naskah-drama-pangeran-diponegoro

Menghidupkan Spirit Diponegoro

Oleh Budiawan Dwi Santoso

11 November 1785, di keraton Yogyakarta menjelang fajar, lahir Bendoro Raden Mas Mustahar. Ia lahir dari rahim ibunda, Raden Ayu Mangkorowati garwa ampeyan (selir) Gusti Raden Mas Surojo, Putra sulung Sultan Hamengkubuwono II dengan permaisuri.

Dan, ketika ibundanya membawa Bendoro Raden Mas Mustahar ke hadapan kakek buyutnya (Sultan Mangkubumi), anak dari Raden Ayu Mangkorowati, dan dewasa nanti dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, diramal kakek buyutnya, begini: “Cicitmu ini kelak, ketahuilah, sudah kehendak Yang Mahakuasa, akan menjadi tokoh dalam peristiwa besar. Ia akan menyebabkan kerusakan dahsyat dari yang pernah kutimbulkan dulu. Sedang kelanjutannya wallahu’alam, tak seorang pun tahu.”

Sekilas narasi ini terdapat dalam Aku Diponegoro (2015) garapan Landung Simatupang. Tentu, bagi pembaca, tak asing dengan nama ini. Ia sebagai aktor, penulis, penyair, dan sutradara kondang, telah menghidupkan kembali kisah Pangeran Diponegoro lewat naskah drama dan pernah dipentaskan di empat kota, yakni: Magelang, Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar.

Adapun, naskah yang telah dibukukan ini terdiri dari tiga naskah. Pertama, mengisahkan Pangeran Diponegoro di Magelang dan Batavia, mulai dari penangkapan dan pengasingan. Kedua, kisahnya di Tegalrejo; dan ketiga, saat Pangeran di Fort Rotterdam, kisah menyongsong ajal.

Bagi pembaca, kehadiran buku ini, seolah melengkapi buku sejarah dalam ranah sastra. Ketika Diponegoro telah ‘dihidupkan’ lewat esai, puisi, novel, maka, Landung Simatupang mengisi kekosongan dalam hal drama. Hal penting lainnya, buku ini menjadi bukti bahwa kisah Pangeran Diponegoro—tak, terkecuali, saat ia berperang dengan kolonial Belanda, dan telah memakan korban banyak, tak kurang 15.000 tentara Belanda mati, dan di pihak Diponegoro sekitar 20.000 yang tewas, lalu dikenal dengan sebutan Perang Jawa alias Perang Diponegoro—penting diceritakan, diketahui, dibaca, dan dipahami.

Tentu, dari membaca buku Landung Simatupang, pembaca dihadapkan sebuah karya puitis, dan seperti novel pendek. Meskipun begitu, buku ini tak pendek umurnya, atau pendek kisahnya. Justru sebaliknya, buku ini memanjangkan ingatan atau rekonstruksi pengetahuan sejarah, yang barangkali hanya pembaca ingat lewat buku pelajaran sejarah atau gambar-gambar pejuang nasional (salah satunya, Pangeran Diponegoro), terpajang di kelas-kelas sewaktu sekolah dulu.

Di sisi lain, Peter Carey, penulis buku tentang Pangeran Diponegoro, salah satu karyanya berjudul Kuasa Ramalan, memaparkan pandangannya terhadap buku ini, begini: “Ia (buku Aku Diponegoro!) tidak saja memberi aktor drama mendatang sebuah landasan dalam memulai pekerjaan menciptakan tuturan baru tentang hidup Diponegoro, namun juga memberikan sumber daya kepada sejarawan untuk mencari cara baru memahami dinamika masyarakat Jawa yang khas di mana Sang Pangeran hidup. Ini adalah prestasi yang mahal dan unik.”

Dari pengakuan Carey, secara tidak langsung, turut menguatkan bahwa buku ini menjadi bacaan penting bagi khalayak umum. Sebab, dengan membacanya, kita akan mengetahui dan memahami etos sekaligus mentalitas Pangeran Diponegoro. Jika merunut pernyataan Agus Dermawan T., telah membaca dan mengulas tentang Pangeran Diponegoro, ia (Diponegoro) mengajarkan tentang kefanaan sebuah jabatan. Dan, perjuangan di lapangan jauh lebih berharga. Maka, dari hal inilah, spirit Diponegoro sangat dibutuhkan dan perlu ditanam dalam diri kita, dalam kehidupan serba semrawut ini.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan