kumpulan-puisi-yang-menghadirkan-jawa

Menghadirkan Jawa

            Ada yang menarik ketika kita membaca dan menikmati puisi Iman Budi Santosa di bukunya bertajuk Ziarah Tanah Jawa. Iman menggunakan kata “ziarah” untuk menafsir dan mengurusi Jawa. Kata “ziarah” sendiri memang identik dengan menelusuri, menapaki, menggali dan melakukan ritus sekaligus, terhadap sesuatu yang sudah mati. Kata ziarah ini merujuk pada suatu upaya dan laku untuk menemukan kembali  filosofi, khazanah dan nilai budaya Jawa.

            Puisi ini ditulis dalam rentang waktu yang tak pendek, selama 6 tahun, penulis mencoba untuk menggali dan menelisik “nilai” yang ada dalam kebudayaan Jawa. Bisa jadi nilai-nilai dan khazanah kebudayaan Jawa itu ada dalam memori dan ingatan kita semua. Kita bisa menyimak kutipan puisi berikut : hari ini kusaksikan engkau,Sri/ketika sawah ladang menuai cerita/langit dan bumi menjalin cerita/langit dan bumi menjalin cinta/ laki perempuan memboyong puteri jelita/manja bercengkerama di punggung dan pundaknya (Hari Ini Engkau Bernama Sri : Legenda Dewi Sri). Pada puisi ini kita tak hanya disuguhi kembali kisah dewi sri, tetapi juga diajak untuk mengingat memori dan ingatan ketika di masa kecil masih banyak upacara dan doa sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Di Jawa, legenda dewi Sri tentu saja tak bisa dilupakan dan masih lekat di kalangan masyarakat Jawa.

            Tidak hanya legenda tentang Dewi Sri, penyair juga menuliskan dan menafsirkan kembali legenda dan cerita tentang wayang. Wayang tentu saja hal yang tak bisa dilepaskan dari Jawa. Wayang sudah tak melekat, dan dikatakan “mbalung sumsum” ke dalam diri orang Jawa. Di Sajak Punakawan, Iman menafsirkan makna dan hakikat bendara yang sering dianggap rendah oleh kebanyakan kalangan. Tetapi di cerita punakawan kita akan mendapati bahwa menjadi seorang abdi sebenarnya penuh filosofi. “abdi hanya menabung mulia/ bukan pondasi /harus dibawah tanah selama-lamanya” (h.21). Ingat penutup puisi ini, kita jadi ingat posisi manusia dalam kebudayaan Jawa yakni abdi (hamba) dari Tuhan.

Menziarahi Batin

            Penyair tak hanya menjadikan dan memperlakukan idiom dan diktum Jawa sebagai sesuatu yang khas dan kaya. Ia mengajak kita menelusuri Jawa sebagai sesuatu yang menyentuh dan membuat batin kita menjadi tersentuh. Melalui alam dan pohon-pohon, tulis Tia Setiadi di bukunya Petualangan Yang Mustahil (2015), penulis membuat Jawa serasa didendangkan.

            Kita tak hanya diajak untuk membaca puisi ini, tetapi kita diajak untuk mendengar dan menyimak puisi yang ditembangkan. Aku hanya mendendangkan tembang/ ketika lebah kumbang datang pergi/ menghisap madu dengan tenang (Lekuk-Liku Perlambang).

            Lekat sekali bagaimana penyair memotret peristiwa menjadi tembang yang merdu dalam puisinya. Mari kita simak bersama tembang penyair berikut ini : Menjelang senja/ketika sepasang derkuku bercengkerama di bubungan rumah/ katakan pada mereka/ cinta tak akan punah/ selama kicau merdu/ lembut kata dan kelepak rindu/meluruskan jalan menikung/ mengingatkan hatimu yang tak kenal manisnya madu (h.82). 

            Di puisi yang lain, kita juga diajak untuk meresapi dan merasakan perasaan senasib sebagai orang “Jawa” : Saudara, rumahku rumahmu selalu bertaut/ saling mendirikan, menjaga, dan menitipkan ketika pergi/ bertukar selamat dengan tetangga/ dan sama-sama memberi/karena letak tanah Jawa bukan dalam dongeng legenda/ tapi dalam hati, dalam denyut jantung di dada kiri (h.105).

            Penyair tak hanya menghadirkan “Jawa” di puisi-puisinya, tetapi juga mengajak pembacanya untuk meresapi kembali nilai-nilai kebudayaan kita, yang membuat kita kembali ke jati diri, kepada diri kita yang asali. Menyimak puisi di buku ini membuat kita menyadari bahwa Jawa bukan sekadar pengetahuan yang ada di buku-buku, melainkan “laku” pribadi yang memahami dan mengamalkan keluhuran budaya Jawa dalam kesehariannya.

 

*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Pengasuh MIM PK Kartasura

 

 

            

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan