, Hardiman menilai bahwa demokrasi kita cenderung berciri prosedural dan sistemik yang ditandai dengan perubahan-perubahan politik pasca orba seperti digelarnya pemilu langsung oleh rakyat, dihapuskannya dwi-fungsi ABRI, serta pendirian Mahkamah Konstitusi (Bdk. Hardiman, 2014:660). Namun, pelbagai keberhasilan ini tidak didukung oleh etos demokrasi yang meliputi “formasi nilai-nilai demokratik dalam masyarakat”. Imbasnya, ciri substansial demokrasi justru tidak diterapkan secara mondial dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, demokrasi elektoral yang diusung di Indonesia bersifat kuantitatif dan formal karena bersandar pada jumlah suara. Sistem representationisme ala Rousseau yang dijalankan di Indonesia juga mengundang pelbagai deviasi sistemik dan kecurangan karena dapat bermuara pada oligarki. Hal ini terlihat jelas dari kinerja para DPR kita yang secara sangat kentara mendahulukan kepentingan mereka sebagai prioritas di atas kepentingan rakyat banyak. Sistem demokrasi elektoral dan prosedural inilah yang melahirkan banyak ‘penyakit pejabat’ seperti korupsi dan politik transaksional dalam negara kita baik pada tataran nasional maupun lokal.

Kedua, maraknya praktik refeodalisasi dan komersialisasi pada ruang publik kita. Menurut  B. Herry Priyono (2010:384), dalam ruang publik kita kini, telah terjadi pergeseran kekuasaan dari daya-daya yang terutama bersandar pada kekuasaan badan negara (state-based powers) ke daya-daya yang terutama digerakan oleh mekanisme pasar bebas (market/money based powers). Alih-alih bebas dari kerangkeng sistem otoriter orde baru, nasib ‘ruang publik’ kita justru masuk dalam rahang kinerja pasar bebas. Imbasnya, kebebasan demokratis yang didambakan pasca reformasi terdistorsi bukan lagi oleh sarana represif pemerintah, melainkan oleh kinerja modal dan uang. Pada tataran ini, ruang publik demokratis pun tinggal hanya utopia semata, atau dalam bahasa Jurgen Habermas, terjadi refeodalisasi dan kolonisasi ruang publik di mana demokrasi dihegemoni pasar sehingga ruang publik tidak lagi menjadi “arena diskursus bagi masyarakat warga, melainkan menjadi panggung representasi diri para elit media yang menjadi kaki tangan kepentigan-kepentingan pasar dan kekuasaan.” (Hardiman, 2010:196) . Hal ini terindikasi, misalnya lewat kinerja pers (cetak maupun elektronik) yang lebih mengusung pemberitaan demi kepentingan pemilik perusahaan daripada tunduk pada objektivitas dan kebenaran berita. Distorsi ruang publik oleh kekuasaan pasar ini sangat menghambat proses demokrasi yang otentik.

Kontrol dan Deliberasi Publik

Pelbagai permasalahan pasca-reformasi dan kelemahan dari sistem demokrasi menimbulkan kegamangan serta pesimisme terhadap terwujudnya kesejahteraan rakyat serta sistem demokrasi itu sendiri. Nostalgia dan keinginan akan munculnya tokoh kuat karismatis yang mampu memegang kendali seperti Soeharto bisa jadi mucul dalam benak masyarakat Indonesia. Namun, kelemahan sistem demokrasi kita bukan berarti bahwa kita harus mengganti sistem demokrasi kita. Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan oleh Winston Churchill, “Demokrasi tetaplah merupakan sistem terbaik dari sistem yang terburuk sekalipun”. Lalu, bagaimana demokrasi menjawab pelbagai patologi politis dan sosial yang timbul dari sistem ini sejak era reformasi?

Hemat penulis, untuk menyelamatkan Indonesia dari pelbagai patologi politis, kita mutlak harus meradikalkan demokrasi kita. David Beetham dalam bukunya Democracy and Human Rights (1999) seperti yang dikutip oleh Otto Gusti (2016:18) berpendapat bahwa demokrasi perlu dipraktikkan sebagai kontrol publik atas kekuasaan. Penguatan peran publik dalam pengambilan tiap keputusan negara serta kontrol publik lewat media, LSM serta petisi-petisi atas keputusan yang diambil pemerintah niscaya mampu mereduksi terjadinya penyelewengan dalam pemerintahan. Penolakan masyarakat sipil atas revisi UU KPK pada awal tahun ini, merupakan salah satu contoh positif penerapan sistem demokrasi sebagai kontrol publik di Indonesia. Upaya kriminalisasi KPK dengan merevisi UU No. 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dimotori parlemen dan pemerintah selalu gagal karena harus berhadapan dengan militansi para aktivis anti korupsi, guru besar sejumlah perguruan tinggi dan juga Forum Rektor yang menyampaikan petisi langsung ke Presiden Jokowi agar membatalkan revisi UU tersebut. (Bdk. Kompas, 25 Februari 2016, hlm 2).

Dalam kacamata filosof Jerman Juergen Habermas, demokrasi sebagai kontrol publik ini tertuang dalam konsepnya tentang demokrasi deliberatif. (Hardiman, 2010: 128-129). Dalam demokrasi deliberatif, rakyat secara bebas menyalurkan asprasi-aspirasi politisnya melalui kanal-kanal politis yang bebas distorsi. Selain itu, rakyat pun dapat mengontrol jalannya kekuasaan agar tidak timbul kekuasaan despotis. Namun, demokrasi ini mensyaratkan dua hal. Pertama, bebasnya ruang publik dari aneka distorsi dan manipulasi dari pasar maupun pemerintah. Ruang publik yang bebas dapat mempermudah jalannya aspirasi otentik rakyat tanpa harus termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan otoritas dan pasar. Ruang publik harus menjadi ruang di mana terjadi komunikasi politis yang bebas distorsi antara rakyat dan pemerintah. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik  yang diisi dengan masyrakat sipil yang kuat dan aktif mengontrol penyelenggaraan kekuasaan.

Kedua, kuatnya ethos demokratis yang dimiliki rakyat. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan rakyat. Rakyat tidak boleh pasif dengan dinamika politik yang terjadi. Karena itu, etos demokratis harus dihidupkan pada masyarakat luas. Revitalisasi ethos demokratis akan menghasilkan kepekaan dan kepedulian serta partisipasi rakyat akan sistem dan dinamika politik yang terjadi dalam negara kita. Dengan demikian, rakyat pun semakin sadar dan cerdas untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka jika terus digerus oleh penguasa.

Bebasnya ruang publik dari distorsi dan manipulasi pasar dan pemerintah serta ethos demokratis yang kuat dalam diri rakyat banyak diekspektasi dapat menciptakan sistem demokrasi yang sehat dalam negara kita. Demokrasi Indonesia kontemporer memang sangat urgen didesain sebagai kontrol dan deliberasi publik atas kekuasaan. Kontrol publik ini berarti bahwa masyarakat politik harus mempunyai pengetahuan dan perhatian politik. kontrol publik ini tidak semata berarti mengajukan protes keras atas penyelewangan yang dilakukan oleh pemerintah. Kontrol ini juga terutama berarti mengikuti secara kritis dan aktif semua proses pengambilan keputusan politik, agar suatu kebijakan yang diragukan ketepatannya dapat diperdebatkan dan dinegosiasikan sejak awal, sebelum penyelewengan terjadi. (Kleden, 2001: 206).

Partisipasi masyarakat sangat mutlak dilakukan demi terciptanya sistem politik yang demokratis dan selanjutnya dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Karena itu, secara kolektif harus disadari bahwa demokrasi bukanlah semata soal sistem politik, melainkan pandangan hidup yang mewujud nyata ke dalam cara hidup sehari-hari dan sebagai kontrol kita atas kekuasaan. Desain demokrasi seperti ini, hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah cukup besar bagi seluruh masyarakat Indonesia.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan