melawan-takdir

Menepis Keraguan Takdir

Awalnya, buku ini disuguhkan dengan cerita Mak Siti yang kehilangan uang sebesar tujuh puluh delapan juta delapan ratus. Intan terus mendesak ibunya untuk bercerita perihal peristiwa ini. Tetapi, penjual nasi di Stasiun Cakung itu tetap diam. Jiwanya terguncang.

Sub bab pertama ditutup dengan rasa penasaran. Kendati jalan cerita mudah ditebak dari judul buku, karena sudah didahului cerpen Asma Nadia yang berjudul Emak Ingin Naik Haji, atau sinetron di tivi yang berjudul Tukang Bubur Naik Haji, tetap saja, buku ini mengundang rasa penasaran bagi pembaca untuk membuka lembaran berikutnya.

Terbukti, novel setebal 366 halaman ini memberikan porsi cerita yang beragam. Terlebih, perjalanan hidup Intan yang rentan menjadi pembicaraan Mpok Mahmudah dan Mpok Jaitun. Intan yang berparas rupawan, ditaksir oleh Rizal. Pemuda yang suka nongkrong di gang sambil mabuk-mabukan. Sayangnya, Rizal yang tidak pernah menyatakan perasaannya, justru melihat Intan menikah dengan Zulkarnain.

Di sinilah alur cerita lebih menggigit. Rizal jatuh sakit karena cinta. Gonjang-ganjing perihal cintanya kepada Intan terdengar ke telinga ibunya. Beruntung Rizal sadar. Ia lalu pergi ke rumah Pak Haji untuk mengajar ngaji di musholla. Meskipun awalnya Pak Haji meragukan Rizal akan berubah, pada akhirnya Pak haji memberikan petuah. “Kita ini manusia biasa, tempat salah dan dosa. Kita hanya bisa berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Itu saja.” (Hal. 80)

melawan-takdir

Judul: Titip Rindu Ke Tanah Suci
Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit: Republika
Tahun Terbit: Desember, 2017
Cetakan: Pertama
Tebal Buku: 366 Halaman

Seiring waktu, gosip tentang kehidupan Mak Siti dan Intan kembali berlanjut. Apalagi, saat Mak Siti menemui Pak Haji untuk meminta mengajarinya mengaji sebab Mak Siti ingin naik haji. Dan dengan pertimbangan matang, Pak Haji meminta Rizal untuk mengajari Mak Siti mengaji. Benar saja, gosip yang tersebar lewat Mpok Jaitun dan Mpok Mahmudah semakin santer. Rizal sepakat mengajari Mak Siti mengaji seminggu dua kali di rumahnya. Bukan di musholla. Sebab mengaji di musholla, justru bakal sering dibicarakan. Di titik inilah, Rizal mencemaskan gunjingan orang-orang. Beruntung teman-temannya yang masih tetap mabuk-mabukan, memberi dorongan kepada Rizal. “Jika untuk melakukan suatu kebaikan harus selalu menimbang prasangka orang, maka menjadi serigala lebih baik daripada menjadi manusia. Serigala tak perlu menimbang apakah singa setuju serigala berburu dan mencabik-cabik daging buruannya, apalagi menunggu singa merebut hidangannya.” (Hal. 127)

Di sisi lain, Zulkarnain jarang pulang ke rumah karena pekerjaannya menumpuk di kantor. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Zul yang menuduh Intan tengah berhubungan dengan Rizal, justru rahasianya terbongkar. Selama ini, Zul yang selingkuh. Dia memiliki wanita di belakang istrinya yng tengah hamil tua itu. Akhirnya, keduanya terpaksa berpisah.

Usai perceraian anaknya, lika-liku kehidupan Mak Siti berlanjut. Uang yang ditabungnya sepuluh tahun dan sudah didaftarkan haji, ternyata hilang tak berbekas. Travel yang menjembatani jamaah, melakukan penipuan. Hilanglah mimpi Mak Siti untuk pergi ke Tanah Suci. Orang-orang yang mengetahui kejadian ini, masih terus mencibir mimpi Mak Siti.

Beruntung, Rizal yang memang berniat berangkat haji tahun ini, justru mengurungkan keinginannya itu dengan mendaftarkan Mak Siti naik haji menggunakan uangnya. Kontan Mak Siti tak menyangka rezeki ini. Akhirnya, Mak Siti berangkat haji dan meninggal di Makkah.

Dengan keadaan yang pilu itu, gunjingan orang-orang justru berubah. Kali ini, mereka menaruh iba terhadap jalan hidup yang dilalui Intan dan anaknya. Jika ditelaah lebih lanjut, buku ini sarat akan pesan kehidupan sehari-hari.

Kendati buku ini menyajikan cerita yang beragam dan tak memfokuskan perjuangan Mak Siti naik haji, justru di sinilah letak kehebatan Aguk Irawan dalam menyajikan alur cerita yang membuat penasaran. Sekali lagi, buku ini telah berhasil menyajikan cerita yang ingin lebih disentuh menggunakan hati. Bukan akal. Sebab sebagaimana penjelasan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ulumuddien, bahwa tubuh manusia ibarat sebuah kerajaan. Dimana raja yang sesungguhnya adalah hati, bukan akal. Sebab akal akan selalu mencari alasan sebagai pembenar akan apa yang dilakukan oleh manusia. Dan penulis buku ini, sudah menerapkan apa yang diucapkan Sang Imam.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan